Chapter 7 : Saski hilang

1443 Kata
Siera termenung di atas ranjang dengan pigura berisi foto almarhum Andra berada di pangkuannya. Matanya tak berkedip, memandangi foto iku dengan seksama. Menyamakan wajah itu dengan wajah pria yang dia temui di kantor tadi siang. Pria yang menolongnya saat dia sedang pingsan setelah menangis lama, di pelukannya. Pria yang menggendongnya kata Alya. Pria yang sangat mirip dengan almarhum mantan suaminya. Pria yang bernama Digo Zayden. Siera meraba foto almarhum Andra sambil menangis. Sekian lama dia tenggelam dalam kesedihan karena tidak bisa melupakannya. Cinta dan luka yang pernah diberikan pria itu membuat namanya justru tersimpan abadi dalam hatinya. Wanita itu menangis tergugu di kamarnya. Setelah bertahun-tahun dia bertahan dari kesedihan, justru kini dia bertemu dengan seseorang yang membuatnya kembali mengungkit luka lama. Siera tau pria itu bukan Andra. Dia sendiri yang menyaksikan pemakaman sang mantan suami bertahun-tahun lalu. Dia ingat betul hari itu sedang turun hujan lebat, saat dia bertengkar dengan Eva di depan pusara almarhum Andra. Wanita tua itu bahkan mendorong Siera hingga terjatuh di tanah pemakaman sebagai bentuk penolakannya atas kehadiran Siera disana. Eva terus berteriak memaki Siera, mengesampingkan rasa malunya pada semua orang yang berada disana. Mengusir Siera dengan berbagai ucapan buruknya, sumpah serapah dan makian. Jika sudah pasti Andra meninggal, lantas siapa sebenarnya sosok pria yang menyerupai dirinya tersebut? Mustahil Andra bisa hidup kembali kan? Mungkinkah pria itu memiliki hubungan darah dengan Andra. Seperti Siera dengan Risa? Karena tidak mungkin jika mereka tidak ada ikatan darah tapi bisa berwajah semirip itu kan? Pemikiran Siera tentang Andra teralih seketika saat mendengar suara pintu kamarnya terbuka. Dan sosok mungil masuk ke dalam kamarnya sambil mengucek mata. "Bunda..." Siera tersenyum tipis. Tangannya bergerak menarik laci dekat ranjangnya dan menyimpan foto Andra. Setelahnya wanita itu melebarkan lengannya untuk menyambut bocah kecil itu. "Bunda, Saski boleh tidur disini ya?" tanya bocah itu dengan suara parau. Siera mengangguk cepat. "Boleh dong. Sini!" balasnya lalu mengangkat anak itu dan membaringkannya ke atas ranjang. Saski segera meringkuk begitu Siera menyelimutinya. Siera yang melihat itupun tersenyum kecil. Dibelainya rambut halus anak itu dengan lembut. Kemudian Siera ikut berbaring di samping Saski dan memeluknya. "Saski tadi mimpi apa kok kebangun malem-malem gini?" "Saski mimpi Papa." "Papa?" Bocah empat tahun itu mengangguk pelan. Mata hitam dan polosnya menatap Siera lekat. "Saski mimpi Papa pulang, Bunda," ucap Saski. Siera tertegun dengan bibir mengatup rapat. Batinnya terasa sakit setiap kali kata 'Papa' keluar dari bibir putrinya. "Terus Papa tinggal sama kita disini," lanjut bocah itu. Siera tidak bersuara sedikitpun. Tangannya yang semula asyik membelai rambut Saski, mendadak terhenti. "Bunda... nanti kalau Papa pulang, Papa boleh ya tinggal disini sama kita?" *** Siera hanya tersenyum sambil mengangguk saat bertemu beberapa teman kantornya di lobby. Biasanya jika tidak sedang buru-buru, dia pasti akan menyempatkan diri untuk mengobrol dengan satu-dua orang yang dia temui saat berangkat. Tapi khusus hari ini dia hanya tersenyum membalas sapaan rekannya. Lalu melambai sekilas saat berpapasan dengan Alya yang keluar dari lift turun. Entah apa yang dilakukan gadis itu di detik-detik terakhir jam masuk kantor di lobby. Siera tidak berniat memikirkannya, karena saat ini dia sedang diburu waktu. Hari ini dia bangun kesiangan setelah begadang dan menangis semalam. Untung saja jarak antara kantor dan rumah kontrakannya tidak begitu jauh. Jadi dia masih bisa tiba disana dengan cepat. Suara denting lift terdengar. Siera buru-buru menuju ke arah lift dan bersaing dengan para karyawan lain yang juga sedang menunggu lift. Namun malang baginya, lift keburu penuh sebelum dia sempat masuk. Wanita itu mendesah kecewa. Dengan langkah lelahnya, Siera mundur ke belakang, mencari ruang yang lebih longgar agar tidak berdesakan di depan lift. Siera gemas sendiri saat lift turun tidak juga tiba. Padahal jam masuk kantor tinggal lima menit lagi. Dia tidak mau telat hari ini. Tidak saat sedang ada rapat penting pagi ini. Sungguh menyesal semalam dia menghabiskan waktunya dengan menangis sehingga berakibat seperti ini. Sungguh rasanya dia ingin menangis disana sekarang. Lobby mulai sepi karena banyak dari karyawan disana sudah naik ke atas. Tapi Siera tidak juga kebagian lift. Di tengah keputusasaannya, wanita itu menemukan ide untuk sampai ke atas dengan cepat. Otaknya yang cerdas seketika mengarah pada lift di ujung, lift khusus untuk para direksi dan staff tertinggi di perusahaan. Siera melirik jam tangannya yang menunjukkan pukul delapan kurang tiga menit. Biasanya para atasan disana berangkat agak siang. Jadi mungkin ini kesempatan Siera. Wanita itu celingukan untuk memastikan tidak ada yang melihatnya masuk ke dalam lift. Begitu masuk, wanita itu buru-buru memencet tombol close. Siera mendesah lega karena usahanya sukses. Tau begitu sejak tadi dia naik lift tersebut. Syukur, pikirnya. Dia terselamatkan di saat genting. "Selamat pagi, Siera." Siera sontak terlonjak kaget saat mendengar sapaan tersebut. Wanita itu langsung menutup mulutnya syok begitu mendapati jika ternyata lift tersebut berpenghuni. Dan penghuninya tidak lain adalah... "Pak Digo..." lirihnya. Pria itu tersenyum geli melihat ekspresi wajah Siera. "Kayak ngeliat hantu," celetuknya. Digo maju satu langkah ke depan dan membuat Siera mundur ke belakang. Lalu memencet angka duapuluh tujuh tempat ruangannya berada. "Oh ya, Siera. Kamu turun di lantai berapa?" tanyanya sambil menunduk, menatap wanita yang kini sedang melihatinya itu. "S-saya..." "Ruangan kamu di lantai sepuluh kan, Siera?" "Ap-apa? Sepuluh?" ujar Siera tergagap. "Atau kamu mau mampir ke ruangan saya dulu?" Siera menggeleng pelan. "B-buat apa, P-pak?" Wanita itu sedikit tidak rela harus memanggilnya dengan sebutan itu. Dia kecewa kenapa tidak bisa memanggil 'Mas Andra' pada pria itu. Seandainya saja pria di depannya itu sungguh Andra, pasti Siera mungkin akan sangat bahagia. "Ya siapa tau kamu mau tiduran kayak kemarin di sofa saya," goda Digo sambil mengedip pada wanita itu. Siera menatapnya lekat. Menamatkan wajah pria itu lama-lama. Sungguh mirip, sangat. Seolah dia memang Andra. Garis wajahnya, rahang tegasnya, bahkan suaranya benar-benar sama. Siera hampir menangis saat menyadari hampir tiada beda antara pria itu dengan Andra. Cepat-cepat dia berbalik memunggungi Digo. Dan betapa beruntungnya dia karena lift terbuka di saat yang tepat. Siera keluar dari lift begitu saja tanpa mempedulikan pandangan aneh Digo. *** "Ini aja yang dibawa, Bu?" tanya Alya sambil membereskan beberapa file yang bercecer di atas meja Siera mengangguk lalu mengambil file-file yang disiapkan oleh Alya. "Nanti saya jadi meeting sama tim audit ya, Al. Kamu siapin berkas-berkas sama keperluannya," pesannya pada Alya. "Siap laksanakan, Bu Direktur!" ujar Alya sambil tersenyum kecil. Siera menghentikan langkahnya, berbalik menghadap Alya dengan dahi berkerut. "Kamu bilang apa, Al?" Alya meringis lebar. "Bu Direktur," jawabnya tanpa sungkan. Siera menggeleng tak paham. "Alya... kamu-" "Bu Siera nggak usah sok polos, deh. Semua orang di kantor juga udah tau kali kalo Bu Siera ada hubungan sama Pak Digo." Siera sontak terkejut mendengar perkataan Alya. "Ap-apa? Pak Digo?" Wanita itu mengepalkan tangannya geram. "Alya... kalo kamu bikin gosip yang aneh-aneh-" "Bu Siera... bukan saya yang buat gosip, Bu. Tapi gosip itu langsung muncul sendiri sejak acara penyambutan kemarin," ujar Alya lagi-lagi menyela perkataan Siera. Siera terdiam sejenak. "Acara penyambutan?" Alya mengangguk cepat. "Iya, Bu. Yang Ibu pas meluk Pak Digo kenceng banget kayak gini nih." Gadis itu melingkarkan kedua lengannya sendiri berpura-pura memeluk orang dengan gerakan lebay sehingga Siera jadi kesal. Wanita itu berusaha menghentikan Alya melakukan hal konyol tersebut dengan wajah merengut. Namun dia tidak bisa berkelit. Dia memang memeluk Digo begitu kencang saat acara penyambutan pria itu kemarin. Dan rupanya karena itu juga adegan Digo yang katanya menggendongnya ke ruang pribadinya di lantai atas, membuat gosip panas bermunculan. Siera terus merengut saat berjalan menuju ke ruang rapat. Hatinya dongkol saat mendapati beberapa staff perempuan berbisik-bisik sambil memandangnya. Meski begitu dia tetap melangkah ke dalam ruangan dan mengambil tempat duduk di belakang. Sepertinya menjauh dari orang-orang lebih baik baginya. Namun rupanya apa yang dia harapkan tak sesuai dengan kenyataan. Karena tak dia duga justru sumber gosip yang menimpa dirinya malah duduk bersisian dengannya. Siera hampir saja terlonjak kaget saat mendapati pria yang berstatus bosnya itu sedang senyum-senyum padanya. Wanita itu menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Mati kamu, Si. *** Siera menggigit bibirnya menahan tangis sambil berjalan keluar dari day care tempat biasanya dia menitipkan Saski. Berkali-kali wanita itu merutuki kebodohannya yang terlalu sibuk dengan pekerjaannya hingga melupakan sang putri. Harusnya pukul duabelas siang saat Saski pulang sekolah, Siera menjemputnya. Tapi dia terlarut dalam pekerjaannya dan melupakan bocah itu. Kini, saat hari sudah sore dia baru teringat jika Saski masih berada di sekolah. Dia mendatangi sekolah Saski, namun rupanya sang putri tidak berada disana. Lalu dia pergi ke day care, mengira bila sang putri terlalu lama menunggu Siera dan pergi sendiri kesana. Akan tetapi perkiraan Siera salah. Dengan kaki dan tangan gemetaran, dia berusah merogoh tas tangannya untuk mencari ponsel. Lalu menekan satu kontak yang selalu jadi orang pertama yang dia hubungi saat menemukan masalah. Dengan suara serak menahan tangis wanita itu berusaha berbicara, "Saski hilang, Sa."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN