Chapter 14 : Terabaikan

1924 Kata
Mata Digo melebar sempurna. Pria itu mendelik ketika melihat bola berwarna pink itu saat ini tengah berada di jalan raya. Digo berlari secepat kilat, mencari-cari Saski ke tengah jalan seperti orang kesetanan. Sebuah truk berhenti di tengah jalan, tepat di depan bola pink yang dia berikan tadi kepada Saski. Tapi anak itu tidak ada disana. Digo pun panik. Dia mencari Saski dimana-mana. Tapi anak itu tidak dia temukan. Dengan takut Digo merunduk, melihat ke bawah truk. Tangannya gemetaran, ngeri akan kemungkinan terburuk yang bisa saja terjadi. Kosong. Di bawah truk pun tidak ada anak itu. Digo kembali bangkit. Dan saat mendengar suara kecil yang sangat dia kenali, pria itu seketika menoleh. "Ayah!" Digo menoleh ke arah suara yang memanggilnya. Dan seketika pria itu menghela nafas lega ketika melihat anak itu berdiri di pinggir jalan, melambai ke arahnya. Digo tidak ingat kapan dia terakhir kali berucap syukur dalam hidupnya. Tapi kali ini dia menggumam syukur karena kecebong kesayangannya baik-baik saja. Digo menunduk, mengambil bola Hello Kitty milik Saski lalu bergegas menghampiri anak itu. Namun sial karena pria itu tidak memperhatikan jalan. Sebuah motor muncul dan menyenggolnya. Dia terjatuh ke aspal. Untungnya saja motor itu tidak melaju kencang. Jadi jatuhnya juga tidak parah. Digo meringis kesakitan. Pria itu mengumpat, memaki pengendara motor yang justru kabur saat melihatnya terjatuh. "Woy! Berhenti lo!" teriaknya yang tidak digubris. Saat berusaha berdiri pria itu meringis, menyadari siku dan kakinya yang terasa sakit. Digo menggerutu dalam hati, menyumpah-nyumpahi pengendara motor bodoh itu. "Ayah!" Digo segera menangkap Saski yang berlari ke arahnya dengan tangannya yang sehat. "Saski gapapa?" tanyanya. Anak itu menggeleng. "Ayah berdarah," katanya sambil menunjuk ke dahi Digo. Digo meraba dahinya yang lecet. Lalu ujung alisnya juga robek dan mengeluarkan darah. Lagi, pria itu mengumpat menyalahkan pengendara motor tadi. Digo mengambil bola Saski yang jatuh ke tanah dan memberikannya pada anak itu. "Saski kenapa main ke jalanan? Untung Saski gapapa. Ayah panik tau," omelnya. "Saski nggak main ke jalanan kok, Ayah. Tadi Saski main di taman. Tapi bolanya lari keluar. Saski nggak berani ambil karena Saski nggak bisa nyebrang," jawab Saski. "Kata Bunda, Saski nggak boleh nyebrang sendirian. Nanti bisa ketabrak," lanjutnya. Digo tersenyum kecil. Diacaknya pelan rambut anak itu. Dia senang karena anak itu baik-baik saja. "Betul kata Bunda. Saski nggak boleh deket-deket ke jalan raya. Nggak boleh sama sekali. Ngerti?" Saski mengangguk. "Ayah kuatir ya sama Saski?" tanyanya sambil mengulum senyum. "Ayah sayang ya sama Saski? Iya kan?" godanya pada Digo. Digo terkekeh kecil mendengarnya. Diusapnya kepala Saski dengan lembut. "Bisa aja nih kecebong," katanya. Saski tertawa. Tangan mungilnya menggandeng tangan Digo erat. Dia berjalan mengikuti Digo kembali ke dalam sekolah dengan riang. *** Siera segera menutup wajahnya saat angin berhembus kencang, menerbangkan debu jalanan dan uap panas sampai mengenai wajahnya. Wanita itu mempercepat jalannya menuju ke sekolah Saski. Siera begitu dekat, hanya tinggal beberapa meter lagi dari sekolah Saski saat wanita itu tanpa sengaja melihat sang putri sedang berdiri di pinggir jalan. Siera pun langsung panik. Wanita itu berteriak pada Saski untuk menjauhi jalan raya. Tapi rupanya anak itu tidak mendengar. Baru saja Siera hendak berlari ke arah Saski, dia dikejutkan oleh adegan orang tersempet motor. Siera sontak menutup mulutnya syok begitu mengenali orang yang sedang terjatuh ke aspal tersebut. "Pak Digo..." lirihnya. Dia heran darimana datangnya pria itu? Kenapa pria itu sudah ada disana. Tak lama datang putrinya menghampiri pria itu. Siera berdiri diam di seberang jalan, mengamati interaksi kedua orang tersebut. Melihat bagaimana cara Digo melihat anak itu, mengelus kepalanya, bagaimana Saski menggenggam tangan Digo, bagaimana cara anak itu tersenyum padanya. Mengetahui itu semua membuat hatinya galau. Saski dan Digo berhasil mengacaukan hatinya dalam sekejap. Membuat batinnya terenyuh. Kenapa harus Digo, pikirnya. Kenapa bukan orang lain saja? Kenapa harus orang yang sangat mirip dengan ayah kandungnya. Jika saja Digo tidak mirip dengan almarhum Andra, mungkin Siera tidak akan sebimbang ini. Jika saja pria itu tidak mengingatkannya pada masa lalunya, Siera tidak akan merasa sesakit ini. Tapi wajah Digo, senyum tulusnya, raut sedihnya membuatnya tidak bisa lepas dari bayang-bayang Andra. Siera menghapus air matanya yang jatuh tanpa dia sadari saat samar-samar mendengar bunyi bel masuk di sekolah Saski. Dia segera menyeberang jalan dan memasuki gerbang sekolah tersebut. Suasana di halaman sekolah Saski sudah sepi. Anak-anak disana sudah kembali ke kelas mereka masing-masing. Dan itu membuat Siera dengan mudah menemukan sosok Digo disana, duduk di ayunan sendirian. Saat Siera menghampirinya, Digo terlihat sedang menyeka wajahnya dengan selembar sapu tangan. Sambil sesekali meringis sakit. "Pak Digo!" Digo tampak kaget melihat kedatangan Siera. Pria itu langsung memasukkan sapu tangannya ke saku. Lalu meringis menyapa Siera. "Hai, Siera! Kamu nggak kerja?" Siera menggeleng. "Saya ambil cuti, Pak. Pak Digo sendiri ngapain kesini?" balasnya. "Oh... itu tadi aku mampir kasih bola buat Saski. Dia kan seneng banget sama Hello Kitty. Terus kebetulan aku ngeliat bola itu jadi ya... aku beli buat Saski," ceritanya panjang. "Eh, Siera.... kamu udah makan siang? Mau makan siang bareng?" tawar Digo. Siera menggeleng pelan. "Saya minta sama Pak Digo mulai sekarang tolong jauhi Anak saya. Tolong jangan temui Saski lagi, Pak." Digo terdiam sejenak, kaget karena Siera tiba-tiba mengatakan hal seperti itu. Dia tersenyum kaku. "Kenapa, Siera? Aku kan nggak ada niat jahat sama Saski," balasnya. "Pak Digo memang nggak punya niat jahat sama Saski. Tapi Pak Digo ngasih harapan untuk Saski. Saya nggak mau Anak saya berharap sama Pak Digo," ujar Siera. Digo lagi-lagi terdiam, merasa tertohok akan ucapan Siera barusan. "Tolong jangan membuat Saski berharap lebih. Dan jangan manfaatkan Anak saya untuk tujuan Pak Digo apapun itu." Digo menggeleng pelan. Tak setuju pada pemikiran Siera. "Siera, aku nggak..." "Tolong, Pak. Jauhi Saski," pinta Siera. Digo mendesah pelan. Tidak tau harus mengatakan apa. "Siera..." panggilnya lirih. "Kalau ini karena masalah kemarin, aku minta maaf," katanya frustrasi. "Aku berani sumpah, aku nggak ngintip kamu waktu ganti baju. Aku nggak ngeliat sama sekali. Aku dateng pas kamu udah selesai ganti. Aku berani sumpah!" ujar Digo menambahkan. Wajah pria itu terlihat kesal dan frustrasi. Sekaligus panik. Padahal Siera tidak bicara macam-macam. Apalagi mengancam. Siera hanya memintanya untuk menjauhi Saski dan berhenti menemui anak itu. Tapi tidak tau kenapa Digo bisa sepanik ini. Dia tidak rela melakukan itu. Dia tidak mau. Siera menunduk, tidak berani menatap mata Digo dan melihat wajahnya. Dia takut itu akan menyakiti hatinya. Melihat kekecewaan di wajah pria itu juga membuatnya sedih. "Saya harap Pak Digo mengerti," katanya. "Tolong jauhi kami." Setelah mengatakan itu, Siera pergi dari hadapan Digo sambil menahan tangis dan beban berat di hatinya. *** "Saski, ayo sarapan!" kata Siera pada Saski yang asyik memainkan bolanya di ruang tengah. "Iya Bunda," ujar Saski. Dia memeluk bolanya lalu berjalan ke ruang makan dan duduk di kursi samping Siera. Siera mendesah pelan melihat bola pink yang sedang dipeluk anak itu. Dia risih karena sejak kemarin hanya benda itu yang diperhatikan oleh putrinya. Saski membawanya kemana-mana. Bahkan saat tidurpun benda itu tidak lepas dari tangannya. "Saski, bolanya ditaruh dulu. Terus sarapan biar nggak terlambat ke sekolah," kata Siera mengingatkan. Saski mengangguk. Anak itu menuruti Siera dengan meletakkan bola tersebut ke kursi di sebelahnya dan membuat Siera menghela nafas panjang. Siera muak melihat Saski yang tidak bisa jauh dari benda bulat berwarna pink tersebut. Ingin sekali dia menyingkirkan bola itu dari hadapannya. Namun dia tidak sanggup. Saski pasti akan sedih jika dia melakukan itu. Melihat bagaimana sayangnya Saski pada benda itu, membuat hati Siera iba. "Bunda, Saski masuk dulu ya!" pamit Saski saat mereka sampai di depan gerbang sekolah Saski. Siera mengangguk. Dia segera mencium kedua pipi Saski setelah anak itu mencium tangannya. "Belajar yang rajin ya, Sayang. Jangan bandel ya di sekolah," pesannya. Saski mengangguk pelan lalu melambai pada Siera. Setelah anak itu masuk ke dalam kelasnya, Siera menghela nafas panjang. Saski terlihat murung hari ini. Sepertinya dia tidak semangat bersekolah karena tidak membawa benda pink kesayangannya tadi. Siera melarang saat anak itu berniat membawa bola pemberian Digo ke sekolahnya. Tapi Saski malah membantah dan membuat Siera marah. Wanita itu memijit pelipisnya yang perlahan berkedut nyeri. Rasanya dia malas berangkat ke kantor kalau sedang seperti ini. Tapi karena dia hanya mengajukan cuti selama dua hari, mau tak mau Siera harus berangkat ke kantor. Dia melirik jam di tangannya. Lalu dia bergegas berangkat ke kantor sebelum terlambat meski pening di kepalanya semakin menjadi. Sampai di lobby wanita itu segera memasuki lift yang sedang membuka. Siera bergeser masuk ke arah sudut karena beberapa karyawan ikut masuk ke dalam lift. Lift berjalan perlahan melewati beberapa lantai. Siera kembali memijat pelipisnya karena rasa pusingnya tak kunjung mereda. Wanita itu merogoh tasnya, mengambil minyak angin untuk dioleskan di pelipisnya. Siera memijit pelan dahi dan pelipisnya. Dia benar-benar pusing sekarang. Siera ingin pulang. Tapi sepertinya sudah terlambat untuk itu. Tinggal beberapa lantai lagi dia sampai di ruangannya. Wanita itu menghela nafas pelan. Lalu mendekap tasnya erat. Siera sedang menikmati rasa pusing yang menyerangnya, saat dia sadar ada sebuah tangan yang sedang mengelus pinggangnya. Lalu turun menuju ke pantatnya. Sontak saja wanita itu melonjak kaget. Dia langsung berbalik dan melihat kebelakang. Siera melihat beberapa pria yang berdiri di belakangnya. Semuanya berwajah datar. Seolah tidak berbuat apa-apa. Mereka malah memandang Siera bingung sehingga Siera berpikir bahwa dia sudah salah sangka. Dia kembali berbalik ke depan, mengabaikan kejadian yang dia alami barusan. Dan rupanya kejadian itu kembali lagi. Siera langsung berbalik dengan wajah marah. Tapi dia tidak tau harus menuduh siapa. Semua pria di belakangnya diam dengan wajah tanpa dosa. Mereka malah mengerutkan dahinya melihat ekspresi aneh Siera. Siera maju ke depan dengan wajah was-was. Sesekali dia melirik ke belakang. Takut dia akan mengalami hal itu lagi. Dan untuk yang ketiga kalinya, Siera kembali mengalami hal itu lagi. Wanita itu sudah akan membalikkan badan, hendak mengeluarkan amarahnya saat mendengar bunyi berdebum di lantai. Dia dan beberapa karyawan lain sontak terkejut. Mereka mundur ke belakang. Dan seseorang segera menghentikan lift. Siera membelalak saat matanya menangkap sosok pria yang membuatnya tidak bisa tidur semalam. Pria itu memelintir tangan salah seorang karyawan yang tadi berdiri di belakang Siera. Lalu memukuli wajahnya beberapa kali. "b******k lu! Berani lu sentuh Siera! b******k!" makinya sambil terus memberikan bogem mentah pada pria itu. Digo bahkan tak segan meluncurkan tendangan keras ke arah badan pria itu. Siera menjerit kaget. Begitu pula dengan para karyawan di dalam lift tersebut. Mereka berusaha menghentikan Digo dari amukannya dengan berhati-hati. Takut karena yang sedang mengamuk saat ini adalah bos besar mereka. "Mati lu! Mati aja lu!" seru Digo sambil terus memukulinya hingga pria itu benar-benar terkapar tak berdaya, babak belur di tangannya. Siera hanya bisa menonton kejadian itu dengan ketakutan. Digo benar-benar marah. Tidak ada seorangpun yang bisa menghentikannya. "Pak Digo..." ujar Siera lirih. "Pak, jangan!" katanya. Digo tetap mengamuk. Tidak terkendali, beringas. Dia sangat marah karena pria itu berani melecehkan Siera. Dia sudah bertekad akan menghabisi pria itu dengan tangannya sendiri. "Pak Digo berhenti! Saya mohon berhenti, Pak!" Digo sontak menghentikan amukannya pada pria itu saat melihat tangan halus Siera berada di pergelangan tangannya, berusaha menghentikan tindakannya. Digo mendongak dan melihat wajah Siera yang ketakutan. Tangan Digo melemah. Dia melepaskan cengkeramannya pada karyawan kurang ajar tersebut. "Kamu pergi sekarang juga dari kantor saya! Saya nggak sudi ada orang b******k seperti kamu ada di kantor saya!" katanya pada pria itu. Lalu dia mengambil tas kerjanya yang tergeletak di lantai lift. Dan merapikan kembali jas dan kemejanya yang berantakan. Kemudian seolah tidak terjadi apa-apa pria itu berlalu keluar dari lift. Berjalan santai tanpa dosa ke arah lift khusus dan menutupnya. Siera terdiam, memandang sosok Digo yang menghilang dari pandangannya dengan nanar. Tiba-tiba hatinya terasa sakit karena pria itu. Digo pergi begitu saja melewati dirinya. Tanpa menoleh sedikitpun.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN