Bab 3. Bos Baru

1376 Kata
Happy Reading Hampir satu jam mereka bersama, bergelung di dalam kenikmatan hingga akhirnya keduanya meledak bersama-sama. Peluh telah membasahi tubuh keduanya dengan napas tersengal yang membuat d**a mereka naik turun dengan cepat. Sella tertidur karena lelah, sedangkan pria itu hanya duduk sambil memainkan ponselnya. Dia melirik ke arah samping, tersenyum bangga karena baru kali ini dia merasakan wanita yang masih suci. Delon bangkit, memakai setelan jas mahalnya dan mengeluarkan sebuah cek. "Ini sangat mahal dari yang pernah aku keluarkan untuk seorang wanita," gumam pria itu kemudian pergi dari kamar tersebut. Saat pagi harinya, Sella terbangun karena dering panggilan telepon. Tangan Sella keluar dari balik selimut dan mencari-cari ponselnya yang ada di dalam tas di atas nakas. "Emmhh?" gumam Sella malas setelah menempelkan ponsel ke dekat telinganya. "Astaga, Sella. Masih tidur lo? Ini udah jam berapa? Kebo amat lu jadi orang. Lagian anak perawan bangun siang, rezeki habis dipatok ayam nanti!" pekik suara Nadia, sahabatnya yang bekerja di divisi yang sama. Sella sampai menjauhkan hp itu dari telinganya yang terasa sakit. "Masih pagi, Nad. Nggak perlu teriak-teriak. Sakit telinga gue," decak kesal Sella. "Pagi dari mana, Honey. Elu ada di Arab sampai bilang ini masih pagi? Ini jam sembilan, matahari udah tinggi. Elu dicariin sama Pak Edo, noh!" Sella terkejut mendengar Nadia mengatakan jam sembilan sampai dia refleks duduk dan tercengang karena mendapati dirinya yang berada di sebuah tempat asing. Sella menjatuhkan rahangnya dan masih bingung di mana dia sekarang. "Sel. Oii, Sella! Bangun oii, jangan tidur lagi. Pak Edo udah marah-marah tuh, suruh elo datang—" Sella tidak lagi mendengar suara Nadia karena dia menjatuhkan hp-nya ke atas pangkuan. Tatapannya dia edarkan ke sekeliling, tapi dia tidak mengenali tempat ini. Saat pandangannya terjatuh pada seonggok pakaian di lantai, Sella menyadari sesuatu. "Akh! Apa-apaan ini?" Sella berteriak saat menyadari jika tubuhnya polos bak anak bayi yang baru saja terlahir ke dunia. Tangannya gemetar memegangi selimut di depan dadanya, dia mencoba untuk mengingat sesuatu dan pada akhirnya Sella mengingat sebuah wajah tampan. "Sel ... Sella, kenapa lo?" Suara Nadia terdengar kembali berteriak dari seberang sana. Sella segera mengambil hp-nya. "Nad ... nanti gue hubungin lagi." Panggilan itu Sella putuskan sepihak. "Apa yang udah aku lakuin?" gumam Sella, dia tidak ingin menangis karena kini otaknya sedang memutar memori atas kejadian semalam, bahkan saat dia meminta laki-laki itu untuk melanjutkan percintaan sesaat mereka hingga pada akhirnya bayangan-bayangan lain dan suara desahan itu berputar kembali mengingatkannya. "Apa yang aku lakuin? Aku benar-benar udah gila," racau Sella sambil memegangi kedua pipinya sendiri. Saat Sella bangkit, dia terduduk kembali di tepi ranjang, merasakan sakit pada inti tubuhnya. Sekilas di atas seprai Sella melihat noda darah yang mengering yang dia yakini miliknya. Sella tidak bisa lagi menyesal karena dia lah yang meminta pria itu. Hanya setitik air mata yang keluar dari sudut matanya yang kemudian diusap dengan punggung tangan. "Dasar Dika sialan!" racau Sella kesal, kemudian memaksakan diri untuk mengambil pakaiannya. Saat Sella akan mengambil tasnya, ada sebuah cek di atas nakas. Sederet angka tertera di sana dengan banyak nol. Sella tertawa miris. Apakah pria itu mengira dia wanita panggilan? Atau, pria itu mengira dia sedang menjual keperawanannya? Jika bukan karena Dika, tidak akan Sella mendapatkan pengalaman yang memalukan ini! Sella pergi dari sana dengan membawa cek tersebut. Sampai di apartemen, Sella segera mandi dan membasuh tubuhnya yang lelah. Aroma percintaan sangat jelas sekali di tubuhnya, bahkan aroma pria itu menempel pada kulitnya. Air mata keluar dari sudut matanya, tapi semua sudah terjadi dan Sella tidak tahu harus melakukan apa sekarang. Sialnya, dia tidak mengenali pria tersebut. *** Di sebuah gedung pencakar langit, seseorang sedang duduk dan diam, membayangkan percintaan sesaat dengan seorang wanita asing beberapa malam yang lalu. Rasa yang dia dapatkan malam itu sangat berbeda dengan yang pernah dia dapatkan sebelumnya. "Sayang!" Seorang wanita cantik masuk ke dalam ruangan kerjanya dengan wajah yang ceria, di tangannya terdapat beberapa kantong belanjaan degan nama brand ternama. "Hannah." Dia terkejut saat kekasihnya datang tak terduga. "Kapan kamu pulang dari Sidney? Kenapa kamu nggak kasih aku kabar?" Pria itu berdiri, menyambut kekasihnya dengan pelukan dan ciuman singkat. "Aku baru pulang tadi. Maaf, aku cuma mau kasih kamu kejutan. Surprise!" Delon tersenyum, mengambil alih sebuah kantong yang Hannah berikan. "Aku bawakan makan siang buat kamu. Aku udah pesen dari restoran kesukaan kamu, loh." Hannah tersenyum, menyimpan semua kantong belanjaan miliknya dan membukakan kotak makanan milik Delon. "Kamu nggak perlu repot, Hannah. Aku bisa mengurus diriku sendiri." "Aku calon istri kamu, aku harus belajar untuk siapkan kebutuhan kamu, kan? Jadi, jangan sungkan." Hannah memberikan satu suapan untuk Delon. "Enak?" Delon menganggukkan kepalanya. "Ini enak banget. Semua yang kamu kasih, adalah yang terbaik buat aku." Hannah tersenyum senang mendengar ucapan calon suaminya ini. Tiba-tiba saja Delon menarik tangan Hannah dan membuat wanita itu memekik kaget, terjatuh di pangkuan Delon. "Aku kangen kamu," bisik Delon. Napasnya hangat di telinga Hannah. Tanpa menunggu persetujuan dari wanita itu, Delon memagut bibir Hannah dengan lembut kemudian menjadi rakus. Sesaat mereka terbuai akan indahnya kebersamaan, tetapi kemudian suara deheman terdengar jelas membuat keduanya terkejut dan menjauhkan diri. "Papa?" Delon melihat tatapan mata sang ayah yang kelihatan marah. "Kalau Papa nggak masuk ke sini, apa yang akan kalian lakukan?" tanya Gazelle dengan nada tidak suka. Putranya memang akan menikah dengan Hannah, tetapi Gazelle tidak suka dengan apa yang mereka lakukan apa lagi di kantor. "Maafkan kami, Papa. Kami janji tidak akan melakukannya lagi." Hannah bersuara dengan lembut sambil menundukkan kepalanya dan membenarkan pakaiannya yang sedikit berantakan, malu dan kesal karena calon ayah mertua memergoki mereka. Gazelle hanya menghela napasnya, kemudian menyuruh Hannah untuk pulang. Delon dengan perasaan kesal kepada sang ayah hanya bisa menatap kepergian Hannah dan merasa bersalah. "Papa nggak seharusnya bersikap seperti itu dengan Hannah. Kami nggak lakuin hal yang berlebihan." Delon melayangkan protes. "Papa ngerti, tapi untuk sekarang tolong kamu fokus dengan urusan kantor. Sebentar lagi kamu akan menikah, dan Papa mau kamu sudah memegang perusahaan saat itu. Banyak hal yang harus kamu pelajari, kamu nggak boleh lengah hanya karena calon istri kamu. Mulai saat ini kamu harus berhati-hati, setiap langkah yang kamu ambil akan selalu jadi sorotan orang lain. Termasuk apa yang tadi kalian lakukan." Delon semakin kesal mendengar ceramah dari ayahnya di siang ini, tetapi melawan perintah sang ayah sama saja dengan mencari kuburannya sendiri. "Ikut Papa. Kita harus meeting dan memperkenalkan kamu pada para pemegang saham dan jajaran direksi." Delon bak kerbau yang dicucuk hidungnya mengikuti langkah kaki ayahnya menuju ruang meeting. Selama ini dia lebih suka bermain di belakang layar, tetapi menjadi anak laki-laki atu-satunya di keluarga membuat dia mau tidak mau harus mengambil tampuk kekuasaan yang diturunkan kepadanya. Seluruh karyawan dikumpulkan pada sebuah aula yang tersedia di perusahaan itu, beberapa direktur dari seluruh divisi juga ada di sana setelah rapat singkat perkenalan Delon sebagai CEO untuk menggantikan ayahnya. Sampai ketika, pandangan Delon terpaku pada seseorang yang berdiri di tengah-tengah. Delon terdiam, meyakini jika dia tidak salah melihat. Wanita itu, yang sedang bertatapan mata dengannya, adalah wanita yang dia ambil kesuciannya. Delon tersenyum hampir tak terlihat, seakan takdir sedang mempermainkannya. "Ganteng banget CEO baru kita, Sel." Nadia menyenggol lengan Sella, membuat wanita itu tersentak dari lamunannya. "Ih, elo sampai terpana gitu. Ganteng banget ya?" Tatapan Nadia memuja sosok Delon yang berdiri gagah di depan. "Eh, hooh." Sella mengangguk, tidak tahu lagi apa yang harus dia katakan. Hatinya kini menjadi tidak karuan, apa lagi saat pria itu tidak melepaskan tatapan darinya. "Ah, sial. Ternyata pria itu bosku? Apa yang harus aku lakuin?" batin Sella. Sella ingin menghilang saat ini juga. Andai dia tahu jika laki-laki ini adalah atasannya, tentu saja dia tidak akan meminta pria itu untuk melanjutkannya malam itu. "Aku bisa mati!" gumam Sella tanpa sadar. "Hah. Mati? Kenapa?" Nadia menatap bingung, Sella menggelengkan kepalanya dengan cepat. "Ah, bukan apa-apa. Maksudnya ... gue kebelet sampai rasanya mau mati. Ke toilet dulu ya," pamit Sella kemudian pergi tanpa menunggu jawaban dari Nadia. "Sial. Kenapa harus dia? Kenapa laki-laki itu yang harus jadi bosku? Apa aku resign aja, ya?" Sella berpikir sambil mencuci tangannya. "Tapi, di mana lagi aku bisa kerja di perusahaan besar kayak gini?" Sella menjadi bingung, terutama karena dia harus melunasi utang kedua orang tuanya yang baru terkena tipu beberapa bulan yang lalu. Saat Sella keluar dari toilet, suara bariton seseorang memanggilnya. "Ternyata kamu di sini."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN