Kumpulan Cerita Pendek

Kumpulan Cerita Pendek

book_age16+
348
IKUTI
1.3K
BACA
drama
tragedy
serious
spiritual
like
intro-logo
Uraian

(Cerita-cerita dari aplikasi sebelah, tak bawa pindah sini.)

Hanya cerita pendek, satu atau beberapa bab selesai.

Moga bisa terhibur membacanya.

Ambil yang baik buang tidak baiknya.

Jika ada yang tidak berkenan, maafkan.

Tidak suka, lewati.

Hal-hal di atas berlaku di semua cerita-ceritaku.

:)

ic_default
chap-preview
Pratinjau gratis
Gara-gara Hujan
Gadis muda tampak berdiri di dekat halte. Dia hendak menanti bus. Diliriknya jam yang melingkar di tangannya. Hari sudah larut sore. Satu motor Pixion berhenti di depannya. Laki-laki pengendara motor itu membuka kaca helem. "Mau pulang 'kan? Ayo, naik!" Laki-laki itu menawarinya tumpangan. "Gak usah pak Fadil. Nanti ngerepotin." kata gadis itu sungkan. "Gak apa-apa, Seni. Rumah kita satu arah, sekalian pulang bareng." Seni masih tampak ragu tidak langsung menjawabnya. "Dari pada lama nunggu bis. Ayo, naik. Gratis, gak bakal disuruh bayar." Seni tersenyum mendengarnya. Bukan begitu maksudnya. "Yaudah, deh." Seni pun akhirnya naik di motor Fadil duduk menyamping. Mereka pergi. Di jalan rupanya hujan turun, deras. Fadil lekas menepikan motornya ke sebuah rumah. Teras depan rumah itu terdapat tumpukan barang bekas, Fadil menyisi. Tempat berteduh lainnya penuh terisi oleh pengendara motor lain saat lewat tadi. "Wah, hujan. Lupa lagi gak bawa mantel." Fadil bicara seraya menepis-nepis jaketnya yang terkena hujan. Dia membukanya, menyisakan kemeja yang dipakainya. Helem sudah dia buka juga. Seni mengusap-usap rambutnya yang jadi agak lepek. "Gak apa-apa, nunggu di sini aja dulu." "Kalau kamu naik bis pasti gak akan kehujanan." "Nanti juga reda hujannya." "Maaf, ya, Sen. Jadi harus nunggu di sini." Fadil tak enak. Dia kasihan melihat gadis itu mematung sendiri di halte. Dari itu mengajaknya pulang bersamanya, dari pada lama menunggu kendaraan. Tak disangka di tengah perjalanan turun hujan. "Iya, gak apa-apa. Mmm ... Biasanya pak Fadil bawa mobil, tumben di motor, pak?" "Lagi pengen bawa motor aja." Seni mengangguk kecil. Mereka diam setelahnya. Hujan bertambah deras disertai angin. Seni mengelus-elus lengan tangannya sendiri karena dingin. "Katanya istri Bapak sakit, ya?" Seni kembali bicara, sambil menunggu reda tidak ada salahnya dia mengobrol. "Doain ya, Sen. Semoga lekas sembuh. Lekas diangkat penyakitnya." "Memangnya sakit apa sih, Pak, sebenarnya?" "Dia mengalami pendarahan." "Keguguran?" "Bukan. Ada kista." "Astagfirullah. Semoga cepet sembuh ya, Pak." "Aamiin. Terimakasih, Seni." "Udah lama pendarahannya?" Seni bertanya kembali. "Dari beberapa bulan yang lalu. Awalnya darah keluar sedikit-sedikit, sekarang banyak." Seni terenyuh mendengarnya. Tak bisa dibayangkan jika itu terjadi padanya. Akan semenderita apa dia. Mereka berdiam lagi. Guntur terdengar, Seni tersentak dan beringsut mundur ke pintu rumah itu. Tak disangka, pintu di belakangnya itu terbuka saat dia bersandar. "Gak dikunci," gumamnya. "Kok kebuka?" tanya Fadil heran. Seni menggeleng tidak tahu. "Permisi!" Fadil menyapa tuan rumah. Tidak ada yang menyahut. Pintu dibuka lebih lebar olehnya. Mereka masuk. Selain di depan rumah itu mempunyai pintu di sampingnya. "Ini seperti rumah kosong," kata Seni seraya memperhatikan sekitar. Tidak ada barang apa pun di dalamnya, kecuali satu set sofa usang. Lantainya kotor, di dalam gelap. "Iya. Rumah ini sepertinya sudah lama tidak ditempati. Aku melewatinya saat berangkat dan pulang kerja, kupikir ada penghuninya." Seni terdiam mendengar bicaranya itu. Baru kali itu dia mendengar sosok Fadil berbicara panjang padanya. Di kantor dia atasan yang kaku, mereka tidak akrab. Seni hanyalah pekerja magang di sela kesibukannya kuliah. Fadil mencoba menekan saklar di dekatnya, lampu tidak menyala. Dia lalu membuka lebih lebar pintu supaya terlihat terang dari luar. Rupanya di luar pun gelap oleh hujan dan hari menjelang maghrib. Seni berdiri dekat jendela tidak jauh dari pintu itu. Dia diam saja. Sesekali terlonjak mendengar petir dan kilatnya yang menyilaukan mata. Sesuatu terasa menyentuh kakinya. Seni melihat ke bawah. Dia menjerit. "Aaaaa! Ada tikuuss!" Seni berlari ke arah Fadil memegangi erat lengannya. Fadil sedikit terkejut mendengar teriakannya, dia melihat tikus kecil hitam berlari cepat. "Tikusnya udah pergi." Dia menenangkan. Seni belum lega, napasnya belum teratur. Dia tidak suka hewan lunak itu. Dia melihat tangannya yang melingkar pada tangan Fadil. Seni segera melepaskannya, dia sedikit menjauh. "Maaf ...." Fadil tersenyum kecil karenanya. Gadis itu spontan merapat padanya saat takut. "Gak apa-apa." Keduanya diam. Masing-masing sibuk dengan pikiran sendiri. Blaaaarrr! Petir terdengar. Sangat kencang dan mendadak. Seni memeluk Fadil. Baru saja dia melepaskan tangannya dan merasa malu. Kini, ia memeluk erat dirinya. Fadil sendiri terkejut dengan suara keras itu. Petir itu lebih kencang dari sebelum-sebelumnya disertai kilat. Seni spontan di dekapnya. Seni membenamkan kepalanya di d**a bidang Fadil dan Fadil memeluk punggungnya. Petir susulan terdengar sama kencangnya membuat Seni belum melepaskan Fadil. Dia semakin memeluknya erat. Tubuh keduanya semakin rapat. Hujan begitu derasnya di luar. Tapi, tidak menutupi suara detak jantung dua insan yang tengah dekat itu. Degupnya kencang, satu-satu dengan tempo yang lambat. Seni merasakan jelas detak jantung Fadil dan Fadil merasakan jelas detak jantungnya. Debaran mereka tak biasa. Seni mendongak. Dia masih memeluknya. Fadil memandang Seni dalam. Betapa elok gadis itu dia lihat di jarak yang dekat. Dia gadis muda yang menarik. Seni pun berpikir hal sama, betapa ia suka memandang laki-laki di hadapannya. Jika lawan jenis berduaan maka yang ketiganya adalah setan. Setan itu hadir diantara Fadil dan Seni, membisiki keduanya untuk lebih dekat. Fadil perlahan menunduk dan Seni memejam. Lelaki itu meniadakan jarak dengan mengecup bibirnya. Setan gencar membisiki di kedalaman hati Fadil. Dia yang sudah lama tidak bermesraan dengan istrinya yang sedang pendarahan, tergoda. Seni dirangkul dibawanya ke sofa sambil terus menciumnya. Dia mendorongnya. Gadis itu jatuh di sofa dengan dia di atasnya. *** Satu bulan berlalu. Seni mengalami muntah-muntah di dapur dan di kamar mandi. Dia panik mengingat kejadian sewaktu hujan. Seni pergi ke apotek mengendarai motor. Dia tidak mempedulikan raut wajah heran Zaki—kakak tertua laki-lakinya saat dia ke luar rumah. Pulang dari apotek, Seni bergegas ke kamar mandi mencoba tes pek yang dibelinya mengikuti petunjuk yang ada di kemasan. Dia sedikit menyisakan air seni di wadah kecil lalu mencelupkan tespek tersebut. Setelah satu menit didiamkan Seni terkejut melihat hasilnya. Seni menangis dalam diam membekap bibirnya kuat-kuat. Dia ketakutan. Bagaimana sekarang? Laki-laki yang membuatnya hamil itu bahkan sudah punya istri. Seni takut menghadapinya. Bagaimana dia melalui semua ini? Gadis itu cemas sendiri. Usai berhubungan waktu itu, Seni pun menangis. Menyesal. Fadil menghiburnya mengusap air matanya. Dia meminta maaf. Mereka bergegas berpakaian dan pulang begitu hujan reda. 'Apa aku harus menggugurkannya mumpung masih kecil?' terlintas pikiran itu di benaknya. Seni menghapus air matanya dan ke luar dari kamar mandi. Seni terkejut. Zaki ada di hadapannya. Dia merebut tespek dari genggamannya. "Jangan baaangg ...." Terlambat. Zaki sudah melihatnya dan faham. Laki-laki berambut gondrong dan bertatto di lengan tangan itu menatapnya sengit. "Lo berani melakukan hubungan di luar nikah dan lo hamil?" Seni berurai tangis mendengar ucapan kakaknya. "Aku khilaf bang Zaki ... " "Siapa pelakunya?" Seni menggeleng berat untuk berucap. Dia segan karena laki-laki itu milik orang lain. "Seni mau minum obat peluntur aja, bang." Takut-takut Seni katakan itu. "Katakan!" Zaki membentaknya. "Enak saja mau digugurin. Gak bisa begitu! Gue abang lo, gak terima lo begini. Itu orang harus tanggung jawab!" Seni mendongak. Tertegun dengan ancaman Zaki. Ketakutan dalam dirinya menjadi-jadi. "Jangan, baang. Jangaan." Seni memohon-mohon pada abangnya itu untuk tidak melakukan itu. "Ada apa ini? Ribut-ribut begini?" Ibu mereka datang dari luar sehabis pulang belanja, "Seni, kenapa kamu nangis?" Seni langsung menghampiri Ibunya. "Ampun Bu, ampuuun. Seni udah buat Ibu maluu." Seni sesenggukan di bawah kaki Ibunya.

editor-pick
Dreame-Pilihan editor

bc

B̶u̶k̶a̶n̶ Pacar Pura-Pura

read
152.7K
bc

Papa, Tolong Bawa Mama Pulang ke Rumah!

read
4.6K
bc

My husband (Ex) bad boy (BAHASA INDONESIA)

read
295.5K
bc

Sentuhan Semalam Sang Mafia

read
172.4K
bc

Tentang Cinta Kita

read
214.5K
bc

Ketika Istriku Berubah Dingin

read
3.6K
bc

TERNODA

read
193.3K

Pindai untuk mengunduh app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook