Hari kedua Adiwilaga dan Nismara tinggal di kediaman Danang untuk terus mencari bukti-bukti kejahatan Danang. Yang mereka dapatkan di hari kedua ini sungguh mengejutkan yakni, rincian dana gelap yang ternyata selama ini masuk ke dalam kantung pribadi Danang. Mereka tak sengaja karena Daffa mengajak keduanya untuk melihat-lihat album foto dokumentasi warga yang kala itu tengah melangsungkan kegiatan tahunan. Saat Daffa sedang keluar dari ruang kerja ayahnya untuk mengangkat telefon rumah yang berbunyi, Adiwilaga tidak menyia-nyiakan kesempatan ini untuk memfoto bukti-bukti korupsi Danang.
“Benar-benar kepala desa giila si Danang itu, Kang Mas. Bisa-bisanya makan uang rakyat. Padahal selama ini gajinya sendiri sudah sangat cukup untuk menghidupi dirinya dan juga Daffa.” Nismara menatap nanar lembar perincian dana yang asli dan palsu itu.
Yang asli, tentu jumlah nominalnya lebih besar daripada yang palsu. Pemerintah saat ini tengah berupaya untuk membangun desa ini lebih maju dari sebelumnya. Mereka berharap, dengan adanya dana bantuan ini, para warga bisa memanfaatkannya untuk mengatasi kemiskinan yang cukup memprihatinkan di desa ini.
Selama Adiwilaga dan Nismara menyamar sebagai mahasiswa yang meneliti perkembangan desa ini, mereka berdua memang sudah merasakan banyak kejanggalan. Terutama uang bantuan kesejahteraan yang kata warga selalu telat dan nominalnya tidak sesuai dengan apa yang mereka baca atau tonton di media penyiaran kabar. Meskipun warga desa sini terlihat kurang berpendidikan, bukan berarti mereka boodoh dan tidak pernah mengikuti acara berita. Justru mereka tidak pernah melewatkan perkembangan berita terutama tentang adanya kesejahteraan yang menjadi hak mereka.
“Nismara, di sini ternyata tidak hanya kasus pembunuhan saja yang berhasil dilakukan oleh Danang. Korupsi dan juga perbuatan yang tidak terpuji di kantor yang tidak pernah terungkap. Semua itu, akan berakhir besok.”
“Kang Mas bisa menerawang apa yang akan terjadi besok?”
“Tentu saja. Kamu tenang saja. Kita harus tetap bersikap senatural mungkin, agar Danang tidak mencurigai kita.”
Nismara hanya mengangguk. Tangannya kemudian menutup buku album warga yang berisi foto kegiatan tahunan di desa itu. Nismara hendak beranjak dari posisi duduknya. Namun sebelum itu, Adiwilaga berkata, “Nanti malam sebaiknya kamu tetap berada di dalam kamar. Daffa biar Kang Mas yang urus, Nismara.”
“Apa yang terjadi dengan Daffa, Kang Mas?”
“Kak, bagaimana? Sudah selesai melihat album tahunan kegiatan desa kami?”
Keduanya menghentikan percakapan serius mereka. Kemudian mengangguki pertanyaan Daffa yang tiba-tiba sudah masuk kembali ke ruangan ini setelah mengangkat telepon rumah. Nismara masih terbawa akan rasa penasaran dengan perintah sang kang mas. Ia menyimpannya untuk ditanyakan lagi nanti. Karena tidak mungkin melanjutkan perbincangan sementara di sini ada Daffa.
“Baiklah kalau begitu, kebetulan sekali. Karena kegiatan Kak Adi dan Kak Ninis sudah selesai hari ini, Ayah meminta Daffa untuk mengajak kalian nanti sore untuk makan bersama di salah satu rumah makan gubug yang terkenal lezat di desa kami. Kakak-kakak sekalian mau ‘kan?”
“Tentu saja, Daffa. Sampaikan terima kasih pada Pak Danang.”
“Siap, Kak Ninis! Kalau begitu, sebaiknya Kak Adi dan Kak Ninis beristirahat dulu. Nanti sore kita langsung berangkat ke rumah makan gubug itu.”
“Bapak?”
“Karena letaknya tidak jauh dari kantor, Ayah sepertinya tidak pulang ke rumah, Kak Adi. Ayah akan langsung ke sana dan menunggu kita bertiga di sana,” jelas singkat Daffa.
“Oke. Selamat beristirahat semua.” Mereka pun keluar bersama-sama dari ruang kerja Danang.
Di dalam kamar, Nismara langsung melangsungkan acara tidur siangnya. Entahlah, matanya terasa berat dan sangat mengantuk. Sementara itu, di kamar sebelahnya—Adiwilaga tidak bisa memejamkan matanya sedetik pun. Ia terus menatap jam dinding yang setiap detiknya terus berputar itu. Berharap waktu akan dapat membantu kegelisahannya juga. Semoga ia bisa menyelamatkan Daffa dari jebakan maut yang telah direncanakan oleh ayahnya sendiri itu.
Sore harinya, setelah bersiap. Ketiganya segera bergegas untuk menuju rumah makan gubug yang kata Daffa sangat terkenal dengan kelezatan dan juga kelegendarisannya. Adiwilaga dan Nismara tampak menunjukkan antusiasmenya. Padahal dalam hati kecil Adiwilaga, ia merasa miris dengan apa yang setelah ini akan terjadi. Daffa yang malang..
Memilih berjalan kaki, ketiganya sesekali menyapa para warga desa yang baru saja pulang untuk memberi makan hewan ternak mereka di lapangan yang penuh dengan rumput. Pun juga ada beberapa warga yang baru saja pulang setelah bertani seharian. Meskipun lelah, mereka tetap tersenyum kepada para pendatang seperti Adiwilaga dan Nismara ini.
Tak lama kemudian, mereka sampai di rumah makan gubug itu. Tempatnya sangat bagus, dikelilingi dengan pohon-pohon jati, seperti pondok-pondok kecil yang di dalamnya terdapat ruang makan. Ada yang diperuntukkan untuk dua orang saja—mungkin untuk mereka-mereka yang tengah memadu kasih—ingin makan bersama. Ada pula yang diperuntukkan untuk keluarga. Mata Daffa menangkap sosok ayahnya yang tengah melambaikan tangannya itu.
Di sana, ternyata juga sudah ada Ranika.
Wanita ular itu lagi. Nismara ingin sekali melemparkan sandal yang dipakainya tepat ke mengenai wajah cantiknya yang tidak seberapa itu.
“Selamat sore, Adhi..Ninis.. Silahkan duduk..” Senyum Danang mempersilahkan mereka berdua untuk duduk.
Di mata orang lain, senyum itu menggambarkan keramah-tamahan. Tetapi di mata Adiwilaga senyum itu merupakan senyum pembunuh menyeramkan yang sebentar lagi akan melancarkan aksi pembunuhannya.
“Bagaimana? Kalian senang diajak makan bersama di sini oleh Pak Danang?” tanya Ranika mencoba berbasa-basi.
Tentu saja keduanya turut menyahuti dengan senang hati pula. Jangan sampai ada kecurigaan sekecil apapun di dalam hati Danang dan Ranika.
“Sebenarnya, Pak Danang tidak perlu repot-repot kemari untuk mengajak makan kami. Di rumah, saya bisa kok memasak untuk Bapak dan juga Daffa..”
“Yaa sesekali, Ninis. Mumpung ada tamu dari kota seperti kalian berdua ini. Daffa juga kelihatannya sangat senang karena ada kalian berdua di rumah. Ia tidak kesepian seperti biasanya. Mari makan..”
“Oh ya, Yah. Mana minuman pesananku, tadi bukannya Daffa sudah mengirim pesan?”
Tampak menepuk dahinya sendiri. Pria itu pun kemudian memasang wajah seperti orang yang tengah melupakan sesuatu. “Ayah lupa. Kamu pesan lagi, gih..”
“Oke—“
“Biar saya Pak yang pesankan, kebetulan saya ingin menambah sambal,” sela Adiwilaga. Daffa pun segera memberitahukan minuman apa yang juga hendak dipesannya. Setelah Adiwilaga paham, ia pun segera bangkit dari posisi duduknya—lalu mulai melancarkan aksinya. Pertama-tama, mengikuti permainan Danang yang baru dimulai ini.
“O—oke silahkan.” Dapat dengan jelas terlihat oleh Adiwilaga dan Nismara bahwasannya Danang tengah terkejut dengan apa yang dilakukan oleh Adiwilaga. Mungkin baginya, pucuk dicinta ulan pun tiba. Sebelum Danang melancarkan drama yang telah disusunkan, Adiwilaga lebih dulu menyodorkan dirinya untuk masuk ke dalam drama itu sendiri.
‘Sebentar lagi, racun itu akan masuk ke dalam tubuhmu, Daffa. Dan tidak ada yang bisa menolong kamu. Kedua orang inilah yang akan menjadi tersangkanya karena mereka sudah Ayah masukkan dalam daftar orang suruhan rival Ayah dalam pemilihan bupati nantinya. Ayah bisa mendapatkan jabatan itu, dan mereka semua akan mendekam di dalam jeruji besi. Kali ini, tak hanya memanfaatkan makhluk halus untuk melancarkan aksi Ayah, mereka berdua juga turut menjadi tim sukses Ayah. Terima kasih dan maaf Daffa..’ Batin seorang ayah yang sama sekali tidak pantas untuk dipanggil ayah. Adiwilaga sangat membenci pria yang tamak akan kekuasaan itu.
Di tempat kasir, tempat dimana ia bisa memesan makanan dan minuman juga. Adiwilaga yang sudah tahu apa yang hendak dipesan oleh Daffa pun segera memesannya.
“Mbak, tambah jahe susunya dua gelas ya?”
“Iya, Kak. Ditunggu sebentar atau nanti diantarkan ke meja?”
“Saya tunggu saja, Mbak. Oh ya, sekalian tambah sambalnya bisa Mbak?”
“Bisa, Kak. Ditunggu..”
Bergerak cepat. Pelayan itu melakukan kegiatannya seperti melayani pelanggaan pada umumnya. Tidak tahu saja mereka, apa yang ada di sekitar mereka. Adiwilaga mencoba bersikap senatural mungkin, seolah-olah matanya memang tidak bisa melihat ‘mereka’ yang disuruh Danang untuk memasukkan racun itu ke dalam gelas. Seperti penglihatan Adiwilaga yang sempat membuatnya gelisah sebelum kemari tadi. Mereka—makhluk tak kasat mata itu memasukkan racun yang diracik sendiri oleh dukun Danang. Tentu saja racun itu mematikan, dan tidak bisa disembuhkan oleh obat-obatan medis.
‘Bagaimana ini? Daffa..’
Disaat itu pula, Asri sudah muncul tepat di hadapan Adiwilaga. Asri menyaksikan semuanya. Wajah pucatnya mulai memerah. Ia tidak terima sampai rasanya ingin segera mengacaukan segala rencana Adiwilaga.
‘Sebaiknya Mbak pergi dulu. Biar saya yang urus. Jangan sampai mereka curiga.’ Berbicara melalui batin. Adiwilaga meminta dengan sangat agar Asri mau pergi. Bagaimana bila mereka yang tak terlihat, dapat juga melihat Asri? Bisa runyam semua yang tersusun rapih oleh Adiwilaga.
Akhirnya, Asri mau pergi. Entah kemana makhluk halus yang selalu menggendong bayinya itu. Adiwilaga tak pedulikan itu. Ia masih sesekali melirik makhluk bertubuh besar yang menjulurkan ludahnya ke dalam salah satu gelas minuman yang di pesan oleh Adiwilaga. Gelas itu sudah Adiwilaga tanda dengan matanya sendiri. Makhluk itu merasa sangat senang, senyum miringnya dengan darah yang terus mengucur di sudut bibirnya terlihat bangga karena aksinya sebentar lagi akan berhasil. Ia juga akan mendapatkan imbalan atas apa yang dilakukannya ini.
‘Tidak semudah itu. Kau makhluk biiadab, tidak seharusnya kau injakkan kakimu di bumi. Tempatmu dipenjara yang dikelilingi oleh api, bukan lagi besi. Tunggu waktunya tiba.’ Masih mengutarakan kemarahannya dalam hati. Adiwilaga mengepalkan tangannya hingga kepalan tangan Adiwilaga saat ini bahkan mampu membuat meja di bawah tangannya itu menjadi panas dan sedikit retak.
“Minuman dan sambal tambahannya, Kak. Silahkan..”
“Uangnya—“
“Sudah dibayar semua oleh Pak Danang. Tamu Pak Danang ‘kan?”
Adiwilaga mengangguk. Kemudian ia berucap, “Terima kasih, Mbak.”
Wanita yang berstatus sebagai pelayan rumah makan gubug ini sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan rencana busuuk Danang. Syukurlah, Danang masih mempunyai akal yang sehat untuk tidak melibatkan wanita tidak bersalah yang hanya ingin bekerja guna memenuhi kebutuhan keluarganya di rumah ini.
Adiwilaga sadar akan sesuatu. Wanita itu tampak kelelahan dan merasa sangat berat pada bagian pundaknya.
“Mbak, maaf sebelumnya. Boleh saya menepuk pundak Mbak?”
“……..” Meskipun tidak tahu apa maksud ucapan Adiwilaga itu. Si Mbak Pelayan tetap mengangguk.
Setelah merapalkan do’a dalam hatinya secepat kilat yang ia mampu, Adiwilaga pun menepuk pundak si mbak dengan tepukan yang cukup keras. Namun anehnya, si mbak tidak merasakan sakitnya sama sekali.
“Sudah. Setelah ini, perbanyak berdzikir ya, Mbak. Dan juga, tolong sapu serbuk di bawah itu. Permisi..”
“I—iya, saya akan langsung menyapunya. Terima kasih..”
Segera, setelah Adiwilaga melangkah menjauh dari tempat kasir. Pelayan rumah makan itu langsung melaksanakan perintah Adiwilaga. Menyapu lantai yang katanya terdapat serbuk. Benar-benar ajaib, padahal semula, lantai ini terlihat bersih. Bagaimana bisa ada serbuk seperti abu di lantai, padahal semua makanan di sini sudah dimasak menggunakan kompor modern.
Sementara itu, mata bagian belakang Adiwilaga mampu melihat bagaimana wanita yang bekerja sebagai pelayan itu berhasil menyapu lantai tempatnya bekerja. Adiwilaga merasa senang karena ucapannya dipercayai olehnya. Ia juga bisa melihat dengan jelas bagaimana makhluk halus bertubuh besar dan berwarna hitam itu lenyap dari sana karena tersapu.
Ya, memang saat duduk di sana. Penglihatan Adiwilaga begitu jelas memperlihatkan bahwasannya Danang sudah lebih dulu kemari dan menaburkan abu seetan itu. Tentu saja untuk mengundangnya dan memintanya memasukkan racun yang sudah dibekalkan pada seetan itu oleh si dukun.
Benar-benar orang liciik yang tidak bisa sembarangan diremehkan..
***