Ilmu yang selama ini dimiliki oleh Adiwilaga bukan sebuah ilmu turunan dari keluarganya. Entahlah, semua bermula saat usia Adiwilaga menginjak sembilan tahun. Ia ingat betul kala itu mampu membantu menumpas sesosok jin penunggu pohon sawo yang ada di sekitar tempat bermain anak-anak kecil seusianya. Jin tersebut tak jadi mengganggu salah seorang teman Adiwilaga karena Adiwilaga kecil kala itu berhasil membanting tubuh besar berbulu lebat itu ke tanah sehingga sempat membuat teman-temannya merasakan guncangan yang ditimbulkan dari pertarungan Adiwilaga dengan sosok jin tersebut. Barulah saat menginjak dewasa, Adiwilaga diminta oleh bapaknya untuk lebih mendalami ilmu-ilmu supranatural. Namun meski pun begitu, kedua orang tua Adiwilaga selalu memberikan berbagai nasihat kebaikan pada putra mereka.
Salah satu nasihat itu hingga detik ini masih selalu Adiwilaga ingat dan laksanakan yakni, tetap berserah pada Allah Swt. Ya, segala kekuatan yang dimiliki Adiwilaga ini sejatinya hanya milik Allah Swt. Ia hanya manusia biasa yang dipercaya mampu mengemban tugas mulia membantu sesama yang terganggu oleh makhluk halus hingga sering juga menuntun sesama muslim untuk kembali pada jalan yang benar.
Pemuda berusia dua puluh delapan tahun itu merupakan seorang bujangan yang tidak pernah tersandung gosip miring bersama gadis-gadis di desanya. Entahlah, meski banyak yang diam-diam menyukai Adiwilaga yang tampan dan sederhana itu, hingga detik ini Adiwilaga belum juga menemukan tambatan hatinya. Memang benar fakta tentang dirinya yang bisa melihat masa lalu dan masa depan. Namun, ada banyak fakta yang tidak diketahui semua orang termasuk adik perempuannya sendiri tentang ilmu yang ia miliki ini.
1. Adiwilaga tidak mampu menerobos masa lalu dan juga masa depannya sendiri.
2. Hingga detik ini, ia merasa ilmunya bukanlah ilmu sembarangan yang menyasar dan berkembang dalam dirinya. Ia yakin, ada nenek moyang yang mewariskan ilmu luar biasa ini padanya. Hanya saja, ia tidak mampu menembus benteng hitam gelap yang selama ini tidak pernah absen ia coba kunjungi dengan mata batinnya.
3. Adiwilaga bisa mengajarkan ilmu yang dimilikinya pada Nismara. Namun hanya sebatas ilmu kekuatan berperang dengan makhluk gaib dan melindungi diri dari gangguan mereka yang tak terlihat, bukan ilmu kebatinan yang bisa menerobos masuk ke dalam masa lalu dan masa depan.
Meski pun Nismara kerap merengek meminta diajarkan untuk bisa melihat masa lalu dan masa depan, selama itu pula Adiwilaga diam-diam mengusahakan suatu hal yang sepertinya sudah menjadi garis takdir. Nismara tetap tidak bisa melihat masa lalu dan masa depan siapa pun itu.
Akan tetapi, ada suatu ilmu yang tidak bisa Adiwilaga miliki. Akan tetapi justru Nismara dengan mudahnya miliki ilmu tersebut yakni, sebuah ilmu menguasai teknologi canggih. Ya, Adiwilaga memang dahulunya hanya mengenyam pendidikan sekolah dasar. Berbeda dengan Nismara yang bisa sampai lulus SMA. Maklum, kala itu Adiwilaga tidak terpikirkan membantu orang lain hingga bisa mendapatkan upah seperti sekarang ini.
Meski pun begitu, tetap saja. Adiwilaga dan Nismara tidak hanya mengandalkan pekerjaan ekstrem ini sebagai mata pencarian mereka sehari-hari. Karena sejujurnya mereka tidak berharap banyak orang yang merasa diganggu oleh makhluk-makhluk halus. Keduanya hanya menginginkan semua orang hidup damai. Namun sudah suratan takdir, bahwasannya kehidupan manusia dan juga makhluk halus itu berdampingan.
“Kang Mas, ini sarapannya..” ucap Nismara yang baru saja datang dengan membawa rantang makanan berisi nasi dan lauk pauknya itu.
“Waalaikumsallam. Dibiasakan salam, Nismara!”
“Eh iya, lupa. Assalamu’alaikum Kang Mas Bagus..”
“Sejak kapan nama Kang Mas menjadi ‘Bagus’?”
Nismara menahan dirinya untuk tidak meluapkan emosinya sepagi ini. Tahan..
“……”
“Waalaikumsallam. Telat.”
“Iya-iya! Lain kali pakai salam lengkap dengan panggilan ‘Kang Mas Adiwilaga’. Puas, Kang Mas?”
“Belum. Pijit pundak Kang Mas,” titah Adiwilaga dengan santainya.
Pria itu kemudian membelakangi Nismara dan mulai membuka rantang makanan yang dibawakan oleh sang adik. Dengan santai menikmati setiap masakan enak yang Nismara masak. Pun juga pria itu menikmati pijatan tangan luwes Nismara di pundaknya. Memang sangat ahli adik perempuannya itu.
“Enak, Kang Mas?”
“Hmmmm..”
“Padahal tadi masaknya ditungguin sama Mbak Kunti gendong bayi,” celetuk Nismara yang langsung membuat Adiwilaga tersedak-sedak. Dalam keadaan seperti itu, rasanya Nismara sangat puas bisa membuat sang kakak mendapatkan pelajaran berharga pagi-pagi seperti ini.
Nismara kemudian menjelaskan singkat, “Tapi tenang saja, Kang Mas. Mbak Kuntinya lagi fokus nimang bayi. Jadi, aman masakan yang aku masak itu.”
“Bagaimana bisa kamu seyakin itu, Nismara!? Bagaimana kalau dia menjatuhkan paku berkarat di makanan ini?”
“Tenang. Aman, Kang Mas!”
“Lagian, kenapa sih kamu sayang banget sama dia? Seharusnya, semalam juga dia kita hanguskan sekalian bersama dengan Genderuwo yang mengganggu Bu Sumi.”
“Eh! Jangan..kasihan dia. Sepertinya ada suatu hal yang dia inginkan. Makanya dia sangat berani menetap di dapur kita, Kang Mas.”
Adiwilaga diam sejenak. Nismara tentu tahu apa yang tengah dilakukan oleh sang kakak. Apalagi jika bukan menerawang masa lalu hantu kuntilanak yang selalu membersamai aktivitas memasak sang adik di dapur rumah mereka.
Dengan jelas, dalam penglihatannya. Adiwilaga melihat betapa menyedihkannya akhir dari kehidupan hantu kuntilanak tersebut dahulunya saat masih menjadi manusia. Ia ternyata seorang ibu hamil korban dari tindak kekerasan dalam rumah tangga hingga meninggal di tangan suaminya sendiri di usia kandungannya yang sudah membesar. Ada yang lebih mengenaskannya lagi, hantu tersebut juga melahirkan dalam kubur. Bisa bayangkan betapa ngerinya hari-hari Adiwilaga yang kerap menerobos masa lalu seseorang hingga alam kuburnya.
“Astaghfirullah..”
“K—kenapa, Kang Mas?”
“Tujuan dia masih menetap di rumah kita, meski dia sendiri tahu kita ini orang berbahaya yang bisa menumpas dia kapan saja, dia tetap kukuh ingin kita membantu membalaskan dendamnya.”
“Apa!?”
“Iya. Dendam kesumatnya pada sang suami.”
“Suaminya Mbak Kunti masih hidup, Kang Mas?”
“Masih. Justru ia tengah menikmati kehidupannya yang kini sudah menjadi seorang kepala desa di tempat tinggalnya.”
“Benar-benar warga desa yang tidak mau mencari tahu bibit calon kepala desa mereka! Bisa-bisanya seorang penjahat menjadi kepala desa.”
“Sebenarnya, bukan tanpa alasan ia membunuh istrinya Nismara.”
“Lalu?”
Adiwilaga menatap kedua mata Nismara dengan tatapan seriusnya. “Pembunuhan secara perlahan itu sudah ia rencanakan jauh-jauh hari. Karena ia tidak tega untuk menghabisi istrinya seketika—“
“Lelaki macam apa yang mempunyai pikiran semacam itu, Kang Mas!? Bukankah membunuh secara perlahan justru terkesan amat menyakitkan? Aku sampai nggak bisa bayangin betapa sakitnya di posisi Mbak Kunti saat itu.”
“Namanya Asri Lestari, dahulunya ia seorang guru sekolah dasar. Sudah mempunyai seorang anak laki-laki sebelum mengandung anak keduanya yang dilahirkan di alam kubur itu. Suaminya tidak peduli dengan bayi perempuan yang sudah diprediksi sebelumnya oleh dokter kandungan. Hingga Danang—suami Asri, terbujuk rayu seorang dukun. Dukun tersebut menjanjikan padanya sebuah jabatan yang cukup menguntungkan.”
“Astaghfirullah..jadi i—ini semua. Almarhumah Mbak Asri dijadikan tumbal?”
Meski pun tidak tega dengan cerita kenyataan yang barusan diperdengarkan pada sang adik. Adiwilaga mengangguk. Sang adik ternyata cukup pintar membaca plot dari cerita yang ia kisahkan berdasarkan kenyataan itu.
“Kita harus membantu Mbak Asri, Kang Mas! Paling tidak, supaya Mbak Asri bisa tenang di alamnya,” tekad Nismara yang sudah sangat geram sejak awal Adiwilaga menceritakan kisah hantu kuntilanak yang menemani aktivitas memasak Nismara selama berminggu-minggu ini.
“Iya. Bukankah itu sudah tugas kita, Nismara?”
Nismara mengangguk. “Ayo kita balas dendam ke suami Mbak Asri!”
Pletak!
“Aw! Sakit, Kang Mas! Kenapa hobi banget sih sentil dahiku!?”
“Kamu jangan ngawur, Nismara!”
“Y—yaa bercanda, Kang Mas. Maafkan adikmu ini. Oke, jadi kita akan melakukan apa, Kang Mas?”
“Kang Mas sudah pikirkan waktu dan tempatnya. Tiga hari lagi, bersabarlah sebelum kita membantu dia kembali tenang ke alamnya.”
Hanya anggukan kepala yang didapat oleh Adiwilaga. Setelah melihat sang adik sudah menurut pada perkataannya itu. Adiwilaga kembali melanjutkan sarapannya dengan menikmati pemandangan ladang milik mereka dari gubuk. Ya, sejak tadi keduanya berbincang di gubuk yang terletak di hadapan ladang mereka.
Seperti inilah aktivitas sehari-hari Adiwilaga dan Nismara—mengurus ladang mereka setelah mengisi perut. Dari hasil ladang, mereka berdua juga bisa menikmati hasilnya. Tak jarang juga keduanya membagi-bagikan hasil ladang mereka berupa wortel, ubi hingga jagung kepada tetangga dan warga desa lainnya. Kedermawanan pemuda bernama Adiwilaga itu memang sudah terkenal di desanya.
“Mas, kok aku merinding ya tiba-tiba..”
“Yuk, kita mulai menanam ubi!” ajak Adiwilaga mengalihkan pembicaraan Nismara yang mulai merasakan kehadiran hantu kuntilanak bernama Asri itu.
Ya, sejak tadi Adiwilaga sudah sadar dengan kehadiran Asri di belakang Nismara. Awalnya memang mengejutkan, bagaimana tidak? Hantu kuntilanak pagi-pagi sinar matahari sudah terang benderang, masih berani menampakkan wujudnya. Astaga, benar-benar niat sekali hantu ini..
Ketika Adiwilaga sudah berdiri dari duduknya. Barulah Nismara mendengar bisikan lirih dari arah belakangnya. “Terima kasih sudah mau membantu balas dendam saya..”
“KANG MAS!!! KOK NGGAK BILANG KALAU ADA ‘DIA’!?”
***