SUMMER-06: MERDU

2401 Kata
“Lo dicambuk?” cicit Irgi. April tersenyum hangat. “Ga apa-apa sih, cuma shock aja karena sebelumnya ga pernah sampai begitu.” “Dan lo dicambuk karena gue?” “Lebih tepatnya karena lo kirim salam di radio.” Irgi menganga, namun sesaat kemudian ia menutup mulutnya dengan satu tangan. “Sekarang udah ga apa-apa kok. Tapi, bukan berarti gue aman kalau pacaran.” “Ayah ga nanya dulu? Itu kan kerjaan gue, kita juga belum jadian.” April menggeleng. “Kalau gue nyangkal, yang didengar Ayah cuma gue berusaha nutupin dan ngelindungin lo. Malah kesannya kita emang pacaran. Lagian Gi, siapa juga yang kirim salam lewat radio kalau bukan lagi pedekate atau udah jadian?” “Ya tapi kan harusnya nanya dulu, Pril.” “Bokap lo begitu ya?” “Maksud lo?” “Orang tua lo tipe yang dengarin anak banget ya?” “Harusnya semua orang tua gitu kan? Ya kalau soal nabok terserahlah. Tapi, soal dengarin dulu apa yang anak bilang, itu harus kan?” “Ga semua orang tua kayak begitu, Gi. Termasuk Ayah. Karena beliau juga dididik keras. Lebih parah malah.” April melangkah lagi. Mereka terlalu sering berhenti sedari tadi. “Maaf, Pril.” April membeku. Ia menoleh ke balik punggungnya. “Iya. Ayo jalan lagi, panas banget Gi.” Irgi mengangguk, beringsut ke samping April, berjalan beriringan kembali. “Ayah cuma takut gue kebablasan. Nilai turun, ngelawan Ayah dan Mama, bersikap seenaknya. Apalagi kalau gue diapa-apain, kenapa-kenapa, bisa-bisa masa depan gue berantakan.” Kali ini, Irgi tak lagi menyahut. Ia diam seribu kata. Fakta bahwa gadis yang disukainya harus menanggung hukuman karena ulahnya sudah cukup membuat Irgi kelu. Tiba di ujung jalan, Ari lagi nongkrong sambil makan es bubur sumsum hijau. Wajahnya datar, nihil komentar meski melihat kedua anak manusia di sampingnya diam-diaman. “Pril?” “Apa?” “Gue juga ga mau cewek yang gue suka dicambuk gara-gara gue.” April terkekeh. ‘Sumpah, pengen banget gue peluk!’ “Iya, Gi. Gue udah ga apa-apa kok.” “Gue emang belum tau harus gimana. Tapi, mulai sekarang gue bakal lebih hati-hati.” “Thanks ya Gi.” April lalu mengulurkan tangannya untuk memberhentikan sebuah mikrolet. “Gue duluan ya?” “Eh Pril, nomor telpon lo!” “Kan tadi ….” “Lo ga percaya sama gue?” April menghempaskan napas. Angkotnya pun kini sudah berhenti tepat di hadapannya. “8610XXX.” “Oke. Hati-hati, Pril.” *** “Satu, Bang!” ujar Irgi pada tukang es sumsum. Ari ngokop kuah esnya, mengembalikan mangkuk, lalu duduk di atas motornya. Menunggu Irgi yang baru memulai suapan pertama. “Lo nginep ajalah di rumah gue, Ri. Ngapain sih di kosan sendirian?” ujar Irgi. “Ga sendirilah, rame-rame.” “Terus, lo nganterin gue doang?” “Hmm.” “Balik ke kosan lo sebentar aja, ambil baju dulu. Lo di rumah gue sampai kaki gue sembuh. Gimana?” “Ga bisa belajar gue di rumah lo!” sambat Ari. Irgi nyaris tersedak kalau saja es batu di tenggorokannya tak meluncur bebas ke perut. “Bilanglah,” ujar Irgi kemudian. “Bilang apa?” “Bilang sama Nisa.” Ari auto cengo. Ya kali Irgi buta, ga bisa lihat gimana Ari salah tingkah melulu setiap ada Nisa. Jangankan Irgi, Anggita dan Anggara saja tau. Yang satu sok jadi pengagum rahasia, yang satu lagi ga ada peka-pekanya. Komplit sudah. Cocok buat bahan lucu-lucuan. Habis itu, Ari ga berani ngomong lagi. Dia tuh takut banget Irgi mengira kalau dia mau sahabatan sama Irgi karena mengincar Nisa. Padahal, sekali dayung dua pulau terlampaui. Sedari awal dia emang suka main sama Irgi. Orangnya asik, tengil, enjoy banget sama hidupnya. Ari butuh sobat yang kayak Irgi biar dia ga jadi orang yang terlalu serius. Siapa juga yang sangka kalau ternyata keluarganya Irgi juga baik banget sama Ari. Ditambah lagi, ternyata Irgi punya adik semanis Nisa. Begitu camilan dinginnya habis, Irgi beranjak dari duduknya, bayar ke si abang, lalu naik ke motor. Ari masih dalam mode tunawicara. “Ayo, ke wartel dulu. Telpon Mami, kasih tau gue kecelakaan, lo nginap sementara nemenin gue.” “Serius Gi?” “Duarius! Jalan!” Ari melajukan Biru tanpa banyak cingcong, nurut aja sama titahnya Irgi. Sampai di wartel mereka sama-sama turun, Ari nelpon maminya, Irgi nelpon Anggita kalau mereka akan telat sampai di rumah. Berhubung Irgi selesai lebih dulu, dia keluar duluan. Ga disangka, gerombolan preman yang malak sepatu Irgi tempo hari, lewat di sana. Pandangan Irgi spontan turun ke kakinya Amet, mandangin sepatu hasil jerih payahnya. Nyesak aja gitu kan rasanya. Amet justru terkekeh sinis, ngeledek Irgi. Berhubung Anggara ga marah, meski ga ada cerita sepatu pengganti, ngapain juga Irgi nanggapin Amet kan? Lagian Irgi itu waras, masa mau nanggapin Amet yang otaknya rada kurang? Akhirnya Irgi buang muka, santai aja kayak ga ada apa-apa. Amet kesal karena ngerasa dicuekin. Jeleknya Amet, emosinya labil parah. Kertas bekas makan gorengan yang dia genggam, Amet lempar ke kepala Irgi. Pas banget dengan Ari yang keluar dari wartel. “Anjing lo!” Bukan Irgi yang mencemooh, tapi Ari. Ari kan badannya gede, atletis pulak. Kalau lagi marah, mukanya Ari pasti auto merah. Jadi, Ari tuh ga bisa banget bohong soal emosi, kecetak langsung di wajahnya. Amet sok ga takut, padahal lumayan ngeri juga. Sudahlah badannya Ari lebih gede dari dia, ditambah urat-urat di tangan Ari yang bertonjolan bak tukang pukul profesional. “Ngapain lo ngelempar sampah sembarangan?” cecar Ari kemudian. “Siapa lo? Ga usah ikut campur!” “Minta maaf!” Amet malah ngeludah. “Malak sepatu gue aja dia ga minta maaf, Ri!” Ya kali ada orang malak pake minta maaf. “Apalagi timbang ngelempar sampah begini,” sambung Irgi. Ari spontan nunduk, mandangi sepatu yang Amet pakai. ‘Lah iya, sepatunya Irgi tuh!’ Pastilah Ari tau, kan belinya sama dia. Pake usil dibubuhi tandatangan keduanya pulak. “Lepas!” titah Ari. “Taik!” balas Amet. ‘PLAK!’ “Ngomong apa lo barusan?” Amet yang shock digampar Ari sontak megangin pipinya. Ga cuma Amet sebenarnya. Irgi dan gerombolan pemalak juga melakukan pose yang sama. Sakit hati, kesal setengah mati. Amet menyambar kerah baju Ari sementara kepalan tangan kanannya terangkat tinggi. Saat akan ia hujamkan ke wajah Ari, pekikan dari seseorang menyapa pendengaran mereka. “WOY!” Ari dan Amet sama-sama noleh. Suara itu berasal dari salah satu seniornya Amet, Yando namanya. Si sumber suara ga datang sendiri, tapi berlima sama teman-teman segengnya. Bedanya sama Amet, Yando ini jarang ikutan nongkrong di basecamp. Dia lebih suka stand by di tempat-tempat yang uangnya lebih banyak a.k.a nyopet. Biar begitu, segedung Gaung Utama ga ada yang berani macam-macam sama dia. Orangnya seperti ga kenal takut, kalau sudah gebukin orang ga pernah tanggung-tanggung. Merasa di atas angin, Amet malah makin kencang mencengkeram kerah baju Ari. “Ada apaan nih?” tanya Yando. “Songong banget tuh orang, Bang! Nabok si Amet dia!” ujar salah satu anak buahnya Amet. “Lepas!” ujar Yando kemudian. Amet ga pakai mikir melepas cengkeramannya. Girang banget rasanya. Yando pasti mau ngewakilin dia gebukin si anak songong. “Sorry, Ri.” Amet auto nganga. Kedua matanya juga melotot tak percaya. “Sepatu sohib gue tuh!” ujar Ari seraya mendelik ke kaki Amet. Yando mendengkus frustasi. “Lepas!” titahnya kemudian pada Amet. “Balikin!” “Enak aja!” “LO NGELAWAN GUE? MAU GUE BIKIN HILANG LO?” “Jangan Bang, jangan Bang!” “Balikin!” Amet gemetaran, nyalinya ciut begitu saja dipelototin kakak kelasnya yang terkenal paling garang. Sepatu itu ia buka, ia biarkan tergeletak di sampingnya. “Gue udah bilang kan, jangan ganggu anak HighScope!” ujar Ari. “Sorry, Ri. Ga bakal keulang lagi,” ujar Yando. Ari mendelikkan wajahnya, meminta pentolan-pentolan STM Gaung Utama itu untuk hengkang. Yando merangkul Amet, mengajaknya menjauh, diikuti para pengikut mereka berdua. Begitu terpisah beberapa meter, Ari baru menunduk, mengambil sepatu Irgi. “Nih.” “Hah! Bikin kerjaan gue aja nyuci sepatu sebelum waktunya!” sambat Irgi. Irgi mengambil plastik yang memang selalu disediakan Anggita di tas anak-anaknya. Khawatir kehujanan tiba-tiba dan tidak ada alat yang bisa digunakan untuk melindungi buku mereka. Repot memang mengeringkan buku yang terlanjur basah. Ari naik ke motornya, menyalakan mesin, melaju perlahan meninggalkan area wartel. “Yang tadi siapa?” tanya Irgi kemudian. “Pentolannya anak GU.” “Bukannya si Amet?” “Amet mah jago kandang.” “Siapa namanya tadi?” “Yando.” “Kok lo bisa kenal?” “Itu anak pernah nyopet di Bandung. Pas sial digebukin warga. Papi pas ada di dekat tempat kejadian. Udah babak belur si Yando, nyaris mati dalam arti sebenarnya. Papi yang bawa ke rumah sakit.” “Terus?” “Pas gue ke rumah sakit, ketemu dia. Kan gue pernah dipalak sama dia. Singkat cerita, begitu dia tau gue anaknya Papi, langsung nyembah!” Irgi terbahak. “Mampus!” “Gue bilang, jangan coba-coba ganggu gue dan anak-anak HighScope. Kayaknya baru lo doang Gi yang sial?” “Yang ketauan kali. Yang lo ancam kan Yando, bukan Amet.” “Iya sih. Tapi harusnya Amet ngerti untuk ga lagi-lagi ganggu anak HighScope.” *** Setelah mengambil perlengkapan yang kira-kira cukup untuk satu minggu, dua sahabat itu lanjut melaju ke tempat Irgi tinggal. Rutinitas mereka masih sama; makan siang, tidur siang, free time sampai menjelang magrib, ibadah sampai isya, free time lagi sampai jam delapan malam sebelum menghadap meja belajar masing-masing. Yang beda palingan Ari. Selepas ashar tadi, Ari memilih ngikutin keempat bocah cemong main layangan. Ari mah ngeliatin doang sambil ngemil kue rangi dan bajigur yang plastiknya ditarik-tarik hingga menyerupai bentuk-bentuk kurang bermoral. Selesai mengantarkan Eric, Borne dan Ian ke rumah masing-masing, barulah Ari dan Dirga kembali ke kediaman Pranata. “Tadi yang lewat siapa Ga?” tanya Ari begitu mereka melangkah ke halaman muka rumah nan sejuk dipandang itu. “Siapa Bang?” Dirga malah nanya balik. “Siapa?” “Yang mana?” “Yang naik sepeda. Layangan udah naik sampe turun lagi gara-gara lo ngeliatin cewek.” “Ngga.” Dirga membantah. “Iya kali.” “Ngga!” ‘Ini bocah masih bedakan aja udah berani naksir cewek!’ “Yakin? Gue bilangin Irgi lo.” “Ngga! Beneran.” “Ga kenal berarti?” “Ga tau.” “Kok ga tau?” “Ga tau pokoknya. Udah ah!” ketus Dirga. Ia ngeloyor masuk, ninggalin Ari yang malah ngekek sendiri. Nyatanya, Ari ga seusil itu mengadukan apa yang dilihatnya tadi. Lagipula, Ari sudah tau siapa cewek mungil itu. Irgi sendiri yang cerita jika ada cewek yang selalu bikin Dirga ga awas. Ngefans banget kayaknya. Tapi, Dirga ga pernah berani negor duluan. Anaknya guru ngaji, bapaknya killer. Si Dirga takut saban ngaji malah disabetin bapaknya kalau berani negor si cewek. Negor doang lho padahal. Repot sih memang. Begitu free time kedua, Irgi narik Nisa ke teras rumah sambil bawa-bawa gagang telpon. Kakak beradik itu duduk di ayunan kayu, sementara Ari mengikuti dan selonjoran di lantai sambil mainan gimbot. “Telponin, Dek,” ujar Irgi seraya menyodorkan nomor telpon yang ia tulis di telapak tangannya. “Lo aja sih,” tolak Nisa. “Tolongin, Dek.” “Pasti takut bapaknya yang ngangkat?” “Nah itu udah tau kan. Makanya lo aja yang nelpon.” “Ini si Cinta Kita?” tanya Nisa kemudian. ‘Ada-ada aja emang si Dirga!’ “Buruan telponin. Bilang aja dari Nisa, teman sekolahnya.” “Terus?” “Kalau udah diangkat sama April, baru lo kasih ke gue.” “Ayam lo Bang!” caci Nisa. Maksudnya Nisa, Irgi tuh pengecut. “Sayur!” balas Irgi. “Buruan!” “Hadiahnya apa?” “Jigo!” “Ga mau ah!” Ari yang ngakak. “Jigo? Pelit banget ih. Cepek!” ujar Nisa lagi. “Gue jajan aja cuma dua ratus, lo minta cepek dapat apaan gue? Gocap udah.” Irgi mencoba bernegosiasi. “Benar ya?” “Iya!” Negosiasi berjalan lancar. Nisa pun menekan tujuh digit nomor, lalu menunggu seseorang di ujung telpon mengangkat panggilannya. “Halo?” Suara pria dewasa menyapa pendengaran Nisa. “Assalammu’alaikum.” “Ya, wa’alaikumsalam.” “Aprilnya ada Om?” “Siapa ini?” “Nisa, Om.” “Nisa?” “Iya Nisa, Om.” “Nisa mana?” “Teman sekolah April, Om.” “Oh. Oke. Tunggu ya.” “Makasih Om.” Terdengar Rasyid – ayah April – memanggil sang putri. April menyahut, menanyakan siapa gerangan yang menelponnya. “Jangan lama-lama, Kak,” ujar Rasyid seraya menyerahkan gagang telpon itu. “Iya, Yah.” Nisa gegas memberikan gagang telpon itu pada Irgi “Halo?” sapa April. Irgi spontan tersenyum. “Halo?” ulang April. “Hai, boo.” “I ….” “Jangan sebut nama gue! Nanti bokap lo dengar.” “Oh. Iya.” “Telpon lo cordless?” “Ngga.” “Bokap lo ada di dekat situ?” “Iya.” “Paralel ga?” “Ngga.” “Syukurlah.” “Kenapa?” “Kenapa apanya?” April tak menjawab. Mungkin Rasyid terkesan cuek, namun ia tau jika sang ayah memerhatikannya diam-diam. “Pe-er yang mana?” April malah menanyakan hal yang lain, berharap jika Irgi paham bahwa ia tak bebas bertelponan seperti itu. “Gue kepingin dengar suara lo,” ujar Irgi. Ia paham kode dari April. “Oke.” “Gue boleh ga nelpon lo tiap hari?” “Jangan!” “Jangan jam segini? Kalau sore? Bisa?” “Ga tau.” “Oh. Ya udah, nanti gue cari cara lagi.” “Bisa?” “Bisa dong. Yang penting, lo harus percaya, gue juga ga mau lo terluka. Oke?” “Oke.” “Pril?” “Ya?” “Sampai ketemu besok di sekolah?” Tawa manis April menyapa telinga Irgi. “Iya.” “Mimpi indah ya.” Ari garuk-garuk, geli sendiri. Kalau Nisa beda lagi, dia malah cengo ngeliatin Abangnya. ‘Iiih apaan banget sih!’ “Kalau kangen sama gue, tahan aja, besok kan ketemu,” lanjut Irgi. April malah ngakak. “Nah gitu dong. Happy.” April masih terkekeh. “Kali ini serius. Ga bercanda,” ujar Irgi lagi. “Lo mau tau suara yang paling merdu yang pernah gue dengar?” “Apa?” “Suara tawa lo. Sumpah, gue suka banget, Pril. Sukaaa banget!”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN