BAB 4Riuh tepuk tangan mengiringi langkah anggun perempuan yang berjalan dengan elegan itu. Ines yang tak tahan, turut berdiri. Hatinya sakit. Akal sehatnya sudah terpinggirkan. Dia berjalan keluar dari deretan tempat duduknya dan setengah berlari menghampiri Arlan dan perempuan itu yang baru saja berdiri bersisian di atas forum. Jika hatinya harus hancur, dia tak mau hancur sendirian.
Ines tak peduli ketika dia melewati tempat kakak iparnya duduk, mereka memanggilnya. Dia menuju panggung menghampiri dua pasang mata yang kini menatap ke arahnya.
“Siapa dia, Sayang?” Aniska berbisik pada Arlan. Dia memandang Ines dengan tatapan heran. Sementara itu, Arlan menelan saliva. Kenapa Ines bisa datang, bukannya dia sudah meminta agar Ibu dan kakaknya jangan ada yang mengajaknya.
Belum sempat Arlan menjawab, Ines sudah berdiri di atas panggung. Dia menatap Arlan dengan mata mengembun.
“Mas, jelaskan padaku siapa dia?! Kenapa kamu menyebutnya perempuan istimewa? Bukankah aku yang istrimu? Kenapa bukan namaku yang kau sebut untuk menemanimu di sini?!” Suara Ines gemetar. Hatinya yang panas mengesampingkan rasa malu. Terserah orang mau mencemoohnya apa, yang penting dirinya mendapat kejelasan.
“Hey, Mbak! Tolong, ya jangan buat keributan! Jangan ngaku-ngaku istrinya Mas Arlan. Mbaknya kayaknya salah orang, deh!” Aniska tak terima ada perempuan asing yang tiba-tiba datang mengakui Arlan sebagai suaminya.
Ibu mertua Ines, Mirna dan Erna sontak berdiri. Mereka tak mau Arlan dipermalukan seperti ini. Ibu membisikkan sesuatu pada dua putrinya, setelah sepakat, mereka bergegas maju ke depan.
Pembawa acara yang terkejut langsung menghampiri ketiga orang yang tengah bersitegang itu. Dia meminta agar urusan keluarga bisa diselesaikan di rumah dan jangan dibawa ke tempat acara. Namun dua perempuan itu tak menggubrisnya.
Penghuni gedung mendadak riuh, saling berbisik dan saling menebak. Para petinggi perusahaan yang masih tersisa tergesa memanggil panitia. Mereka tak mau acara perhelatan akbar ini harus kacau hanya karena permasalahan sebuah keluarga.
“Mbak yang terhormat, coba kamu tanya sama lelaki yang ada di samping, Mbak! Tanyakan padanya siapa aku? Aku gak mungkin salah orang. Aku ini istrinya Mas Arlan, Mbak! Tolong jangan jadi duri dari rumah tangga kami!” Ines menatap Aniska dengan air mata yang sudah mulai luruh.
“Mas, tolong jelaskan! Siapa dia? Kenapa dia ngaku-ngaku jadi istri kamu?” Aniska menoleh pada Arlan yang mematung kaku. Seketika kepala Arlan mendadak berdenyut nyeri, tak mampu mengurai benang kusut yang ada di depannya saat ini.
“Ahm, dia-” ucapnya tersendat.
“Dia itu pembantu baru di rumah kami! Maaf semuanya sudah membuat suasana jadi tak nyaman! Kebetulan dia memang mengalami sedikit gangguan mental karena ditinggal nikah lagi sama suaminya! Maaf, ya, semua!” Retno---ibu mertua Ines memotong omongan Arlan. Dia tak mau nama baik putra kesayangannya tercoreng. Terlebih di depan mereka ada Aniska. Bisa-bisa Arlan nanti dikeluarkan dari pekerjaan kalau tahu kejadian yang sebenarnya. Bagaimanapun, ayah Aniska lah yang berjasa mengusahakan Arlan agar masuk di divisinya.
“Ibu? Kenapa Ibu tega bicara seperti itu?” Ines menoleh pada tiga perempuan yang baru naik ke atas panggung. Ibu mertua dan dua kakak iparnya berjalan dengan anggun menghampirinya.
“Ines, sudah! Ayo pulang! Jangan buat malu di sini!” Mirna menarik tangan Ines.
“Enggak, Mbak! Aku gak akan pulang sebelum Kalian jelaskan semua ini! Kenapa kalian begitu jahat?! Apakah aku di mata kalian hanya dianggap sebagai pembantu! Apa semua janji kalian di depan Ibuku hanya omong kosong! Apa kalian malu mengakui aku yang memang berasal dari kampung ini sebagai keluarga kalian?! Aku gak terima kalian perlakukan seperti ini!” pekik Ines. Kendali akan dirinya sudah menghilang.
Dua orang security yang dipanggil panitia akhirnya tiba di atas panggung. Mereka meminta semuanya bubar. Karena Ines yang dianggap biang keributan. Akhirnya dengan kasar mereka menyeret Ines keluar.
“Pak, tolong jangan perlakukan saya seperti ini! Saya bukan orang gangguan mental seperti yang mereka katakan! Tolong, Pak! Saya hanya ingin mengungkap kebenaran!” Ines meronta meminta lepas.
“Mbak, mohon maaf. Ini perintah dari panitia. Kami tak tahu masalah Mbak apa, tapi tolong selesaikan di rumah! Jangan merusak acara orang, Mbak!”
Ines sudah kehabisan kata-kata. Hanya air mata yang luruh berderai dari dua kelopak matanya. Rasanya begitu sakit diperlakukan serendah ini.
“Mbak, tolong jangan buat keributan lagi, ya! Lebih baik Mbak pulang saja!” tukas security itu setelah tiba di luar gedung.
Ines abai. Dia berjalan menuju keluar pagar hotel lalu duduk di tepi jalan. Dia tak mau pulang, dia hendak menunggu Arlan keluar dan meminta kejelasan semuanya. Jika memang benar dirinya hanya dianggap pembantu, lebih baik dia pergi. Pembantu pun digaji bukan hanya diperas dan dimanfaatkan.
Selama dia di rumah mertuanya, semua pekerjaan adalah tanggung jawabnya, memasak, membersihkan rumah, bahkan tiap malam bergantian dua kakak iparnya itu meminta dipijat padanya. Kebetulan memang pernah ikut belajar memijat di ibunya Mang Karman yang dulunya dia biasa menjajakan ikan asin. Begitupun Arlan, setiap malam sebelum dia pergi pasti minta dilayaninya, meskipun belum sampai melakukan hubungan suami istri karena memang dia sedang berhalangan. Namun sentuhan-sentuhan fisik sudah dirampas oleh Arlan.
Dia terduduk seraya memandang pintu masuk acara. Berharap segera acaranya bubar dan dirinya akan segera membuat perhitungan. Juga tentang Aniska yang saat ini dia belum tahu siapa perempuan itu bagi Arlan. Mungkinkah istrinya? Ataukah hanya simpanan? Ines ingat ketika hendak menikah, di KTP Arlan masih tertulis lajang, meskipun memang mereka belum meresmikan ke KUA karena beberapa alasan yang Arlan kemukakan. Katanya nanti saja ngurusnya ketika Ines sudah ikut dengannya dan akan diurus di kota.
Ines tepekur seraya memeluk lutut di trotoar depan hotel yang langsung terhubung ke jalan raya. Hilir mudik kendaraan dia abaikan. Dirinya butuh kepastian secepatnya untuk memutuskan langkah selanjutnya.
Dari arah depan, sorot lampu sebuah mobil sport mewah memantul ke wajahnya. Namun karena Ines menunduk sambil menangis, dia pun tak hiraukan. Hingga mobil itu berhenti di dekatnya dan kaca mobil depan terbuka perlahan. Ines masih menunduk menyembunyikan wajahnya.