Larangan Ayah

1103 Kata
Larangan Ayah   Adimas segera menekan beberapa tombol di ponselnya. Aisyah tidak peduli, dia bergegas bangun dari duduknya. Diambilnya koper yang tadi teronggok tak berdaya di dekat pintu. "Ayah ... oh iya Aisyah baru saja sampai, sebelumnya Adimas minta maaf Yah tidak bisa pulang dan menjemput Aisyah seperti janji Adimas tempo hari." Aisyah berhenti begitu mendengar Adimas menghubungi ayahnya.  Ayahnya pasti tidak mau tahu alasannya untuk bercerai dari Adimas. Bagi keluarga orang tuanya perceraian adalah aib, terlepas siapa yang bersalah. Apalagi pernikahan Aisyah yang baru seumur jagung. Ini pasti tidak mudah. Dan Adimas sangat tahu kelemahan Aisyah. Ayahnya. Aisyah tidak menyangka lelaki yang disebutnya sebagai suami itu begitu licik. Kenapa dia masih menginginkan pernikahan mereka? Bukankah dia akan mendapatkan anak dari Ririn? Aisyah semakin curiga dengan tingkah suaminya. Benar-benar mencurigakan. Tidak! Dia harus menjelaskan kepada ayahnya. Aisyah hanya berharap saat ini ayahnya mau mendengarnya. "Begini Yah, Adimas melakukan  kesalahan besar kepada Aisyah dan keluarga kalian Yah," kata Adimas dengan muka seakan dia menyesali semuanya. Seperti Ayahnya melihat saja, sinis batin Aisyah melihat akting suaminya. Apa itu kenapa kedua orang tuanya begitu percaya kepada pemuda yang bahkan tidak mereka kenal sebelumnya? Dasar bermulut manis, gerutu Aisyah dalam hati. "Dan Adimas menyesal, tapi dek Aisyah ingin meminta cerai dari Adimas ya," kata Adimas pelan, "tolong cegah dek Aisyah untuk minta bercerai, saya sangat membutuhkan dek Aisyah Yah." Aisyah sangat geram mendengarnya, ingin rasanya dia memaki lelaki yang sayangnya memang berstatus sebagai suaminya. Adimas menyerahkan ponselnya ke arah Aisyah. Aisyah menerimanya dengan emosi yang meluap-luap. Tangannya sudah gatal ingin mencakar wajah sok innocent seorang Adimas. Sebelum memulai memberi salam Aisyah menghela nafas mencoba menenangkan amarahnya barusan. Masalah ini tidak akan selesai jika diselesaikan dengan emosi, dia harus tenang. "Assalamu’alaikum, Yah," sapa Aisyah lebih dulu. "Wa'alaikum salam, apa benar nduk kamu minta cerai dari suamimu?" tanya Ayahnya terdengar bersedih, Aisyah tahu hati ayah mana yang rela melihat pernikahan putrinya yang baru seumur jagung itu harus kandas. "Benar ya, mas Adimas sudah berselingkuh dengan Ririn di rumah kami ya," kata Aisyah tenang, dia menatap Adimas dan Ririn bergantian dengan ekspresi datar, "dan kini Ririn sedang hamil anak mas Adimas." "Ririn? Ririn temanmu itu? Bagaimana bisa?" tanya Ayahnya bingung. "Iya Yah, Ririn teman Aisyah," kata Aisyah yang kini menatap tajam Ririn tak ada tatapan penuh kelembutan hanya ada rasa amarah, "aku tidak tahu bagaimana sekarang mereka tinggal di rumah yang sama dan sejak kapan? Mungkin mereka berdua  pergi ke Jakarta berdua dan akhirnya memadu kasih di sini." "Mereka bahkan tidak mengingat istri dan sahabat mereka, mereka sudah berzina Yah," kata Aisyah yang mulai kesulitan meredam amarahnya, "dan aku tidak mau menikah dengan pezinah, aku menjaga kesucianku untuk suami yang bisa menjaga nafsu birahinya bukan lelaki yang gemar mengumbar hasrat birahinya." "Tapi nduk, ndak harus dengan bercerai ‘kan? Setidaknya tidak sekarang, menurut Ayah biarkan saja mereka menikah," kata Ayah dengan suara lembut seperti biasanya, "Ayah ingin tahu apa kata orang kampung kita saat tahu siapa yang menikahi Ririn?" "Baik aku akan tetap menikah secara negara dengannya tapi aku tidak mau tinggal serumah dengan mereka, aku akan bekerja sendiri," kata Aisyah pasrah, "tapi aku mau dia menceraikan aku secara agama." Tatapan Adimas kembali menajam ke arah Aisyah, tapi Aisyah tidak mau kalah. Dia bukan wanita lemah, sudah cukup lelaki yang dipanggilnya Suami itu menghina dan menginjak-injak harga dirinya sebagai Istri. "Kau harus ikut menikahkan mereka saat mereka menikah di Banjarmasin, kamu harus meyakinkan mereka menikah di Banjarmasin," kata Ayahnya lagi. "Baik Yah aku mengerti," kini Aisyah mengerti bagaimana membalas perbuatan mereka, tentu saja dengan sangsi sosial. "Ayah jaga diri baik-baik ya, salam buat kak Husein dan kak Hindun," kata Aisyah lembut saat mengingat kakak dan kakak iparnya, "Assalamu'alaikum.” "Wa'alaikum Salam." "Kalian sudah dengar bukan, aku tidak akan menggugat cerai kau mas Adimas, tapi aku minta kau menalakku sekarang juga," kata Aisyah dengan pandangan datarnya, "jika kau menolak aku akan membawa masalah ini ke pengadilan dan menggugat cerai dirimu." "Dan kalian harus menikah secara agama di Banjarmasin, kalian bisa meresmikan pernikahan kalian ketika aku mengijinkannya, itu artinya kita sudah bercerai mas," kata Aisyah lagi, dia kini kembali duduk di kursi ruang tamu di rumah Adimas. "Aku tidak mau tinggal bersama dengan kalian, kalian bisa menyewa kontrakan atau beli rumah baru, bukankah kau orang kaya mas? Atau itu juga kebohonganmu saat melamarku!" sinis Aisyah. "Atau kau bisa membelikan istrimu ini rumah baru, karena aku tidak mau kamar yang bekas dipakai berzina katanya bikin sial." Adimas hanya bisa merutuki kesalahannya, ingin rasanya dia menceraikan Aisyah tapi Mitha pasti marah, jika dia menikahi Ririn di Banjarmasin secara agama dalam artian diam-diam Mitha pasti tidak akan tahu kan? Dan soal rumah, dia bisa minta Mitha membelikannya dengan alasan Aisyah tidak menyukai rumah ini, dan ingin mengontrakkannya. Ah ... sepertinya sempurna. Adimas memang Jenius tidak pernah kekurangan ide, pikirnya berbangga diri. "Baik aku akan menyiapkan kau rumah baru, dan aku setuju dengan syarat-syaratmu," kata Adimas langsung keluar rumah untuk menemui Mitha, istri pertamanya yang tidak diketahui oleh kedua wanita tadi. Tinggallah Aisyah dan Ririn yang saling tatap, mereka saling menatap dengan tatapan tajam penuh amarah. "Aku capek bisa kau siapkan aku kamar yang belum pernah kalian pakai buat berzina? Aku di sini tamu kau ingat, kau bahkan tidak menyuguhiku minuman," kata Aisyah sambil memejamkan matanya.  Saat Ririn beranjak, Aisyah berujar. "Apa kata orang kampung kita saat tahu kau menggoda suami sahabatmu sendiri sewaktu sahabatmu ini sedang berduka karena kematian ibunya, kau malah menggoda suaminya dan sekarang hamil anak dari suami sahabatmu ini?" katanya lirih masih dengan mata terpejam.  Ririn menyadari arti dalam kalimat Aisyah, orang di kampung pasti akan menghujatnya sebagai perusak rumah tangga orang, wanita enggak punya malu, wanita seperti itu di kampung mereka adalah jenis wanita yang hina. Ririn bergidik ngeri saat menyadarinya. Apalagi dengan keluarganya, orang kampung pasti akan menghina keluarganya habis-habisan. Apalagi melihat bagaimana Aisyah mereka pasti akan bersimpati kepada Aisyah. "Kau bisa menjadi istri syah mas Adimas asal kau bisa meyakinkannya untuk menceraikanku dan meyakinkan ayahku untuk mengijinkanku bercerai dari lelaki tukang zina itu," kata Aisyah masih dengan menutup matanya seakan dirinya yakin jika Ririn masih mendengarnya, "dan kau serta keluargamu tidak akan malu karena setelah kami bercerai kau bisa menikah dengan lelaki itu.” "Tapi kurasa kau tidak terlalu didengar oleh lelaki itu kan? Lelaki itu hanya ingin memakai tubuhmu saja, mana mau dia repot-repot menikahimu secara sah," kata Aisyah masih saja lirih tapi mampu mengoyak harga diri Ririn. Ririn tidak menyangka reaksi Aisyah demikian tenang, seakan tidak terusik dengan rusaknya rumah tangganya. Kini Ririn tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Karena Aisyah tidak lagi mengatakan apa-apa Ririn beranjak ke kamar untuk menyiapkan kamar buat Aisyah. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN