Chapter 3. Mencari Celah

1354 Kata
Di sebuah TPU, tampak seorang wanita sedang berbicara dengan sebuah makam. “Sayang sekali tante sudah pergi duluan sebelum melihat kehancuran putri tante di tanganku, ditangan wanita yang sudah kau hina di muka umum,” kata seorang wanita dengan nada sinis ke arah sebuah makam, “aku akan buat putri tante malu dan terhina, aku akan merebut apa yang dimiliki oleh putri tante.” “Jadi tante lihatlah dari neraka apa yang akan kulakukan pada putri kebanggaanmu, aku akan merusak rumah tangganya,” kata wanita itu sambil menyebarkan bunga diatas makam yang masih basah itu. Bukan bunga segar dan harum yang ditaburnya, tapi bunga yang sudah busuk dan kering. Dia tertawa bahagia karena sudah bisa menghina sebuah makam. Apalagi mengingat rencana yang sudah ada dalam kepala liciknya, rencana yang sangat jahat untuk orang yang dengan tulus menyayanginya. Wanita itu lupa bahwa Tuhan tidak tidur, Tuhan tidak buta, dan Tuhan tidak tuli. Dia Maha Melihat, Maha mendengar.... ** “Dek ... Mas tinggal dulu ya, nanti mas usahakan sebelum empat puluh harinya ibu, mas akan datang lagi dan sekalian menjemputmu, jadi kau harus bersiap-siap juga,” kata Mas Adimas sesaat setelah mereka tiba di bandara. Aisyah diantar kakaknya untuk mengantar kepergian suaminya untuk kembali ke Jakarta. “Iya mas, kau baik-baik di sana ya ... jaga diri, jaga kesehatan ... makannya jangan sampai telat,” kata Aisyah penuh perhatian. Dia tidak tahu apa yang disembunyikan suaminya darinya dan keluarga besarnya, tapi kenyataan bahwa Adimas adalah suaminya membuatnya tetap harus memperhatikan sang suami. Setidaknya sampai dia mengetahui apa yang disembunyikan suaminya. “Ah ... Istriku perhatian sekali, jadi makin sayang,” goda Adimas mengerling ke arah sang istri yang langsung merona. Benar-benar gadis polos dan bodoh, batin Adimas sinis. “Kak ... Aku titip istriku dulu ya,” kata Adimas sambil menjabat tangan Husein, kakaknya Aisyah. “Kau ini kayak sama siapa saja pakai nitip segala, tanpa kamu suruh pun Aisyah juga tanggung jawabku, kau di sana kerja saja yang bener jangan nyari cewek lagi! Ingat kamu sudah menikahi adikku, jika sedikit saja kamu menyakitinya maka kau akan berhadapan denganku,” ancam Husein langsung menatap mata Adimas dengan tatapan tajam, sebenarnya dia kurang setuju dengan keputusan orang tuanya dengan menikahkan adik kesayangannya dengan lelaki asing yang tidak mereka ketahui asal usulnya. Tapi dia bisa apa jika kedua orang tuanya sudah membuat keputusan. “Aku tidak akan mengecewakanmu kak,” janji Adimas. Husein yang belajar tentang psikologi merasa kalau janji Adimas hanyalah janji palsu, entah kenapa itu membuatnya semakin resah. “Kuharap kau memegang janjimu,” kata Husein tajam. “Kak sudah, mas Adimas sudah mau take off,” ujar Aisyah yang sudah merasakan aura panas diantara dua orang lelaki yang menempati tempat khusus di hidupnya. Yang satu suaminya dan satunya saudara satu-satunya. “Dek, mas ... Aku pamit dulu, Assalamu’alaikum,” kata Adimas sambil mengusap lembut kepala Aisyah yang tertutup jilbab panjang, Aisyah mencium punggung tangan suaminya lembut. “Wa’alaikum salam,” jawab mereka berdua, mereka berdua masih terpaku di tempatnya sampai tubuh Adimas menghilang dari pandangan mata mereka. “Ayo kita pulang,” ajak Husein lembut, Aisyah mengangguk pelan. Entah kenapa dia merasakan perasaan tidak nyaman saat mengantar suaminya kembali ke kota. “Ya Allah jagalah suami hamba, lindungilah dia dari marabahaya ... Amiin,” doa Aisyah dalam hati. Di tempat yang sama, agak jauh dari posisi mereka tampak seorang wanita tersenyum miring melihat kepergian Aisyah dan Husein dari Bandara. “Jangan khawatir sahabatku, aku akan menjaga suamimu dengan baik,” bisiknya sambil tersenyum penuh arti sambil menatap punggung Aisyah yang semakin menjauh. Dia berjalan searah dengan jalan yang dituju oleh Adimas, suami Aisyah. Sambil menyeret koper berwarna merah maroon miliknya. Senyum penuh kemenangan tercipta di sudut bibirnya. Apalagi saat matanya menangkap bayangan yang memang menjadi tujuannya. Adimas. Senyumannya semakin merekah. Dia berjalan ke arah lelaki itu. Lelaki yang seminggu lalu menikahi sahabatnya. Tapi wanita itu sudah diliputi dendam dan nafsu. Tak mengingat status lelaki itu, tujuannya adalah membuat celah di antara Adimas dan Aisyah. “Mas Adimas!” serunya saat jaraknya tidak terlalu jauh dari Adimas. Lelaki itu menoleh ke sumber suara, mengernyit sebentar mencoba mengingat siapa sosok yang memanggilnya itu. “Hai, apa aku mengenalmu?” tanyanya dengan senyum ramahnya. “Ah saya sedih sekali Mas Adimas lupa sama saya, saya Ririn teman Aisyah,” katanya sedikit sebal karena bisa-bisanya lelaki ini melupakannya. Padahal sudah beberapa kali dirinya mencoba mengajak berbicara suami Aisyah itu. Tapi kok ya lelaki itu malah lupa.  “Hei ... Aku cuma bercanda Rin, mana mungkin aku melupakan wanita secantik dirimu,” rayu Adimas dengan mulut manisnya. Membuat Ririn merona karena pujian receh Adimas. Tapi dasar orang kampung yang jarang mendengar rayuan receh lelaki kota yang memang sukanya menebar rayuan gombal, sedikit pujian saja membuat Ririn melayang. Padahal tadi Adimas memang tidak mengingat wanita di depannya itu. Tapi bukan Adimas namanya menyia-nyiakan wanita yang memang berminat padanya. Jangan salahkan wajah tampannya, jika para wanita mengejarnya. Salahkan para wanita bodoh itu. Apalagi Ririn, sudah tahu Adimas suami sahabatnya sendiri masih saja dirayu. “Kupikir kau benar melupakanku setelah menikah dengan Aisyah,” kata Ririn manja, tangannya mulai berani memeluk lengan Adimas dengan manja. Lelaki itu tentu saja tidak akan menolak. Bak kucing yang disuguhi ikan asin pasti akan langsung menyambar tanpa perlu disuruh lagi. Apalagi kucing garong macam Adimas. “Tenti saja tidak manis, kau tahu kan? Ibuku yang menyurahku menikahi Aisyah bukan keinginanku,” kata Adimas mencoba merayu Ririn, tanpa dirayupun Ririn memang mengumpankan dirinya pada lelaki itu. “Benarkah?” tanya Ririn serasa mendapatkan peluang menggoda suami Aisyah. “Tentu saja, itulah kenapa kami belum melakukan hubungan suami istri,” kata Adimas sambil membelai tangan Ririn yang memeluk lengannya. Harapan Ririn semakin melambung, dirinya sudah masuk ke dalam pesona Adimas. Tanpa tahu dirinya akan terperosok dalam kubangan lumpur bersama dengan Adimas. Ririn semakin lupa diri, dia merasa sudah menang dari Aisyah. Sebentar lagi aku akan mendepakmu dari kehidupan Adimas ... suamimu ... Aisyah, bisik hati Ririn pongah. “Kamu ada apa ke bandara? Pake bawa koper segala, mau liburan ya?” tanya Adimas saat pandangannya tertuju pada koper Ririn yang berada di sebelah wanita itu. “Aku ikut mas Adimas ke Jakarta ya, aku pingin kerja di sana,” kata Ririn manja, dia semakin mendekatkan tubuhnya ke tubuh Adimas. Sehingga Adimas bisa merasakan p******a Ririn menekan lengannya terasa kenyal dan lembut, membuat tangannya gatal ingin meremasnya. “Benarkah? Kamu tinggal di rumahku saja sebelum kamu mendapat tempat yang pas bagaimana? Nanti aku tanya temanku deh barangkali ada lowongan di kantornya,” kata Adimas membuat Ririn bahagia mendengar jawabannya. Tujuannya semakin dekat untuk menghancur-kan Aisyah. Apa yang akan dipikirkan Aisyah jika dia datang ke Jakarta dan mendapatinya tinggal di rumah mereka? Pasti dia akan salah paham pada suaminya dan meminta bercerai, sehingga dirinya bisa leluasa memiliki Adimas hanya untuknya. “Apa boleh? Apa Aisyah tidak marah mas? Aku enggak enak sama dia mas,” ucap Ririn pura-pura khawatir, padahal hatinya sudah bersorak dengan tawaran Adimas. Dia tidak mungkin menolak tawaran Adimas yang menggiurkan itu. “Aisyah nanti urusanku, gampang itu,” kata Adimas lembut, “asal kamu tidak menggodaku di depannya saja hubungan kita pasti aman sayang.” “Ah mas ini loh menggodaku saja,” ujar Ririn dengan manja membuat Adimas gemas dengan tingkah wanita yang terlihat sekali kalau ingin menggodanya. “Menggoda bagaimana sih sayang,” goda Adimas sambil mencolek ujung p******a Ririn yang menggodanya karena baju tipis Ririn yang memperlihatkan p****g payudaranya yang sudah mulai mengacung. “Ih mas Adimas nakal deh tangannya,” ujarnya manja. “Habis kamu sexy banget sih sayang, jadi pengen ngeremes,” bisik Adimas di telinga Ririn, dia sedikit menjilat telinga Ririn membuat wanita itu merinding dibuatnya. “Nanti saja jika sudah di kursi pesawat, jangan di sini,” bisik Ririn dengan suaranya yang sedikit serak. Apa wanita ini mulai terangsang? Wah dapat rezeki nomplok nih.... Pesannya kan cuma tidak boleh menyentuh istri baruku, kalau wanita lain boleh saja ‘kan? Aku kan lelaki normal. Layaknya ikan jika disuguhi ikan asin pasti bakalan diembat juga. Tidak mungkin menolak. Pikir Adimas dengan seringai mesumnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN