Chapter 5. Mitha Syarif Nugra

1303 Kata
Mitha Syarif Nugra   Bandara Soekarno Hatta Seperti biasa suasana di bandara selalu hiruk pikuk. Tidak mengenal waktu. Seakan kehidupan di sini tak pernah mati. Orang sibuk berlalu lalang. Seorang wanita berhijab tampak baru turun dari pesawat, kepalanya menoleh ke kanan dan kiri. Belum datang, apa suaminya lupa kalau istrinya hari ini pulang? Wanita itu membuka tasnya dan mengambil telepon genggamnya. Dia sibuk menekan beberapa angka, dia mendekatkan ponselnya ke telinganya yang tertutup hijab lebarnya. Menunggu ... tidak terjawab. Tak putus asa di cobanya lagi mendial nomor tadi berharap panggilannya kali ini bakalan diangkat. Di dekatkan lagi ponsel itu ke telinganya. Nada sambung tapi belum juga diangkat. Apa dia sesibuk itu sehingga tidak bisa mengangkat panggilannya? Ah ya ... pasti suaminya itu sedang berkutat dengan dokumen di meja kerjanya. Walau dia tidak terlalu mengetahui pekerjaan suaminya. Bukan itu saja, dirinya tidak mengetahui sedikit pun tentang suaminya itu. Makanan kesukaannya, warna favoritnya, musik yang disukai suaminya pun dia tidak tahu. Padahal sudah lebih dari sebulan mereka menikah tapi hanya beberapa kali dia berbincang dengan suaminya. Itu pun lewat telepon. Wanita berhijab itu menghela nafas pelan. Apa boleh buat meskipun dia belum pernah ke Jakarta paling enggak dia bisa minta diantar taxi atau yang Online juga bisa. Dia mengutak-atik ponselnya sebentar. Akhirnya dia tinggal menunggu jemputannya datang. Dia bersyukur kali ini dengan kemajuan teknologi dan orang yang membuat aplikasi transportasi Online. Meskipun masih menjadi perdebatan tapi untuk saat-saat mendesak seperti kali ini dia patut bersyukur. Dia berjalan menuju luar gedung bandara sambil menunggu jemputannya datang. Dia berjalan dengan pelan. Perhatiannya teralihkan ketika sayup-sayup dia mendengar suara anak kecil menangis. Wanita itu mencari asal suara, ketemu! Seorang anak  balita cantik dengan rambut dikuncir dua khas anak-anak tampak menggemas-kan dengan pipi cabbynya. Apa anak itu kehilangan orang tuanya? Orang tua seperti apa yang meninggalkan bocah selucu itu? "Hei cantik, apa kau tersesat?" tanyanya sambil duduk menyamakan tingginya dengan anak kecil itu. "Ala ... Cecat," katanya sambil mengangguk. Wanita itu mengusap air mata bocah menggemaskan itu dengan jari tangannya lembut. Membuat tangis sang bocah berhenti. "Mau tante anter cari mommy kamu?" tanya wanita itu lagi. "Mommy Ala dah di culga," kata bocah itu dengan ekspresi sedihnya. Membuat wanita itu ikut bersedih, dia teringat almarhum ibunya. Bagaimana bocah sekecil ini sudah kehilangan kasih sayang ibu? Kasihan sekali. "Maafkan tante ya sayang, tante tidak tahu ... Ehm terus sayangnya tante ke sini sama siapa?" tanya wanita itu lagi. "Ama dad sama kakak uga," katanya singkat. "Ya sudah kita cari keluarga kamu ya?" kata wanita itu sambil menuntun bocah cilik itu menuju bagian informasi. Selesai dengan tugasnya dan bagian informasi meng-informasikan tentang bocah bernama Ala ini. "Nama kamu Ala ya?" tanyanya setelah mengajak bocah itu menunggu kedatangan keluarga bocah ini di kursi tunggu. Karena jujur dia masih sangat lelah. "Bukan Ala tapi Allla," kata bocah itu dengan wajah menggemaskannya. "Oh Allla?" goda wanita itu mengikuti nada cadel si bocah lucu nan menggemaskan itu, membuat bibir bocah cilik itu mengerucut semakin menggemaskan. Wanita itu mencium kedua pipi bocah itu dengan sayang. "Butan nte tapi Allllla," sahutnya kesal. "Iya Ara, kamu lucu banget sih sayang," kata wanita itu akhirnya tak ingin terlalu lama membuat bocah itu semakin kesal. "Nama nte capa?" tanyanya dengan wajah polos menggemaskannya. "Nama tante Aisyah," katanya sambil mengulurkan tangan seperti orang bersalaman, dan dibalas Ara dengan senyuman manisnya. Mereka tertawa bersama. Tak jauh dari tempat mereka tampak tiga lelaki beda generasi tampak tertegun dengan wajah bahagia Ara, mereka tidak pernah melihatnya seceria itu. "Anda yang sudah menolong Ara?" sebuah suara dingin terdengar membuat tawa Ara dan Aisyah terhenti. Wanita itu menoleh ke sumber suara. Di belakangnya ada tiga laki-laki yang memiliki kesamaan. Tidak mau berspekulasi, wanita itu hanya mengangguk. "Ini buat Anda, Anda bisa isi dengan nominal yang Anda inginkan," kata lelaki yang tampak paling dewasa, Aisyah tidak mau mengatakan tua, karena meskipun terlihat paling tua tapi lelaki itu terlihat paling mempesona. Mengeluarkan kharisma melebihi kedua lelaki tampan di sampingnya yang masih remaja, tapi dia bersumpah lima tahun lagi kedua remaja itu pasti tak kalah dengan lelaki tampan nan mempesona tadi. Aisyah menatap kertas yang diangsurkan ke arahnya, jujur dia merasa tersinggung. Tapi itu mungkin jenis terima kasih buat orang di kota. Dan dia tidak membutuhkannya. "Maaf saya tidak mengharap imbalan apa pun tuan, saya menolong Ara tulus, karena Ara sudah bertemu dengan keluarganya saya permisi dulu, ehmm Ara ... Mereka benar keluarga kamu kan?" tanyanya ke arah Ara, bocah itu mengangguk pelan. Aisyah hanya ingin memastikan kalau Ara memang sudah bertemu dengan keluarganya. "Saya permisi tuan ... Ara sampai jumpa lagi ya," katanya sambil sedikit membungkuk ke arah lelaki tadi dan melambai ke arah Ara. Aisyah berjalan sambil menggeret kopernya ke arah lobi bandara menunggu jemputannya. Beberapa pasang mata itu memandangnya tanpa berkedip, lelaki itu masih terpaku. Baru kali ini ada yang menolak uang darinya. "Wah dia wanita yang unik," kata lelaki di belakangnya. "Nti olangnya baik yah, ndak ayak nte lampil," kata Ara polos. "Ha ... ha ... kau benar Ara, pacar daddy itu tante lampir," kata remaja lelaki satunya tak bisa menahan tawanya saat mendengar panggilan Ara kepada wanita yang saat ini sedang dekat dengan daddy mereka. Dan ucapannya itu mendapat tatapan tajam dari lelaki yang mereka panggil dad dan ayah. Tapi remaja itu tak peduli dengan intimidasi yang dikirim sang daddy. "Oh ... kau salah Ara, pacar dad itu Nenek Sihir,” kata remaja satunya mengejek daddynya. Membuat lelaki yang dipanggil dad itu menatap tajam kedua putranya itu. Tak memperdulikan tatapan tajam daddynya keduanya masih terkekeh geli. "Sayaaaang, akhirnya kau pulang juga," sahut suara manja dari arah belakang mereka membuat keempatnya menoleh ke arah suara yang sangat mereka hafal itu. "Nti lampil." "Nenek sihir." "Nenek Gerandong." "Metha," ucap mereka berempat di saat bersamaan tapi dengan panggilan yang berbeda. Metha wanita itu tidak memperdulikan panggilan anak dari lelaki yang kini dalam rangkulannya. Baginya yang paling penting adalah kini dirinya sudah berada di hati lelaki tampan dan tajir melintir ini saja sudah cukup. Tak peduli ketiga anak duda kaya raya ini menolak kehadirannya. Awas saja kalau dirinya sudah menikah dengan duda tiga anak ini, bakalan dia tendang p****t tiga biang onar itu, pikir Metha penuh kelicikan. "Kamu kok tahu kalau hari ini kami pulang? Perasaan aku tidak ada ngasih tahu kamu ya..."  tanya lelaki dingin itu dengan ekspresi datarnya. Ck ... sama kekasih sendiri saja ekspresi like freezer. Brrr ... dingin. Rutuk Metha dalam hati. Tapi bukan Metha namanya kalau terpengaruh, dia menampilkan wajah penuh senyum palsunya ke arah pujaan hatinya. "Aku tanya Beno," kata Metha menjelaskan. Sebenar-nya dia mendapat informasi itu tidak gratis. Dia harus memuaskan lelaki m***m itu. Kurang ajar memang, tapi demi masa depannya Metha akhirnya memuaskan sekretaris m***m itu. Awas saja kalau dia sudah menjadi nyonya Alfian Bramantyo akan diusirnya sekretaris sialan itu. "Oh," hanya itu tanggapan lelaki itu. "Alfian kapan kamu bawa aku bertemu sama keluarga kamu?" tanya Metha manja saat mereka sudah berada di dalam mobil Suv milik konglomerat kaya itu. "Aku belum bisa," kata lelaki itu datar, kalau tidak ingat dia itu orang kaya raya sudah lama Metha tidak sudi mendekatinya. Tapi demi hidup bermewah-mewah dirinya rela melakukan apa pun untuk bisa menjadi nyonya Alfian. Termasuk menikahkan suaminya dengan wanita lain, karena tidak ingin Alfian curiga kalau dirinya sudah menikahi lelaki lain dan masih resmi menyandang status sebagai istri. Tapi demi mendapatkan harta Alfian dia membuat identitas baru dan status baru. Sebagai Metha Lovina status single, bukan Mitha Syarif  Nugra wanita bersuami. Kalian bisa menebak bukan siapa Metha? Ya, dia istri pertama Adimas Nugra. Suami Aisyah Nur Jannah, selingkuhan Ririn. Dia rela melakukan itu hanya demi harta Alfian Bramantyo. Duda keren yang tajirnya melintir. Dia bahkan rela berbagi suami dengan wanita pilihannya hanya demi menutupi statusnya yang sudah menikah. Tentu saja sebagai alibi. Dia bahkan merubah penampilannya agar layak bersanding dengan sang billionaire.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN