Pergi

1085 Kata
"Bangunlah, aku akan membawa kamu ke suatu tempat." kata Brian. Dia tiba-tiba masuk begitu saja menghampiri Aron yang masih berbaring di kamarnya. "Emm.. Apa harus sekarang, aku baru merasakan tidur enak. Dan, sekarang harus terganggu." kata Aron. Sedikit kesal. "Iya, lagian, kamu harus punya kegiatan positif. Agar, kamu bisa mengendalikan apa yang ada pada diri kamu. Kamu, harus punya hati dan kasih sayang. Agar, kamu bisa membedakan mana musuh mana teman, mana dan mana yang harus di lindungi." jelas Brian, dia duduk di pinggiran ranjang Aron. "Aku tahu, ini semua sulit bagimu. Tapi, aku yakin kamu bisa mengendalikan semua yang ada pada diri kamu." Aron beranjak duduk. Dia bersandar di kepala ranjangnya. "Tapi, apa aku bisa melakukannya?" tanya Aron mulai tak yakin. "Aku yakin bisa. Di dunia ini tidak ada yang tidak bisa dikendalikan. Kecuali kita punya kasih sayang dalam hati kita. Jadi, kita bisa membedakan siapa yang harus di lindungi." jelas Brian. Dia beranjak berdiri kembali. Menarik selimut yang masih membungkus tubuh remaja kecil itu. "Sekarang, begini. Aku mau jika kamu itu kasih tau caranya." "Bangunlah! Aku akan kasih tau kamu caranya. Kita mulai juga perlahan. Aku, juga tidak pernah bilang kamu akan langsung paham. Cuma, semuanya memang butuh waktu. Jadi, kamu harus sabar." Kata Brian. Dia tertegun sejenak. Mengingat sesuatu. "Eh.. Iya, sekarang paling penting adalah. Melatih kesabaran pada dirimu. Jika kamu bisa melatih kesabaran itu. Setidaknya, kamu bisa mengontrol sedikit kekuatanmu." jelas Brian, dia tersenyum lebar. Setidaknya ada cara untuk melatih kekuatannya. Aron mengerutkan keningnya. Dia masih merasa sangat bingung dengan apa yang dikatakan Brian. Kesabaran? Entah apa yang dimaksud dengan kesabaran. Dirinya saja masih belum tahu tentang itu. Bahkan, ibunya saja tidak pernah menjelaskan apapun dulu. Aron terdiam, dia menundukkan kepalanya. mencoba untuk mengingat kembali tentang ibunya. Dia tak tahu, apa ibunya pernah bilang atau dirinya yang lupa. "Kenapa kamu diam?" tanya Brian heran. Aron mengangkat kepalanya, "Bentar! Aku tidak tahu, apa itu sabar? Apa itu semua materi pembelajaran" tanya Aron bingung. Brian menarik dua sudut bibirnya. Dia tersenyum tipis. Rasanya ingin menertawakan laki-laki yang masih remaja itu. Tetapi, dia merasa takut jika itu akan menimbulkan amarah baginya. "Nanti, kamu juga akan tahu. Apa itu sabar." kata Brian. "Dan, sekarang. Ayo, ikut denganku. Aku tidak mau ada banyak lagu masalah nantinya. Sekarang, aku harus menyelesaikannya. Sebelum nanti ada ilmuwan tau keberadaannya. "Ilmuwan?" tanya Aron. "Memangnya kenapa mereka mencariku? Apa ada hubungannya dengan ayahku?" lanjutnya. "Ayah?" tanya Brian. Dia memincingkan salah satu matanya bingung. "Memangnya ayah kamu seorang ilmuwan juga?" tanya Brian. Aron menganggukan kepalanya dua kali. "Tapi, aku tidak tahu semuanya. Cuma, ibu pernah bilang padaku." jawab Aron. "Baiklah, sekarang kamu cepat berdiri." kata Brian. Aron menghela napasnya. "Hem... Oke, baiklah aku berdiri sekarang." Aron segera beranjak dari ranjangnya. Dia berdiri tepat di depan Brian. "Sekarang apa yang harus kamu lakukan?" tanya Aron. "Jadilah dulu, setelah itu aku ajak kamu jalan-jalan. Kita beli tanaman di kota. Lalu, kita tanam sama-sama nanti." kata Brian. Menepuk pundak Aron. "Aron... Ingat, kamu jangan buat masalah saat di kota. Karena disana memberikan. Kita tidak bisa membedakan mana itu teman mana itu bukan. Jadi, tetaplah bersamaku dulu." ucap Brian. "Oke, baiklah! Aku akan mengingat akan hal itu." ** Setelah berberes semuanya. Aron sudah bersiap untuk masuk ke dalam mobil Brian. Sementara laki-laki itu entah dia pergi kemana. Aron masuk ke dalam mobil Brian. Sembari menunggu laki-laki itu kembali lagi. "Dimana dia?" tanya Aron heran. Sementara Brian masih di kamarnya. Dia melihat sekitarnya. Aron juga tidak ada di sana. Sembari menggenggam ponselnya. Sepertinya ada telpon dari seseorang yang sangat penting. "Halo.." ucap Brian. "Kamu dimana? Kenapa kamu tidak mengajak ke markas. Dua hari kerja kamu sia-sia. Aku kirim kamu kesana hanya untuk mencari tahu tentang anak kecil. Kenapa kamu lama sekali mendapatkannya." suara keras itu menggema dari balik telponnya. "Maaf, tapi sepertinya saya tidak menemukan anak itu di sana. Hanya sisa bangunan saja yang berada di sana. Semuanya tidak ada di rumah." kata Brian mencoba merendahkan suaranya. Dengan kedua mata mengawasi sekelilingnya. Berharap jika Aron tidak mendengarnya. "Kenapa kamu bisa kehilangan dia? Kenapa?" bentak seorang laki-laki itu. "Aku tidak tahu. Jika anda ingin mencari tahu. Silahkan anda pergi sendiri. Apa mereka masih ada di sana atau tidak. Bangunan itu sudah hancur. Mereka tidak ada yang berada di rumah. Aku sudah cleaning, tetap saja. Tidak menemukannya." kata Brian semakin kesal. "Awas, jangan coba-coba kamu membohongiku. Jika sampai kamu berbohong. Maka kamu akan tahu sendiri apa akibatnya." ancamnya. "Aku tahu akan hal itu. Makanya kenapa aku takut berbohong pada anda. Sekarang, silahkan cek apa mereka masih ada di sana. Kalian saja tidak tahu sekarang bagaimana wajahnya." pekik Brian. "Oke, aku akan memerintah orang lain untuk mencari mereka di sana. Jika ada, maka kamu harus terima hukuman kamu." tegas laki-laki itu. "Atau, jangan-jangan kamu menyembunyikan dia sekarang." lelaki itu mulai curiga. "Apa kamu gila, aku tidak mungkin membahayakan diri aku sendiri. Lagian, kenapa aku harus membawanya." kata Brian. "Oke.. Awas jika kamu berbohong padaku." ancam laki-laki itu penuh kekesalan. Lalu, segera mematikan ponselnya. "Sialan, kenapa dia bisa berbicara seperti itu." geram Brian, mencengkeram ponselnya. "Sepertinya, cepat atau lambat. Laki-laki itu akan menemukan Aron disini. Mereka pasti akan menemukannya. Aku tidak boleh tinggal diam. Sebelum aku tahu, kekuatan apa sebenarnya yang dia miliki." kata Brian lirih. Dia menghela napasnya kesal. Dia membalikkan badannya, melangkahkan kakinya keluar dari kamarnya. Berjalan dengan santainya, keluar dari rumah. Pandangan matanya tertuju pada Aron yang sudah duduk di dalam mobilnya. "Aron, kamu lama menunggu?" tanya Brian. Dia tersenyum tipis dan masuk ke dalam mobilnya. "Kamu dari mana saja. Aku sudah lama menunggu disini." "Aku telpon penting tadi." Brian masuk ke dalam mobilnya. Dia segera memakai sabuk pengaman miliknya. Aron mengerutkan keningnya. "Telpon itu apa?" Brian menoleh dia memicingkan salah satu matanya. Sedikit menatap bingung pada Aron. "Kamu tidak tahu?" tanya Brian. "Apa itu sebuah benda?" "Bukan itu namanya komunikasi antara orang satu dengan yang lainnya dari jarak jauh." "Kenapa bisa seperti itu?" tanya Aron semakin penasaran. "Bisa, karena aku menggunakan ini." Brian mengeluarkan ponselnya. Aron yang sangat antusias dan penasaran. Dia meraih ponsel Brian. Membolak balikkan ponselnya. "Ini sangat bagus. Jadi ini benda canggih bisa berbicara dari jauh. Kenapa aku tidak tahu ini sebelumnya. Orang tuaku tidak memperbolehkan aku tahu hal-hal canggih dari kota. Bahkan, mereka juga tidak punya benda seperti ini." kata Aron masih terheran-heran. "Ini menyala?" Kedua mata Aron melebar saat melihat layar ponsel Brian menyala. "Iya, itu bisa disentuh." kata Brian. Dia segera menjalankan mobilnya keluar dari halaman rumahnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN