pergi.

1168 Kata
"Ayah .. Aku mau pergi ke rumah Aron?' kata Felly. setelah mendengar jika Aron di culik. Felly terlihat cemas. Dia bahkan belum bisa tidur pulas. Ayahnya mengusap lembut rambut Felly. dia tersenyum tipis. sembari duduk jongkok. "Sayang, ini sudah malam. Jangan lagi bertindak gegabah.Apalagi sampai kejadian seperti Aron. Ayah tidak mau. lebih baik kita istirahat saja. Besok kita pergi ke rumah Aron." kata Ayahnya. dengan nada suara merendah. Mencoba untuk menjelaskan pada Felly. "Tapi yah..." "Felly, sudah kamu tidur sekarang. Jangan melakukan kesalahan. Sudah lebih baik kita diam saja di rumah. besok siang kita ke rumah Aron." Jelas ayahnya. Dia menuntun Felly untuk segera masuk ke dalam kamarnya. "Ayah janji?" Felly mengangkat kepalanya. Menatap ayahnya.. "Sudah tidurlah!" Pinta ayahnya. Mau tidak mau gadis remaja itu harus tidur sesuai perintah ayahnya. Meskipun dia masih teringat bagaimana keadaan Aron. Sementara Aron. Tepat tengah malam. Dia belum juga tidur. Brian sudah bersiap sesuai dengan apa yang di katakannya tadi untuk pergi sementara dari rumah itu. Sementara Brian sudah siap untuk pergi. Dia duduk menyandarkan punggungnya di sofa. Berbeda dengan Aron yang baru saja selesai mandi. Dia masih bersiap, memasukan beberapa bajunya ke dalam koper. Aron tiba-tiba terdiam. Saat dia mengingat keluarganya. Hatinya merasa sangat sakit. Dia memejamkan matanya sejenak. Merasakan kehadiran orang tuanya disisinya. "Ibu, ayah!... Maafin Aron" kata Aron lirih. "Setelah hampir satu bulan bersama dengan Brian. Dia masih belum bisa sepenuhnya melupakan orang tuanya. Rasa bersalah terus menghantuinya. Bahkan bayangannya seolah terus berbicara jika dialah pembunuh. Dia pembunuh. Aron menghela napasnya. Membuka matanya lebar. Dia beranjak berdiri. Berjalan melihat ke arah kaca. Seketika dia mulai berhalusinasi melihat bayangan dirinya bertindak tidak sesuai dengannya. "Kamu seorang pembunuh! Kamu pembunuh. Pergilah, ke neraka. Kamu pembunuh!" Suara itu lantang terngiang di telinganya. "Pembunuh!" "Pembunuh!" "Tidak" pekik Aron. Dia menutup kedua telinganya. mengerutkan wajahnya. Sembari terus melangkah mundur. Wajah Aron tampak pucat. Sekujur tubuhnya gemetar. Bibir yang semula tertutup perlahan mulai terbuka. Bibir itu juga gemetar. "Kenapa kamu membunuh ayah?" "Aron, kenapa kamu membunuh ibu kamu sendiri." Entah dari mana datangnya suara itu. Aron seolah terus mendengar jelas suara itu berbisik padanya. Hati Aron bahkan merasakannya. Aron mencoba menghela napasnya Menarik kembali telapak tangannya dari telinganya penuh keraguan. "Pembunuh tetaplah pembunuh" "Tidak! tidak! Aku bukan pembunuh. aku bukan pembunuh." Teriak Aron. Wajahnya mulai ketakutan. Keringat dingin mulai bercucuran membasahi kening Aron. Wajah tampak semakin pucat. Pandangan matanya berkeliling melihat sekitarnya. Hingga punggungnya menempel pada dinding putih. "Aku bukan pembunuh, aku tidak melakukannya." Kat Aron. Dengan bibir masih masih gemetar. Suara sedikit serak. Dia menarik tubuhnya ke bawah perlahan duduk, memeluk kedua kakinya sendiri. Sembari menyembunyikan wajahnya. "Kenapa aku jadi seperti ini?" Kata Aron. Dia menyembunyikan wajahnya dari balik kedua pahanya. "Tidak, tenang saja. Aku tidak akan pernah melakukan apapun. Pergilah!" Kata Aron. Brian yang berada di luar. Dia masih tetap tenang. Tak mendengar suara Aron. Kedua telinganya masih memakai headset untuk mendengarkan beberapa musik di ponselnya. Brian terdiam sejenak. Dia merasa kenapa Aron begitu lama. Brian mengangkat tangan kanannya. Melihat jam tangan berwarna hitam melingkar di pergelangan tangan kanan. Sudah hampir q jam dia menunggu Aron. Tetapi laki-laki remaja itu belum juga pulang. "Kemana Aron. Kenapa dia lama sekali?" Brian beranjak berdiri. Tak sabar lagi menunggu. Brian melangkahkan kakinya menuju ke kamar Aron. Belum sempat masuk ke dalam kamarnya. Aron sudah keluar dari kamarnya. Dengan wajah tampak lesu. Napas yang masih berantakan. Dia membawa koper yang di berikan untuknya. Brian menautkan kedua alisnya. Dia mengira jika memang sepertinya Aron terlihat sedih mengingat orang tuanya. tak mau bertanya lagi tentang mereka. Brian menepuk bahu Aron dua kali. "Kamu sudah memasukan semua bajumu?" Tanya Brian memastikan. Aron hanya diam, dia menganggukkan kepalanya dua kali. "Oke.. sekarang, ayo kita pergi." Jaga Brian. "Sebelum Jack datang kemari. Untuk mencarimu." Brian segera membalikkan badannya. Melangkahkan kakinya pergi meninggalkan rumah itu. Sementara Aron yang masih saja diam. Dia melangkah di belakang Brian. Brian memasukan koper Aron di jok belakang. Di bagasi mobilnya sudah penuh dengan semua barang-barangnya. "Aron.. cepatlah masuk!" Ucap Brian. Aron hanya diam. Dia langsung masuk ke dalam mobilnya. Tanpa suara keluar dari bibirnya. Mobil itu perlahan mulai melaju dengan kecepatan sedang keluar dari halaman rumah Brian. "Kamu mau kemana lagi?" Tanya Aron lirih. "Bukanya aku sudah bilang padamu?" Brian melirik ke samping. "Kamu ada masalah? Atau, kamu sedang memikirkan sesuatu?" Tanya Brian. "Tidak! Aku tidak pernah berpikir tentang sesuatu. Hanya saja, aku teringat tentang itu." Kata Aron. "Lupakan saja! Semua terjadi juga bukan kesalahan kamu. Ini semua memang terjadi tanpa kamu sadari." Kata Brian. "Aku mengira banyak sekali orang yang menyalahkan aku." Ucap Aron. Dia tertunduk. "Tidak ada orang yang tahu kecuali aku." Kata Brian. "Dan, aku sama sekali tidak pernah menyalahkan kamu." Lanjutnya. "Apa kekuatan aku bisa di hilangkan. Aku mau jadi manusia normal." "Suatu kelebihan tidak akan ada orang yang bisa seperti kamu. Dan, itu anugrah. Mungkin suatu saat kamu akan di tugaskan untuk membantu orang. Sekarang, kamu belum bisa mengontrol semua kekuatan kamu. Jadi, kamu hanya bisa menyesali semuanya." Jelas Brian. Sembari tersenyum tipis. Dia masih fokus pada jalanan di depannya. Meski sesekali dirinya melirik ke arah Aron. "Aku bantu orang bagaimana?" Tanya Aron. "Contohnya, seperti kamu hanya anak perempuan itu. Tanpa kamu sadari, kamu punya hati untuk menolong satu sama lain." Kata Brian. Dia melirik ke arah Brian beberapa detik. "Belajar kendalikan emosi kamu. Mungkin semua berawal dari emosi yang meledak pada diri kamu. Jika kamu bisa mengendalikannya. Kamu juga bisa mengendalikan kekuatan kamu." Kata Brian. "Jika sampai di rumah. Kamu bisa melatih kekuatan kamu disana." "Aku bahkan tidak tahu bagaimana cara mengeluarkannya." Kata Aron. Brian terdiam. dia memikirkan cara untuk menyelesaikan semua masalah Aron. Pov Jack. "Kenapa kalian membiarkan dia lolos." Ucap Jack kesal. "Maaf, tuan kemarin ada laki-laji yang menolongnya. bahkan profesor juga di bius." Kata ajudan itu. Dengan wajah masih tertunduk takut. "Siapa dia?" Tanya Jack. "Saya tidak tahu tuan." "Kalian semua gak berguna." Pekik Jack. Memukul dua ajudannya. Bugh.. Bugh. "Pakai otak kalian." Pekik Jack kasar. Dua pukulan tepat di perut dia ajudannya bergantian. Kalian semua gak becus hanya melawan satu orang saja. Bukannya kalian ajudan terkenal. Kenapa otak kalian tidak bisa berpikir. hah.. melawan satu orang saja tidak bisa." pekik Jack. Penuh emosi. Rahangnya mulai menegang saat dia mengingat tantang Brian. "Pasti Brian." Ucap Jack. "Iya, sepertinya dia, bos." Kata ajudan itu. lalu tertunduk kembali. "Apa kamu yakin?" Tanya Jack. "Kalian saja tidak tahu. Lebih baik belajar lagi teknik beladiri. Lawan satu orang saja tidak becus." Umpat kesal Jack. Dua ajudan itu masih saja tertunduk. Mencengkeram tangannya sendiri. Mereka tak bisa berkutik di depan bosnya. Mereka menelan ludahnya bersamaan. "Lain kali sediakan jebakan. Jangan gegabah jadi orang." Ucap Jack lagi. Jack terdiam seketika dia memikirkan cara bagaimana untuk mengambil kembali Aron. "Sekarang, kalian semua cari Aron di rumah Brian. Jika dia masih belum sadar. bawa dia. Jika dia bersama dengan Brian. Lebih baik selidiki dulu. cari kesempatan saat laki-laki itu sendiri. "Baik boss." Dua orang ajudan itu saling melirik satu sama lain. "Lakukan dengan baik. Jangan buat kesalahan lagi. Kalau tidak, tangan kalian aku potong." Ancam Jack.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN