CHAPTER 7. KEKUATAN TERTARIK KELUAR

2321 Kata
    “Kamu salah, Asta. Magis Edelsteine mu tidak lemah. Namun, magis edelsteine mu terlalu kuat hingga sulit untuk di kontrol.” Jelas Cenora.     Anastasius hendak menyangkal perkataan Cenora. Namun, Cenora mampu membungkamnya tatkala ia meletakkan tangan kanannya diatas d**a Anastasius dan memperlihatkan cahaya berwarna keemasan yang begitu terang bagai matahari menyelimuti tubuh Anastasius. Semakin terang cahaya yang dikeluarkan dari magis edelstene, semakin kuat juga magis edelstennya.     “Itu tidak mungkin.” Lirih Anastasius tak percaya.     Cenora menatap Anastasius dalam, “Apa kamu pikir aku telah menipumu?”     Anastasius langsung menggeleng cepat, ia tidak akan pernah meragukan Cenora. Yang ia ragukan adalah dirinya sendiri, Anastasius selalu ragu dengan kekuatan yang ia miliki.     “Pejamkan matamu, Asta, rasakan energi hangat yang menjalar di sekujur tubuh, pusatkan sihirmu ke Magis Edelsteine. Aku akan membantumu mengendalikannya.”     Anastasius mengikuti arahan dari Cenora, ia memejamkan matanya. Memusatkan konsentrasinya untuk menguatkan perputaran sihir pada Magis Edelsteine nya. Dalam beberapa detik, Anastasius mampu merasakan seperti ada sesuatu yang mencengkram dadanya dengan kuat, membuat ia sedikit kesulitan untuk bernafas. Disaat itulah, Anastasius hendak membuka mata, namun Cenora langsung meletakan tangan kirinya ke atas mata Anastasius.     Cenora, “Jangan membuka mata. Konsentrasilah. Rasa sakit itu akan segera menghilang bila kamu mampu mengendalikan Magis Edelsteine milikmu. Percayalah padaku.”     Rasa sakit di d**a Anastasius pada kenyataannya disebabkan oleh kekuatan Cenora yang memaksa magis edelsteine Anastasius untuk bekerja tiga kali lebih cepat dari biasanya. Teknik yang dilakukan oleh Cenora memang biasanya akan mendapatkan hasil terbaik, namun bila magis edelsteine seseorang tidak kuat, magis edelsteine itu bisa hancur atau bahkan memakan nyawa dari pemiliknya.     Anastasius tidak pernah meragukan Cenora, ia percaya bahwa wanita itu tidak akan membiarkannya terbunuh hanya demi meningkatkan kekuatan. Akan tetapi, kali ini Anastasius merasa seakan ajal akan segera datang. Rasa sakit di dadanya tak kunjung berkurang, malah semakin lama semakin menyakitkan.     Cenora bisa merasakan keraguan di hati Anastasius, dan keraguan itulah yang biasanya menyebabkan kegagalan.     “Percayalah padaku, Asta.” Lirih Cenora.     Mendengar ucapan Cenora, Anastasius berusaha untuk menghilangkan seluruh keragun yang bersemayam didalam pikirannya. Ia berusaha untuk memusatkan energi sihirnya ke Magis Edelsteine. Cahaya berwarna kebiruan menyatu dengan cahaya emas, berputar mengelilingi tubuh Anastasius dan Cenora.     Melihat hal tersebut, Cenora ikut memejamkan matanya. Anastasius perlahan bisa mengontrol dan menguatkan magis edelsteine miliknya, sehingga Cenora mulai melepaskan tangannya dari tubuh Anastasius. Membiarkan pemuda itu mengolah sihirnya sendiri.     Anastasius bisa merasakan rasa sesak di dadanya perlahan menghilang, tergantikan dengan perasaan ringan ditubuhnya, sihir miliknya bergejolak bagaikan bara api yang baru saja di bakar. Mendesak tubuhnya untuk bekerja lebih cepat dan kuat dalam mengontrol sihirnya.     ••     Detik berganti menjadi menit dan menit berubah menjadi jam. Anastasius telah mengolah kekuatan sihirnya hingga tengah malam, tidak ada rasa lelah yang menghampiri tubuhnya. Saat ini, keantusiasan menguasai dirinya sehingga Anastasius terus meminta lebih tanpa ada niatan berhenti.     Badai diluar sudah mulai mereda, menyisakkan rintikan hujan kecil yang masih membasahi bumi. Cenora bersandar pada dinding di samping jendela, melihat ke arah awan hitam di langit yang masih menutupi cahaya rembulan. Manik keemasan melirik ke arah Anastasius yang masih memejamkan matanya.     Meskipun Anastasius mampu menguasai teknik pengendalian energi sihir pada percobaan pertama. Melakukan hal itu dalam jangka waktu yang terlalu lama juga bisa membahayakan tubuh Anastasiud. bila ia terlalu memaksakan diri, Bukan tidak mungkin, Anastasius bisa jatuh tak sadarkan diri.     Cenora melangkah ke hadapan Anastasius, kemudian ia meletakkan telapak tangannya kembali ke atas d**a Anastasius. Memaksa pusaran energi yang sedang melingkupi tubuh Anastasius untuk berhenti.     Pemberhentian secara paksa membuat energi yang sedang mengalir dengan kuat langsung tertarik masuk dengan cepat ke dalam Magis Edelsteine. Hal itu menyebabkan Anastasius langsung terlonjak kaget karena merasa seperti ada logam yang menghantam dadanya.     “Cukup. Jangan diteruskan.” Pinta Cenora.     Anastasius terjatuh ke atas lantai dengan nafas terputus – putus, “Nora, tidakkah kamu memiliki cara lain untuk menghentikanku.”     “Ada. Menghentikkan jantungmu.”     Senyuman lemah terpatri di wajah Anastasius, “Apa aku sudah melakukannya dengan benar?”     Cenora mengangguk, “Tentu saja. Itu semua berkat teknikku. Kau mau mencobanya?”     “Mencoba?”     Cenora menyodorkan tangan kanannya ke hadapan Anastasius, perisai sihir di sekeliling mereka semakin di pertebal, “Pegang tanganku. Pusatkan sihirmu ditanganmu.”     Anastasius mengerutkan keningnya seraya menggeleng, “Aku tidak mau. Bagaimana bila aku melukaimu?”     “Kalau kamu bisa membuat tanganku putus. Itu lebih baik.”     “Cenora!” Pekik Anastasius tak terima.     Tanpa menunggu Anastasius memegang tangannya, Cenora sudah lebih dulu menarik tangan Anastasius.     “Lakukanlah. Aku akan baik – baik saja.”     Anastasius menatap Cenora dengan ragu, “Tapi ak—”     Manik keemasan milik Cenora menatapnya tajam, “Anastasius, apa kamu merendahkanku? Apa kamu sudah begitu yakin bisa melampaui diriku?”     “Lakukanlah.” Perintah Cenora, kali ini terdengar mutlak.     Melihat wajah Cenora yang sudah buruk, Anastasius tidak berani untuk membantah lagi. Ia memejamkan matanya kemudian mengenggam tangan Cenora dengan erat. Ia berusaha untuk memusatkan sihir nya di tangan.     Aliran listrik berwarna biru muncul di seluruh tubuh Anastasius, yang awalnya berputar tak karuan perlahan mulai mengarah ke tangan kanannya. Percikan listrik tersebut lambat laun menjadi besar.     Bersamaan dengan Anastasius membuka mata, memperlihatkan manik perak yang terlihat seakan memancarkan cahaya. Kekuatan listrik miliknya meledak, menghasilkan bunyi dentuman yang sangat keras, bahkan membuat udara bertiup dengan kencang disekitar mereka.     Kekuatan listrik Anastasius bertabrakan dengan sihir gelap milik Cenora. Pusaran angin hitam dengan percikan listrik berputar di sekitar mereka. Bila seandainya Cenora tidak membuat perisai sihir, bangunan penginapan yang mereka tinggali bisa langsung hancur lebur dalam sekejab mata.     Anastasius mengerutkan keningnya, berusaha untuk menahan kekuatan milik Cenora yang hendak mendorongnya untuk mundur. Anastasius tidak ingin menyerah begitu cepat, ia juga ingin menunjukkan bahwa apa yang telah diajarkan oleh Cenora kepadanya bukanlah hal yang sia – sia.     Namun, Anastasius langsung yakin bahwa ia akan segera terpukul mundur tatkala melihat senyuman kecil terpatri di wajah Cenora. Intensitas Elemen Gelap bertambah, menciptakan ledakkan yang begitu kuat hingga membuat Anastasius terlempar jauh ke belakang dan menabrak perisai sihir yang dibuat oleh Cenora.     Anastasius terbatuk – batuk ketika punggungnya menabrak perisai sihir milik Cenora. Perisai itu sangat keras seperti permukaan batu. Tubuh milik Anastasius seakan ditekan dari dua sisi, membuatnya hampir tak sadarkan diri.     Cenora menatapnya, “Kekuatan seperti itu saja sampai takut melukai diriku. Bangun Asta, jangan lemah.”     Masih dengan terbatuk – batuk, Anastasius berusaha keras untuk bisa berdiri tegap meskipun kakinya sudah gemetar seakan tak kuasa untuk berdiri.     Anastasius menatap Cenora dengan lemah, “Kamu memang kejam, Nora.”     Cenora menarik tubuh Anastasius ke dalam pelukannya. Mengalirkan sihir penyembuh untuk merasuk ke dalam tubuh Anastasius, dengan memerangkap tubuh Anastasius ke dalam pelukannya, energi sihir bisa masuk dengan lebih efektif dan cepat.     Sihir penyembuh membuat seluruh tubuh Anastasius yang sebelumnya mati ras mulai membaik, ia bisa bernafas dengan lancar dengan kaki yang berhenti gemetar.     Satu tepukan ringan mendarat di punggung Anastasius, “Jika aku tidak kejam padamu. Bagaimana kamu bisa mengalahkan musuh yang lebih kejam.”     Meskipun tubuhnya sudah merasa lebih baik, rasa kantuk mulai menyerang kesadaran Anastasius. Membuatnya tanpa sadar membiarkan Cenora menopang beban tubuhnya, mungkin ini adalah efek dari sihir penyembuh tingkat tinggi yang biasanya juga akan meningkatkan rasa kantuk.     Tanpa sadar, Anastasius berbisik kecil, “Nora, apa aku sudah bisa melindungimu?”     Cenora menghela nafasnya kecil, ia menatap ke arah tangan kanannya yang mendapatkan sedikit luka bakar dengan rasa kebas yang tidak kunjung hilang, luka yang ia dapatkan dari kekuatan sihir milik Anastasius.     “Tidurlah, Asta.”     Kegelapan langsung menyambut pandangan Anastasius. Ia membiarkan seluruh bobot tubuhnya di topang oleh Cenora. Dengan pelan, Cenora membawa Anastasius ke atas tempat tidur, membaringkan pemuda itu disana kemudian menyelimutinya.     Cenora tidak bisa menjawab pertanyaan yang dilontarkan oleh Anastasius. Baginya, dilindungi merupakan hal yang seharusnya tak pernah ia rasakan. Sejak ia kecil, Cenora telah di tuntut untuk menjadi tameng bagi orang lain, menanggung semua rasa sakit seorang diri tanpa harus di lindungi.     Dengan begitulah, Cenora menjalankan hidupnya. Menjadi sebuah senjata hidup tanpa perasaan.     ••     Rembulan yang sebelumnya menyinari langit malam, mulai tergantikan oleh sang mentari yang mampu menerangi kegelapan. Cahaya matahari menyeruak masuk kedalam kamar penginapan melalui sela gorden yang tidak ditutupi dengan benar semalam.     Sinar cahaya itu membuat Anastasius sedikit terganggu dan mulai membuka matanya perlahan.  Ia memegang kepalanya yang terasa sedikit sakit, mungkin efek dari serangan Cenora kemarin masih terasa sedikit.     Anastasius melirik ke arah sampingnya dan tak mendapati ada Cenora yang tertidur bersamanya. Anastasius hanya tertawa dalam hati, tentu Cenora tidak akan mau membagi tempat tidur bersama orang lain. Dan hal itu membuat perasaan Anastasius sedikit tak enak, ia memang tidak berencana untuk tidur di kasur kemarin. Namun nampaknya tubuhnya terlelap dengan sendirinya.     Pemuda itu bangkit untuk duduk diatas tempat tidur, manik peraknya mendapati sosok Cenora yang tengah meminum teh chamomile diatas sofa seraya memandang ke arah luar jendela.     “Nora, kamu tidak tidur lagi?” Tanya Anastasius seraya langsung berjalan ke arah Cenora.     Cenora mengangkat kepalanya agar bisa melihat wajah Anastasius yang sedang berdiri, “Tidak perlu. Lagipula, aku sudah beristirahat dengan cukup."     Anastasius menghela nafasnya, ia sangat kesal bila Cenora tidak mau memperhatikan kesehatan tubuhnya.     “Kamu harusnya tidur, Nora. Kamu bisa kelelahan.” Ujar Anastasius.     Cenora kembali menyesap tehnya, “Aku tidak bisa tidur, Asta.”     Anastasius duduk di sebelah Cenora, “Apa yang menyebabkanmu selalu tak bisa tidur?”     “Mimpiku buruk.”     Ketika Anastasius ingin membalas perkataannya, Cenora langsung bangkit dari atas sofa. Ia tidak ingin pembicaraan ini dibicarakan lebih lanjut, atau bisa dibilang Cenora tidak ingin Anastasius bertanya tentang mimpi buruk yang selalu Cenora lihat setiap ia memejamkan mata. Membuat wanita itu menjadi terlalu enggan untuk tidur setiap malam.     Mimpi buruk yang ia alami tidak lain merupakan kepingan kenangan masa lalu yang masih menghantuinya, seakan tidak ingin membiarkan Cenora untuk berjalan kedepan. Membiarkan wanita itu terus terbelenggu dengan seluruh kenangan tersebut. Dan Cenora tidak ingin Anastasius tahu tentang hal itu.     “Cuaca sedang baik hari ini. Sebaiknya kita segera bergegas ke Danau Perak.” Ujar Cenora.     “Nora, tentang mim—”     Cenora langsung memotong ucapan Anastasius, “Jangan membahasnya, Asta. Aku muak.”     Cenora keluar dari ruangan terlebih dahulu, meninggalkan Anastasius sendirian di dalam. Anastasius hanya menghela nafasnya, kemudian mengambil mantel yang ia letakkan diatas sofa. Anastasius membenci sifat Cenora yang selalu menolak orang lain untuk masuk kedalam masalahnya, ia sudah sangat terbiasa dengan Cenora yang akan menyelesaikan masalah seberat apapun sendirian. Tak membutuhkan orang lain untuk mengulurkan tangan mereka kepada Cenora.     Meskipun begitu, Anastasius akan selalu mencoba untuk menghancurkan pertahanan diri Cenora. Ia selalu ingin mengetahui hal yang terjadi di dalam isi kepala Cenora, memahami wanita itu.     Karena Anastasius, hanya ingin bisa menjadi tempat bersandar untuk Cenora.     Anastasius membuka pintu ruang penginapan, melangkah menuruni tangga menuju ke lantai dasar. Ia bisa melihat Cenora yang tengah berdiri di dekat pintu keluar seraya memegang bungkusan kertas berisi roti. Sepertinya itu merupakan roti pemberian dari pemilik penginapan yang telah jatuh hati kepada wajah Cenora.     “Lamban sekali.” Cercah Cenora.     “Maaf, aku habis merapihkan pakaianku.”     Cenora membuka pintu penginapan dan pergi keluar, “Ayo cepat pergi.”     Anastasius tersenyum kepada pemilik penginapan yang duduk dibalik meja resepsionisnya, “Penginapan anda sangat nyaman, Tuan. Semoga harimu menyenangkan.”     ••     Kuda hitam kembali melaju menyisir jalanan Wilayah Putih. Hanya membutuhkan waktu beberapa menit lagi sebelum sampai ke Danau Perak yang terletak di dalam Hutan Egda, hutan ini sendiri pun selalu memiliki rumor mengerikan yang beredar di masyarakat.     Hutan Egda memiliki pepohonan yang saling berdiri dengan rapat, membuat cahaya matahari akan sangat sulit untuk memasuki hutan tersebut. Karena itulah, pencahayaan di dalam Hutan Egda sangat buruk. Terlebih bila malam telah tiba, orang yang berada di dalam hutan ini akan merasa menjadi buta akibat sama sekali tidak ada penerangan.     Tentu saja hal itu menimbulkan banyaknya rumor yang bertebaran ke seluruh penjuru wilayah kerajaan di Dataran Nafandra. Seperti ada banyaknya siluman ganas yang akan memangsa manusia bila berada di Hutan Egda dalam jangka waktu yang lama atau rumor tentang adanya roh – roh jahat yang bisa membunuh manusia biasa.     Rumor yang tumbuh itu terkadang membuat para penyihir atau ksatria yang ingin mendapatkan Senjata Suci menjadi mengurungkan niatnya karena sudah terlalu takut untuk masuk kedalam Hutan Egda.     Cenora memakan roti panggang yang diberikan oleh pemilik penginapan sebelumnya, bisa dia akui kemampuan memasak koki di penginapan itu sangat baik hingga membuat Cenora mampu menghabiskan tiga buah roti dalam waktu singkat. Ia menyisakkan dua roti lainnya untuk Anastasius.     Sejak meninggalkan penginapan, baik Anastasius ataupun Cenora tidak ada yang memulai pembicaraan terlebih dahulu. Cenora tahu pasti bahwa Anastasius mungkin kesal dengan perilakunya, dan Cenora bisa memaklumi hal tersebut.     Bocah memang selalu emosional, begitu pikirnya.     Namun, keheningan itu akhirnya pecah disaat mereka sudah mencapai ke depan perbatasan antara hutan dengan kota.     “Hentikan kudanya. Kita harus berjalan kaki untuk ke danau perak.” Perintah Cenora.     Jalanan di dalam Hutan Egda tidak terlalu besar, ada banyak akar yang menjalar diatas tanah serta bebatuan. Sehingga akan sulit bila mereka berjalan menggunakan kuda.     Anastasius hanya mengangguk sebagai jawaban. Mereka berdua turun dari kuda hitam tersebut, kemudian Anastasius mengikat tali kekang kuda ke batang pohon. Masih terdapat banyak rumput liar di dekat area hutan, sehingga kuda itu bisa beristirahat seraya makan disana.     Cenora mengeluarkan cahaya api dari telapak tangannya agar bisa membantu mereka melihat di dalam Hutan Egda yang sulit mendapatkan cahaya. Mereka mulai memasuki wilayah hutan seraya memperhatikan langkah mereka agar tidak tersandung akar pohon yang mencuat ke atas tanah ataupun batu besar yang bersebaran di tanah.     Wajah Anastasius menampakkan ekspresi yang tidak terlalu baik, entah karena perilaku Cenora atau mungkin akibat khawatir tak bisa membawa senjata suci dari danau perak. Bagaimana pun juga, Anastasius masih belum terlalu yakin dengan kemampuannya.     “Asta, makanlah.” Cenora memberikan kantung kertas berisikan roti kepada Anastasius.     Anastasius menerima kantung tersebut, namun ia sedang tidak berminat untuk memakan sesuatu.     “Nora, Apa siluman di danau perak begitu kuat?”     Cenora tak menatap wajah Anastasius, ia tetap memandang ke arah depan untuk memperhatikan langkah di dalam hutan yang begitu sedikit mendapatkan cahaya matahari.     Setelah ada jeda cukup lama, Cenora menjawab, “Tergantung. Bila senjata kuat muncul untuk kamu ambil, maka siluman yang menjaga pun akan sangat kuat.”     “Mungkin bisa lebih kuat dari Galia.”     Anastasius kembali mereka ulang memorinya yang dilanda kesulitan dikala melawan Galia. Bila Cenora tidak bangun, mungkin ia bisa mati dilumat oleh Galia. Bila Galia saja sudah membuatnya sangat kewalahan, bukankah siluman yang lebih kuat dari Galia dapat membunuhnya dalam waktu singkat.     “Tenanglah. Mereka tidak akan membunuhmu, paling parah kau hanya akan di serang hingga tak bisa bangkit lagi.” Perkataan Cenora menambah kegugupan dalam diri Anastasius.     Pemuda itu menghela nafas, “Kalau ternyata mereka bisa membunuhku?”     Tanpa berfikir, Cenora langsung menjawab, “Aku akan membunuh mereka.”     Anastasius tertawa kecil, pada dasarnya pikiran Cenora sangatlah sederhana. Bila nyawa mereka terancam, Cenora hanya akan membuat pilihan dibunuh atau terbunuh. Dan hingga detik ini, tak pernah ada satupun musuh yang mampu menumbangkan Cenora.     “Kamu pernah bilang, mereka adalah ciptaan dari Dewa Xenos. Bukankah membunuh mereka akan mengundang kemarahan Dewa Xenos?”     Cenora mendecih, “Kau pikir aku perduli dengan para dewa? Mereka tidak berguna.”     ****     To Be Continued
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN