Petikan demi petikan pada dawai Lyra menghasilkan alunan melodi lembut yang mengalun di telinga. Melodi yang selalu menggema di kala fajar datang. Cenora memetik senar Lyra dengan perlahan seraya menatap ke arah luar jendela, menantikan matahari semakin naik ke atas langit untuk memberikan biasan cahaya kepada dunia.
Cenora memejamkan matanya sejenak, membiarkan jemarinya bergerak bebas diatas Lyra. Ia menikmati setiap petikan nada yang dihasilkan oleh alat musik tersebut, bagi semua orang permainan Lyra milik Cenora sudah bagaikan candu yang ingin mereka dengarkan setiap hari tanpa pernah bosan. Begitupun dengan Cenora, baginya melodi yang ia mainkan setiap pagi sudah seperti keharusan.
Suara pintu ruangan yang terbuka terdengar dari arah belakang Cenora. Lantai kayu berderit tatkala Anastasius berjalan diatasnya, melangkah ke arah dapur yang terletak tak jauh dari tempat Cenora duduk menatap ke luar jendela. Anastasius sudah terbiasa terbangun akibat suara permaiann Lyra yang Cenora mainkan, dan ia tak pernah keberatan akan hal itu. Suara musik yang dimainkan Cenora seakan membawa ketenangan di dalam pikirannya yang terkadang kacau.
Anastasius mengambil dua buah cangkir dari dalam rak penyimpanan. Kemudian menuang air mineral ke dalam teko aluminium dan meletakannya ke atas kompor yang di nyalakan. Sambil menunggu air mendidih, ia duduk diatas kursi meja makan seraya menatap ke arah Cenora yang masih larut dengan permainan Lyranya.
Cenora yang sebelumnya terpejam kemudian membuka mata dan menyelesaikan petikan terakhir diatas dawai dari Lyra. Manik emas miliknya mengarah ke arah Anastasius.
“Asta, aku mau roti panggang.” Pinta Cenora seraya merenggangkan tubuhnya.
Anastasius tersenyum, “Hm. Akan kubuatkan.”
Anastasius mengambil lembaran roti tawar yang terletak diatas meja. Ia mengoleskan mentega di roti, memanaskan minyak ke atas wajan penggorengan.
“Kemarin malam kamu tidak tidur?” Tanya Anastasius seraya meletakkan dua lembar roti tawar ke atas wajan.
“Tidak.”
Anastasius membalikkan tubuhnya ke arah Cenora, menatap wanita itu dengan sedikit kesal, “Kenapa? Sudah dua hari kamu tidak tidur.”
Cenora merenggangkan tangannya ke atas udara, “Tidak bisa tidur.”
“Nora, tetap saja kamu harus berusaha untuk tidur. Kamu bisa kelelahan.”
Cenora mendecih malas, “Bocah, berisik sekali. Tidak tidurpun juga tidak akan membuatku mati.”
Anastasius hanya menghela nafas panjang, enggan untuk berdebat lebih jauh dengan Cenora. Sudah berulang kali Anastasius mengingatkan Cenora untuk selalu menjaga kesehatan tubuhnya. Namun, tentu saja Cenora tetap tidak memperdulikan kesehatannya. Seperti bila tidak ada yang mengingatkan makan, maka ia juga akan jarang menyentuh makanan.
Karena itulah, Anastasius selalu berusaha untuk memasak makanan yang memiliki gizi tinggi dan tak pernah lupa mengingatkan Cenora untuk segera makan. Anastasius meletakkan dua buah roti panggang ke atas piring. Ia mengoleskan selai berry ke atas permukaan roti tersebut lalu menumpuknya menjadi satu.
Suara teko yang berbunyi sambil mengeluarkan uap menjadi tanda bahwa air telah mendidih. Anastasius segera mematikkan api. Menuangkan air panas tersebut kedalam dua cangkir yang telah diisi bubuk s**u dan teh hijau.
“Tambahkan madu.” Pinta Cenora.
Anastasius mengangguk singkat, ia menuangkan dua sendok madu kedalam s**u. Kemudian mengaduknya hingga tercampur dengan sempurna. Melihat makanan dan minuman telah selesai dibuat, Cenora duduk diatas kursi makan yang bersebrangan dengan Anastasius.
Tangan milik Cenora mengambil cangkir yang berisikan s**u. Ia meniup – niup kecil hingga uap panas diatas s**u mulai menghilang. Cenora bisa merasakan rasa manis menyapa lidahnya, membuat perasaannya lebih baik hari ini. Cenora sangat menyukai makanan manis ataupun minuman yang mengandung banyak gula. Ia bahkan bisa menghabiskan satu toples permen gula – gula dalam satu hari, oleh sebab itu Anastasius berhenti menyetok permen di rumah karena tidak ingin Cenora berlebihan mengkonsumsi gula.
“Asta, kau tidak punya permen?” Tanya Cenora sembari memotong – motong roti panggang miliknya menjadi potongan kecil.
Anastasius merogoh ke dalam saku bajunya, mengambil tiga buah permen yang kemarin telah ia beli seraya membelikan permen untuk anak – anak kota.
“Satu hari hanya tiga.” Ujar Anastasius, ia menyerahkan permen ke tangan Cenora.
Suara decihan kembali terdengar, “Pelit.”
“Nora, sudah berapa kali kukatakan terl—”
Ucapan Anastasius terhenti karena Cenora memasukkan potongan kecil roti kedalam mulut Anastasius.
“Bocah ini, selalu saja berisik.”
Cenora memakan sarapannya dengan suasana hati yang tidak terlalu baik. Tidak tidur sesungguhnya membuat Cenora seringkali memiliki sikap yang sensitif, terkadang ia bisa marah hanya karena hal kecil yang dilakukan oleh orang lain. Karena itulah, tidak berbicara sama sekali dengan orang lain adalah pilihan terbaik untuknya.
Sore ini, Cenora berencana untuk tidak tampil di alun – alun kota, ia sudah membuat janji dengan Anastasius untuk mengajarinya sihir agar kemampuan anak itu meningkat. Akan tetapi, ia tidak mungkin mengajari sihir di tempat terbuka seperti di Kota Kalla. Bagaimana pun juga, Cenora tidak ingin identitas mereka sampai terbongkar. Mau tidak mau, mereka harus keluar dari Kota Kalla dan mencari tempat yang lebih tenang.
“Nora, kemana kita harus pergi untuk berlatih?” Tanya Anastasius.
Cenora berfikir sejenak, awalnya ia berkeinginan untuk melatih Anastasius di Hutan Dyras. Banyak rumor mengatakan bahwa hutan itu memiliki banyak sekali siluman atau hewan buas, sangat cocok untuk bisa melatih kekuatan Anastasius. Namun letaknya terlalu dekat dengan perkotaan, ia tidak ingin sampai ada siluman ganas yang melarikan diri ke perkotaan.
Cenora mengetukkan jarinya keatas meja, “Bagaimana bila kita meninggalkan Kota Kalla sementara waktu?”
“Maksudmu kita tidak akan kembali dalam waktu dekat?”
Cenora mengangguk, “Pedangmu rusak. Kita harus pergi ke ‘Danau Perak’ untuk mencari senjata baru yang cocok untukmu.”
Anastasius membulatkan matanya, “Danau perak? Itu tidak mungkin. Aku tidak sehebat itu hingga bisa mendapatkan senjata disana.”
Cenora menatap Anastasius tajam, manik emasnya bersinar layaknya api yang membara, “Anastasius, sekali lagi aku mendengar sikap rendah dirimu itu. Akan kubakar kamu.”
Mendengar nada serius yang dilontarkan oleh Cenora, membuat Anastasius menundukkan kepalanya ke lantai. Ia tidak pernah merendahkan dirinya. Namun, kemampuan sekelas Anastasius mungkin tidak akan bisa mendapatkan senjata suci dari danau perak.
Danau perak merupakan sebuah tempat dimana ribuan senjata suci tenggelam di dasarnya. Senjata yang berada didalam danau tersebut bukanlah senjata biasa, semua senjata itu memiliki kekuatan yang tidak akan bisa ditemukan dibelahan dunia manapun.
Begitu banyak penyihir maupun ksatria yang pergi ke danau perak, namun sangat jarang ada manusia yang bisa mendapatkan senjata suci itu. Hanya beberapa orang terpilih saja yang bisa mendapatkannya, karena setiap senjata suci memiliki seorang siluman suci yang menjaga keberadaannya. Setiap senjata tersebut biasanya akan memunculkan diri ke permukaan danau bila mereka menemukan adanya tuan yang cocok.
Siluman penjaga biasanya akan menantang calon tuan tersebut. Bila orang yang terpilih gagal melawan siluman penjaga, maka senjata suci tersebut akan kembali tenggelam ke dasar danau. Karena itulah, meskipun ada senjata yang memilih orang yang datang kesana. Belum tentu orang yang terpilih dapat membawa senjata tersebut pulang.
“Cenora, tapi aku belum siap.” Lirih Anastasius.
“Setiap ksatria muda dan penyihir selalu antusias bila mereka pergi kesana. Tapi kamu malah bersikap seperti ini.” Ujar Cenora dengan nada yang ditinggikan.
“Tapi aku benar – benar terlalu lemah.”
Cenora menghela nafasnya, “Apa definisi kuat menurutmu?”
Keheningan menyambut mereka, Butuh beberapa waktu sampai Anastasius menjawab seraya menatap ke arah Cenora.
“Kamu.”
Cenora tertawa keras mendengar jawaban dari Anastasius, ia tidak menyangka anak itu akan mengeluarkan jawaban seperti itu. Jawaban paling tak masuk akal menurutnya. Namun di sisi lain, Anastasius tidak mengerti mengapa Cenora menganggap jawabannya sebagai lelucon. Karena bagi Anastasius, Cenora terlampau hebat hingga ia berfikir pasti tidak akan mungkin untuk melampaui kekuatan Cenora.
“Selama ini kamu menganggap dirimu lemah, karena kamu membandingkan dirimu denganku?”
Anastasius hanya mengangguk, merasa sedikit kesal karena Cenora tidak menganggap serius perkataannya.
Cenora menghentikkan tawanya, lalu tersenyum kecil, “Aku dan kamu berbeda Asta. Aku sudah berlatih sejak aku masih berumur lima tahun, dan telah melawan begitu banyak musuh selama ratusan tahun. Sedangkan kamu masih terlalu belia saat ini, tentu tidak mungkin sebanding denganku.
Namun, kekuatanmu tidaklah lemah. Kamu belajar lebih cepat dibanding anak seusiamu. Kamu bahkan berhasil menahan Galia ketika aku tak sadarkan diri, penyihir atau ksatria muda seusiamu tidak akan pernah sanggup menahan Galia. Mereka pasti akan mati sebelum aku bangun.”
“Tidak. Bila kamu saat itu tidak kunjung sadarkan diri, aku pasti akan segera mati terbunuh.”
Cenora, “Kamu tidak akan mati, Asta”
Anastasius tidak mengerti, “Kenapa?”
“Karena aku pasti akan bangun. Bagaimanapun caranya.”
Bila seseorang mendengar perkataan Cenora, mereka pasti akan menganggap ia merupakan orang yang begitu tinggi hati hingga berkata seolah ia bisa melakukan apapun dengan kekuatan yang Cenora mikiki. Akan tetapi, Anastasius sangat tahu bahwa omongan Cenora tidak pernah menjadi sebuah bualan. Meskipun Cenora memiliki sifat dingin yang kebanyakan orang akan menganggapnya arogan, Anastasius selalu bisa melihat sisi kepribadian Cenora yang tak pernah orang lain perhatikan.
Cenora selalu melindunginya, dan hal itu selalu membuat perasaan Anastasius menghangat. Ia tidak pernah memiliki seseorang yang membuatnya merasa aman di dunia ini, di dalam memorinya, Anastasius telah ditinggalkan oleh kedua orang tuanya di jalanan seorang diri sejak ia berumur sepuluh tahun. Mengais sampah demi mendapatkan makanan atau tidur di atas emperan toko.
Bila seandainya Cenora tidak memungutnya ketika ia berumur tiga belas tahun, Anastasius yakin ia pasti sudah mati kelaparan di jalanan saat ini, dan tak akan pernah bisa menikmati keindahan hidup.
Anastasius sebelumnya sudah bertekad untuk bisa menjadi sosok yang tak perlu dilindungi, oleh karena itu ia sudah memantapkan hatinya untuk pergi ke Danau Perak. Bisa atau tidaknya ia mendapatkan senjata suci, biarlah waktu yang menjawab.
“Baiklah, aku akan pergi ke Danau Perak.” Ujar Anastasius dengan antusias.
Cenora merasa puas dengan perkataan Anastasius, “Tak maupun. Kau tetap akan ku seret kesana.”
••••
Danau Perak terletak di dekat wilayah Kerajaan Cassiopeia yang merupakan kerajaan bagian utara. Perjalanan untuk sampai kesana akan memakan waktu tiga hari dari Kota Kalla dengan menggunakan kuda.
Oleh sebab itu, kini tengah Cenora melihat ke setiap kandang kuda di peternakan milik Tuan Vadlan. Ia sedang mencari kuda terbaik dan memiliki stamina yang kuat.
“Lihatlah. Ini adalah kuda terbaik milik kami, ia mampu berlari paling cepat diantara yang lain.” Tuan Vadlan menunjuk ke arah seekor kuda berwarna hitam.
Cenora mulai tertarik melihat kuda tersebut, warna hitam juga tidak akan terlihat mencolok bila ingin berjalan di malam hari.
“Berapa harganya?”
“Seratus koin emas.”
Cenora mengerutkan keningnya, “Seratus? Tidakkah itu terlalu mahal.”
Tuan Vadlan langsung menggeleng cepat, “Ini adalah kuda terbaik milik kami. Biasanya harga kuda ini bisa mencapai 150 koin emas.”
“enam puluh koin emas.”
“Nona Cenora. Maaf, tapi kuda ini tidak bisa ditawar lagi.”
“Penawaran terakhir. Delapan puluh koin emas. Terima atau tidak?” Tawar Cenora lagi.
Tuan Vadlan mulai berkeringat, ia ingin menolak namun juga sangat jarang menemukan pelanggan yang bisa membeli kuda diatas lima puluh koin emas. Terpaksa akhirnya ia menyetujui harga tersebut, sangat sulit menolak menolak Cenora ketika wanita itu menatapnya seakan hendak melubangi kepala Tuan Vadlan.
“Baiklah. Delapan puluh koin emas.”
Cenora langsung tersenyum, kemudian mengambil koin emas dari kantung uangnya. Tuan Vadlan menyerahkan kudanya dengan enggan, namun melihat senyuman Cenora yang seindah berlian mampu membuat perasaannya lebih baik.
Tali kekang kuda tersebut ditarik oleh Cenora keluar dari peternakan. Ia berjalan menuju ke arah Anastasius yang sedang menunggu seraya bersandar di pagar peternakan. Pemuda itu sedikit terkejut tatkala melihat Cenora hanya membawa satu kuda.
“Kamu hanya membeli satu?”
Cenora, “Untuk apa beli dua?”
Anastasius menggaruk tengkuknya yang tak gatal, “Tapi bukankah itu agak tidak nyaman buatmu?”
Cenora menyerahkan tali kekang kuda tersebut kepada Anastasius, “Aku tidak bisa menunggang kuda.”
“Ah benarkah? Aku tidak tahu.”
Menurut Anastasius itu adalah hal mengejutkan, selama ini ia melihar Cenora begitu sempurna sehingga tidak menyangka jika wanita itu tidak bisa menunggangi kuda. Sedangkan Anastasius bisa mahir dalam berkuda karena Tuan Vadlan pernah mengajarinya ketika Anastasius terkadang membantu Tuan Vadlan membersihkan kandang kuda.
Cenora menaiki kuda terlebih dahulu lalu mengulurkan tangannya kepada Anastasius, “Naiklah.”
Anastasius menerima uluran tangan dari Cenora, ia duduk di belakang Cenora. Menjadi penahan agar Cenora tidak terjatuh dari kuda. Anastasius menghentakkan tali kekang, membuat kuda itu mulai berjalan. Mereka menelusuri jalanan Kota Kalla, Anastasius menyapa setiap orang yang ia lewati.
Nyonya Beryl yang tengah menjaga toko buahnya, langsung keluar toko tatkala melihat Anastasius dan Cenora melewati tokonya. Ia memegang keranjang yang dipenuhi oleh apel merah segar.
“Nona Cenora, tunggu sebentar!” Teriak Nyonya Beryl ke arah Cenora. Anastasius reflek langsung menghentikkan kudanya. Cenora melihat ke arah Nyonya Beryl yang sudah ada disamping kuda.
Nyonya Beryl menyerahkan sekeranjang apel kepada Cenora, “Terimalah, ini sebagai terima kasihku karena telah menyelamatkan Anni.”
Cenora menatap Nyonya Beryl dalam, “Aku tidak melakukan apapun.”
Senyuman hangat menghiasi wajah Nyonya Beryl, “Meskipun begitu, aku tetap ingin berterima kasih.”
Tatapan milik Nyonya Beryl seakan telah mengetahui sesuatu, dan Cenora bisa merasakan hal tersebut.
“Baiklah. Aku akan menerimanya.” Cenora mengambil sekeranjang apel yang diserahkan oleh Nyonya Beryl.
Ketika Cenora menunduk, ia membisikkan sesuatu di telinga Nyonya Beryl yang hanya bisa didengar oleh mereka berdua, bahkan Anastasius tak bisa mendengar hal tersebut. Setelah mendengar perkataan Cenora, Nyonya Beryl hanya tersenyum cerah kemudian mengangguk pelan.
Setelah membisikkan hal tersebut, Cenora menatap ke arah depan tanpa memperdulikan Nyonya Beryl kembali.
“Jalan.” Ujar Cenora.
Anastasius tersenyum kepada Nyonya Beryl sebelum kembali menjalankan kuda. Nyonya Beryl menundukkan kepalanya sebagai penghormatan kepada mereka berdua.
Kuda berpacu dengan cepat, melewati sepanjang jalan Kota Kalla yang mulai ramai oleh penduduk yang hendak berjualan di siang hari. Para penduduk saling berbisik melihat Cenora dan Anastasius berpergian dengan kuda, menandakan bahwa mereka akan pergi jauh dari Kota Kalla.
Banyak yang menyayangkan hal tersebut, karena para lelaki telah menantikan pertunjukkan yang biasa disajikan oleh Cenora setiap senja mulai menjelang.
Hanya butuh waktu beberapa menit dengan kuda untuk keluar dari Kota Kalla. Mereka harus menuju ke pusat kota wilayah kerajaan Oretha agar bisa keluar dari pintu gerbang kerajaan. Setidaknya butuh waktu sekitar dua jam untuk sampai ke pusat kota, karena Kota Kalla terletak di wilayah terjauh dari pusat kota.
Cuaca hari ini tidak terlalu buruk, sinar matahari tidak terlalu memancarkan panas yang terik karena musim akan segera berganti ke musim gugur. Dimana suhu perlahan akan mulai merangkak turun.
Pembicaraan Cenora dengan Nyonya Beryl membuat Anastasius penasaran. Awalnya, ia berusaha untuk tidak menunjukannya dan menunggu Cenora bercerita. Namun, ternyata rasa penasarannya membumbung begitu tinggi hingga ia tak bisa menahannya lagi.
“Nora.” Panggil Anastasius ragu.
“Hm.”
“Apa yang kamu katakan ke Nyonya Beryl tadi?”
Cenora mengangkat kepalanya ke atas langit, “Hujan sepertinya akan turun.”
Seperti biasa, Cenora pasti akan mengalihkan topik pembicaraan bila tidak ingin menjawab.
“Kamu mengalihkan pembicaraan, Nora.”
Pandangan Cenora masih ke atas langit, kemudian ia berujar dengan pelan, “Suatu saat kamu akan tahu.”