TPS, 10

2151 Kata
Rupanya Nasafi tidak main-main dengan ucapannya karena setelah Candra memberitahukan nomor rekeningnya, dia benar-benar mentransfer semua bonus senilai lima puluh juta itu pada Candra. Candra hanya bisa menerimanya, mau bagaimana lagi … dia tahu segila dan senekat apa Nasafi setelah kejadian yang menimpa mereka kemarin. Jika sudah memutuskan sesuatu maka itulah yang akan dia lakukan. Sekeraskepala itulah seorang Nasafi, Candra mulai memahami kerakter temannya itu.  Sesuai rencana, hari ini Candra berniat untuk melancarkan pembalasannya pada orang-orang yang selalu menyakitinya di dunia nyata. Orang pertama yang menjadi incaran pembalasannya adalah dia … seorang gadis yang sempat menempati posisi penting di hati Candra, tidak lain merupakan mantan kekasihnya, Eliza.  Dia menemukan gadis itu sedang berkumpul bersama teman-temannya di kantin kampus karena saat ini memang jam istirahat siang sedang berlangsung sehingga sudah bisa dia tebak gadis itu pasti ada di sana. Tebakannya tepat ketika kini dia dengan mudah menemukan gadis itu menempati salah satu meja.  Eliza sedang tertawa riang bersama teman-temannya dan melihat hal itu entah kenapa membuat Candra kesal bukan main. Demi bisa melancarkan pembalasannya, dia pun berjalan menghampiri meja yang ditempati Eliza dan teman-temannya.  “Hai, Eliza,” sapa Candra, tentu saja hanya basa-basi.  Eliza mendelik tajam, terlihat tak suka melihat kedatangan Candra padahal dengan jelas dan tegas dia sudah memberitahu pria itu agar tidak mendekatinya lagi saat dia memutuskan hubungan mereka beberapa hari yang lalu.  Tatapan kedua gadis lain yang merupakan teman baik Eliza terlihat menyiratkan ketidaksukaan dan mungkin perasaan jijik karena mereka tahu betul siapa ibu Candra yang dijuluki sebagai w************n perusak rumah tangga orang lain.  “Boleh aku bergabung bersama kalian?” tanya Candra sembari menatap satu per satu ketiga gadis itu.  Karena tak mendapat respons mereka, dengan lancang Candra mendudukkan diri di kursi yang masih kosong.  “Candra, siapa yang mengizinkanmu duduk di sana?!” Yang membentak tentu saja Eliza, hanya dia yang begitu berani memarahi Candra selantang ini di depan umum. Mungkin gadis itu juga sedang menunjukan pada semua orang yang sedang berada di kantin bahwa tak ada hubungan apa pun lagi di antara mereka. Status mereka hanya mantan kekasih sekarang.  “Tadi aku sudah meminta izin tapi kalian diam saja. Jadi, ya, aku pikir kalian mengizinkan aku bergabung di sini.” “Jangan gila! Pergi kamu dari sini. Kami tidak sudi satu meja denganmu,” tambah Eliza masih dengan nada suara seketus sebelumnya.  Candra menyeringai, tak terlihat terintimidasi sedikitpun. “Kamu ini kenapa di depan banyak orang kasar begini? Padahal saat kita berduaan, kamu begitu manja dan agresif,” katanya seraya mengedipkan sebelah mata.  Seketika terdengar suara bisik-bisik dari orang-orang di kantin, Eliza menyadari dia dan Candra yang sedang diperbincangkan dan penyebabnya adalah Candra yang sudah bicara sembarangan.  “Jaga bicaramu, ya, kita berdua sudah putus, Candra!” “Siapa yang putus? Aku tidak merasa hubungan kita sudah berakhir. Kamu ini kenapa, Eliza? Padahal semalam baru bersenang-senang denganku, kenapa sekarang marah-marah begini? Kamu sedang bersandiwara di depan orang-orang atau bagaimana? Jangan begini, Sayang. Toh, semua orang sudah tahu kita ini pasangan kekasih.”  Eliza tampak geram, dia bangkit berdiri dan menggebrak meja cukup kencang membuat kedua temannya berjengit kaget atas tindakannya yang mendadak ini, berbeda dengan Candra yang semakin memperlihatkan seringaian lebar karena puas sekali berhasil membuat Eliza marah dan malu.  “Apa maksudmu bicara begitu, Candra? Kita memang sudah putus. Sudah lama, lebih tepatnya satu minggu yang lalu. Sekarang kita tidak ada hubungan apa-apa lagi. Bahkan aku sudah bilang tidak ingin mengenalmu lagi karena sekarang aku muak dan jijik padamu!” bentak Eliza dengan napas terengah-engah karena sekuat tenaga tengah menahan amarahnya pada Candra.  “Sudahlah, Eliza. Jangan bersandiwara begitu di depan orang-orang. Aku capek mengikuti keinginanmu untuk membohongi semua orang kalau kita sudah putus padahal sebenarnya belum. Bahkan semalam kita masih menghabiskan malam yang panas dan menyenangkan bersama.” Candra kembali mengedipkan sebelah mata, berbanding terbalik dengan Eliza yang sedang tercengang karena seorang Candra yang dia pacari hampir satu tahun itu dulu bukan tipe pria yang akan berkata seperti ini. Dulu Candra adalah pria sopan yang untuk memegang tangannya saja meminta izin padanya.  “Oh, iya. Aku ke sini ingin memberikan uang yang kamu minta semalam.” Candra ikut bangkit berdiri, merogoh dompetnya dari saku celana, dia mengeluarkan beberapa lembar uang dan menyerahkannya pada Eliza.  Karena Eliza hanya diam sambil tercengang melihat banyak uang di tangan Candra yang diulurkan padanya, Candra pun mengambil salah satu tangan gadis itu, menengadahkannya dan meletakan sejumlah uang itu di telapak tangannya.  “Bayaran untukmu karena semalam sudah memuaskanku berjam-jam di ranjang. Terima kasih, Sayang. Nanti malam tolong layani aku lagi, ya. Aku sepertinya kecanduan tubuh indah dan seksi milikmu. Aku tunggu di rumahku seperti biasa. Jam delapan malam. Akan aku berikan uang lebih banyak lagi dari ini jika malam nanti permainanmu sehebat semalam.”  Eliza masih diam mematung di tempat bahkan ketika Candra tiba-tiba mendaratkan ciuman di bibirnya, pria itu juga begitu berani mendekatkan mulut ke telinganya dan berbisik, “Uang itu … anggap saja aku mengembalikan uang yang dulu kamu berikan padaku. Sepuluh juta, sudah cukup, kan, untuk mengganti uang sumbangan yang kamu berikan untukku? Kalau kurang, hubungi saja aku, akan kuberikan uang berapa pun seperti yang kamu minta.”  Candra menjauhkan diri, menggulirkan mata ke sekeliling untuk melihat reaksi semua orang atas tindakannya ini, dia menyeringai puas begitu melihat semua orang terkejut bukan main karena perbuatan kasarnya yang secara tidak langsung telah melecehkan Eliza.  “Sampai ketemu nanti malam, Sayang. Bye …”  Candra pun melenggang pergi setelah itu, berjalan meninggalkan kantin kampus sambil memasukan tangan ke dalam saku celana. Sudah puas karena berhasil mempermalukan mantan kekasihnya di depan banyak orang.   ***   Seperti biasa jika di jam istirahat kuliah, Candra menghabiskan waktunya sendirian di taman belakang yang sepi dan jarang didatangi mahasiswa lain. Dia sedang duduk di bawah pohon biasanya dia duduk, mengusap-usap dadanya yang berdetak kencang setelah insiden di kantin barusan. Sebenarnya Candra begitu gugup saat mempermalukan Eliza di depan umum. Hanya saja rasa sakit hatinya di masa lalu karena gadis itu, telah membuatnya nekat melakukan itu semua. Sekarang dia puas karena sudah mempermalukan Eliza, gadis itu pasti merasakan sakit hati yang sama seperti yang dirasakan Candra ketika diputuskan secara sepihak olehnya.  Candra memejakan mata, selain untuk menenangkan kembali detak jantungnya, juga untuk lebih menikmati semilir angin sejuk yang membelai wajah dan rambutnya. Namun, suasana menyenangkan itu tak bertahan lama ketika Candra merasakan seseorang tiba-tiba menendang kakinya dengan kasar.  “Woi, bangun!”  Suara itu … walaupun Candra tak membuka mata, dia tahu persis siapa pemiliknya. Siapa lagi jika bukan preman di kampus itu yang selalu saja mengganggunya setiap hari. Begitu membuka mata, benar saja dugaan Candra. Dia menatap malas ketiga pria yang menyebut dirinya sebagai preman kampus, kini sedang mengelilingi dirinya.  “Mau apa kalian?” tanyanya.  Namun, alih-alih mendapatkan jawaban, yang Candra dapatkan adalah ketiga pria itu tertawa lantang karena menertawakan pertanyaannya.  “Kamu bodoh atau bagaimana? Masih bertanya padahal seharusnya sudah tahu apa yang kami inginkan darimu. Cepat berikan uangmu pada kami. Harus lebih banyak dari biasanya karena sudah beberapa hari ini kamu bolos kuliah.”  Candra tak menampik perkataan mereka karena nyatanya memang demikian. Terlalu bersemangat mengikuti event berburu NPC di TPS, dia sampai lupa log out untuk menjalani kehidupannya yang berat dan menyakitkan di dunia nyata. Bagi Candra, TPS sudah menjadi dunia barunya yang menyenangkan. Dia lebih senang menghabiskan waktu di dunia itu dibandingkan di sini, di dunia nyata yang memberikannya banyak penderitaan.  “Kamu sengaja bolos kuliah karena ingin kabur dari kami, ya? Cih, jangan harap kamu bisa kabur dari kami. Sampai ke neraka pun, kami pasti akan mengejarmu.”  Kini gantian ketiga pria itu yang tertegun dan saling berpandangan karena mendengar Candra dengan berani menertawakan mereka.  “Kamu menertawakan kami, hah?!” tanya pemimpin para preman itu sambil mencengkeram kerah kemaja yang dikenakan Candra.  Candra yang mereka kenal merupakan pria pengecut yang akan memohon ampun jika sudah dibentak dan diperlakukan kasar seperti ini, tapi keanehan mereka rasakan ketika alih-alih memohon ampun dengan berurai air mata seperti biasa, Candra justru sedang terkekeh, masih mencemooh mereka seolah tak kenal rasa takut. Di mana si pengecut Candra yang mereka kenal dulu?  Mereka semakin dibuat tercengang ketika Candra dengan berani balas mencengkeram kerah jaket yang dikenakan si pemimpin preman kampus itu. “Aku bolos kuliah atau tidak, bukan urusan kalian. Dan apa tadi kalian bilang? Kalian meminta uang padaku?” Candra mendecih bahkan meludah sehingga air liurnya tepat mengenai wajah sang pemimpin preman kampus, membuat ketiga pria itu terbelalak kaget melihat keberanian Candra.  “Aku bukan Bank berjalan yang bisa kalian mintai uang setiap hari,” tambah Candra sambil melayangkan tatapan luar biasa tajam pada mereka bertiga.  “Kurangajar! Berani kamu melawan kami!” Si pemimpin preman kampus melepaskan cengkeraman tangannya pada kerah kemeja Candra karena kini dia beralih mengepalkan tangan berniat meninju wajah Candra yang berada tepat di depannya dalam jarak yang sangat dekat.  Sayangnya sebelum kepalan tangannya mendarat di wajah Candra, pria itu terbelalak ketika gerakan tangan Candra jauh lebih cepat darinya, dia mengeluarkan sesuatu dari belakang punggung yang diselipkan pada celana jeans, sebuah benda yang jika pelatuknya ditarik maka mereka akan tewas detik itu juga. Ya, Candra menodongkan pistol tepat ke kening pelontos sang pemimpin preman kampus itu. Dua pria lain berteriak histeris melihat Candra akan membunuh pemimpin mereka.  “Berani kamu memukulku maka peluru pistol ini akan bersarang di kepalamu,” ancam Candra yang sukses mengintimidasi ketiga pria itu terutama pemimpin mereka, terlihat dari pelipisnya yang mulai banjir peluh, juga sorot mata yang terlihat ketakutan.  “M-Maafkan aku, Candra. A-Aku hanya bercanda tadi.” “Bercanda? Jadi selama ini kalian selalu memaksa minta uang padaku dan memukuliku sampai babak belur karena kalian menganggapnya sebagai candaan? Kalau begitu aku akan menembak kalian bertiga dan aku juga akan menganggap itu sebagai candaan.”  “J-Jangan, Candra. Jangan menembak kami. Kami minta maaf.” “Benar, Can. Maaf untuk semua perbuatan kami padamu dulu.”  Dua pria yang lain detik itu juga memohon ampun pada Candra. Namun, Candra belum puas jika mengingat betapa tersiksa dan menderita dirinya dulu karena ulah ketiga preman kampus itu. “Aku akan memaafkan kalian dan mengurungkan niat untuk menembak kalian dengan satu syarat.” “Apa syaratnya? Katakan saja, Can, pasti akan kami penuhi.” Kali ini yang merespons adalah si pemimpin preman kampus yang wajahnya sudah banjir keringat dan tubuhnya gemetaran karena takut bukan main Candra benar-benar akan menembak kepalanya.  “Aku akan mengampuni kalian dengan syarat, kalian harus berlari mengelilingi lapangan basket di depan kampus sebanyak dua puluh putaran.”  Mereka tersenyum sumringah, merasa persyaratan dari Candra begitu mudah untuk dilakukan. Tentu dengan senang hati mereka akan menerimanya daripada mereka mati di tangan Candra yang terlalu berani sampai membawa senjata tajam ke kampus.  “Baik, akan kami lakukan seperti yang kamu katakan. Kami akan lari sebanyak dua puluh putaran di lapangan basket kampus,” jawab salah satu dari ketiga pria itu.  “Jadi kalian setuju dengan syaratku? Kalian yakin tidak akan menyesal?” “Kami yakin,” sahut mereka dengan serempak. Candra menyeringai, “Baik, aku setuju untuk melepaskan kalian. Tapi yang kumaksud kalian harus lari dua puluh putaran itu dengan kondisi telanjang bulat, ya. Kalian lepaskan semua pakaian yang melekat di tubuh kalian.”  Detik itu juga mereka terbelalak, karena tadi Candra tak berkata demikian.  “Apa? Tidak mungkin kami bisa melakukan itu. Berlari sambil telanjang, itu terlalu memalukan.” “Oh, jadi kalian menolak? Kalau begitu bersiaplah untuk mati.” Candra berniat menarik pelatuk pistol yang masih menempel di kening sang pemimpin preman kampus.  “Baik, baik, Candra. Kami akan melakukan seperti yang kamu minta. Kami akan lari dengan telanjang. Kami setuju!” teriak sang pemimpin histeris karena benar-benar ketakutan Candra akan menembak kepalanya.  “Bagus. Kalau begitu lakukan sekarang selagi waktu istirahat masih tersisa. Ingat, dua puluh putaran sambil telanjang. Kalau kalian berani melaporkanku pada pihak kampus, apalagi berani memberitahu mereka … aku membawa pistol ke kampus maka bersiaplah, kalian benar-benar akan aku tembak tanpa ampun.”  “Kami tidak akan menceritakan ini pada siapa pun, kami janji, Candra.” “Kalau begitu cepat kalian penuhi persyaratanku tadi. Aku akan mengawasi kalian dari jauh. Satu putaran saja kurang maka aku tidak akan segan-segan menembak kalian dari jauh. Percayalah kemampuan menembakku cukup bagus.”  Mereka bergidik ngeri dengan serempak. Ketika Candra menjauhkan pistol dari kepala sang pemimpin preman kampus, mereka bertiga bergegas berlari menuju lapangan basket untuk memenuhi persyaratan yang diberikan Candra.  Hal yang terjadi tak lama kemudian adalah suasana kampus yang ramai dan heboh karena ada tiga preman yang begitu ditakuti seantero kampus kini sedang berlarian di lapangan basket yang begitu panas karena teriknya sinar matahari dalam kondisi telanjang tanpa sehelai kain pun menutupi tubuh mereka.  Dari kejauhan Candra mengawasi mereka, sembari menyeringai lebar dia berkata, “Padahal pistol itu hanya mainan. Mengaku preman kampus tapi membedakan pistol asli dan palsu saja mereka tidak bisa.”  Dia pun melangkah pergi karena tidak berminat mengikuti mata kuliah selanjutnya. Ada hal lain yang lebih menarik minatnya yang harus dia lakukan sekarang juga.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN