***
"Ini salah, Kak. Perasaanmu salah." ucap Caroline sambil menarik tangan kanannya dari dalam genggaman tangan hangat Gabriel.
"Apanya yang salah, Carol?"
"Perasaanmu yang salah. Perasaan dan rasa cintamu yang salah, Kak."
Gabriel menggeleng pelan. "Tidak ada yang salah dengan ini semua, termasuk perasaanku padamu."
"Kita ini saudara, Kak Gabriel."
"Tetapi kita tidak sekandung, Carol! Harus berapa kali aku menjelaskannya padamu? Kita hanya saudara sepupu, lalu apanya yang salah!" sepertinya Gabriel mulai tersulut emosi.
"Tapi nyatanya, Dad tidak setuju dengan perasaanmu untukku." ucap Caroline sendu. Gadis itu menarik pandangan dari Gabriel, lalu menunduk menatap kedua tangan yang menyatu di atas paha.
Masih dengan tatapan lekatnya, Gabriel membawa sebelah tangan dan menarik lembut dagu runcing Caroline. Membawa wajah cantik itu kedepan wajahnya.
"Kali ini, aku tidak peduli dengan ketidaksetujuan, Dad. Aku hanya peduli dengan perasaanku, Carol." ucap Gabriel terdengar serak di pendengaran Caroline.
"Itu artinya kamu egois."
Gabriel mengangguk pelan. "Aku egois karena aku mencintaimu. Semakin aku berusaha menerima keputusan Dad yang terus menolakku, perasaan ini semakin kuat. Lalu, jika sudah seperti ini, aku bisa apa, Carol?"
Caroline menatap sendu. Sungguh, sebenarnya ia tidak tega melihat Gabriel seperti ini. Namun mau bagaimana lagi, selain dia belum yakin dengan perasaannya terhadap Gabriel, ia juga memikirkan perasaan Ayahnya. Morgan Grey Blaxton.
Caroline tidak ingin mengecewakan pria yang sangat amat disayanginya itu. Sang Ayah telah menjodohkannya dengan teman masa kecilnya, Axel Beatrice Addison, yang tidak lain adalah putra dari teman baik Ayahnya.
Menurut Caroline, tidak ada yang buruk dari Axel, pria itu tampan, baik, cerdas dan yang terpenting, Axel mencintainya.
"Sudahlah, Kak. Aku tidak mau membahas soalan ini lagi. Dan lagipula, aku sudah dijodohkan dengan Axel, jadi percuma kalau kamu terus memaksakan diri seperti ini." ucap Caroline.
"Kau bahagia dengan perjodohan ini?" tanya Gabriel.
Sebelum menjawab, Caroline menarik pandangannya dari Gabriel dan kembali menunduk. "Iya. Aku bahagia."
Gabriel terkekeh muak saat mendengar jawaban gadis itu. "Bahkan untuk menjawab pertanyaanku saja, kau harus menundukan pandanganmu. Kenapa, Carol? Kau tidak sanggup melihat wajahku karena kau sadar kalau saat ini kau sedang membohongi diri sendiri?"
Lantas, Caroline kembali menoleh ke samping kanan menatap Gabriel. "Kata siapa aku membohongi diriku sendiri?" ia bangkit dari duduknya dan berdiri di depan pria itu.
"Axel adalah temanku sejak kami masih kecil. Tidak ada yang kurang dari Axel! Dia mencintaiku dan…," sejenak, Caroline menjeda kalimatnya. "Aku pasti bisa mencintainya suatu saat nanti."
Gabriel menatap Caroline dengan tatapan tajam. Bahkan kedua rahang tegasnya semakin mengetat kuat saat mendengar gadis itu memuji pria lain didepannya.
Gabriel bangkit dari duduknya dan berdiri didepan Caroline. "Sekarang aku tanya, bagaimana perasaanmu andai aku memilih Clarissa dan menikahinya?"
Deg!
Tubuh Caroline sontak menegang. Rasa tidak rela tiba-tiba menyeruak begitu saja dalam hatinya ketika mendengar langsung kalau Gabriel akan menggantikan posisinya dengan Kakak kembarnya. Clarissa.
"Aku menunggu jawabanmu, Carol."
Kedua mata Caroline mulai berkaca-kaca bersamaan dengan bibir yang bergetar.
"Aku tidak peduli mau siapapun perempuan yang akan kamu pilih." ucapnya, namun dengan nada yang bergetar.
Gabriel mengangguk pelan beberapa kali. "Baiklah kalau begitu. Aku doakan, semoga kelak kau tidak akan menyesali keputusanmu." ucapnya kemudian mendekat mengikis jarak antara dirinya dengan gadis itu.
Caroline berdiri mematung dan refleks memejamkan kedua mata saat kecupan hangat Gabriel mendarat di atas kening.
"Satu hal yang harus kamu tahu. Aku sangat mencintaimu, Caroline." bisik Gabriel.
Kemudian pria itu melangkah pergi meninggalkan Caroline yang saat ini mulai meneteskan air matanya.
"Aku tidak mau Dad kecewa. Aku juga tidak yakin dengan perasaanku, Kak." gumamnya sambil terisak.
***