***
Pemakaman Umum…
Gabriel meletakan tiga buket bunga diatas masing-masing ketiga kuburan orang tercintanya, yang tidak lain adalah sang Great-grandpa dan kedua Great-grandmanya. Ia melepas kacamata hitam yang bertengger di hidung mancungnya.
"Aku datang, Great-grandpa. Aku datang membawa kabar, kalau hari ini Caroline akan menikah." Gabriel terkekeh pelan.
Ia kembali melanjutkan. "Rupanya perjodohan itu benar-benar terlaksana. Tapi Great-grandpa, kau tidak perlu bersedih, karena aku tidak akan menyerah. Sesuai dengan apa yang pernah kau ingatkan dulu kepadaku."
["Jika kau menginginkan sesuatu, maka kejarlah sampai kau mendapatkannya. Jangan pernah menyerah. Mau bagaimanapun, kau adalah bagian penting dari Blaxton, Nak. Jangan kecewakan Great-grandpa dengan cara kau memilih pasrah lalu menyerah. Kalau kau mencintai Caroline, maka perjuangkan dia. Jika sudah waktunya, maka bawalah dia pergi bersamamu."]
Gabriel tersenyum ketika mengingat kembali kalimat yang pernah diucapkan oleh mendiang sang Great-grandpa, Mark Blaxton.
°°°
Hari ini seharusnya menjadi hari besar dan penuh kebahagiaan bagi keluarga Blaxton. Namun rupanya yang nampak di wajah mereka bukanlah raut bahagia, melainkan kesedihan. Terutama wanita paruh baya yang memiliki nama Celine Catherine Brich, istri dari Morgan Blaxton.
Celine menatap iba sekaligus khawatir pada putri bungsunya, Caroline. Hari ini, putrinya itu akan resmi dipersunting oleh lelaki pilihan suaminya. Namun Celine sangat mengerti bahwasanya sang putri tidak benar-benar menginginkan pernikahan ini terjadi.
Sebagai seorang ibu yang sangat amat dekat dengan putrinya, Celine tentu tahu bahwasanya Caroline tidak mencintai pria yang sebentar lagi akan resmi menjadi menantu pertamanya itu.
"Mom…," panggil seorang pemuda.
Celine menoleh setelah mengusap asal jejak air matanya di atas pipi. Ia mengulas senyum saat melihat kehadiran putra sulungnya. Lucas Spencer Blaxton, berusia 23 tahun.
"Nak…?"
Lucas mengecup lembut kening ibunya, kemudian menatap lekat wajah yang masih terlihat cantik. Ia tahu jika wanita ini habis menangis.
"Caroline akan baik-baik saja, Mom." ucapnya pelan.
"Kenapa Daddy mu tega sekali? Adikmu masih muda, Nak. Bahkan kau saja belum menikah. Tapi…," Celine tak sanggup
melanjutkan kalimatnya. Suaranya bergetar, tenggorokan seakan tercekat.
"Masalahnya, Carol tidak mau menolaknya, Mom. Sedangkan Dad, dia sudah memberi pilihan padanya, namun Carol tetap saja menyanggupinya. Lalu apalagi yang bisa kita lakukan?"
"Kamu tidak bisa bawa adikmu pergi?" tanya Celine.
"Bisa, Mom. Masalahnya, Caroline tidak mau." jawab Lucas.
"Ya Tuhan…," gumam Celine pelan semakin mengkhawatirkan kelanjutan masa depan putrinya.
Calon menantunya memang pria yang baik. Mereka sudah saling mengenal cukup lama. Hanya saja yang menjadi permasalahannya adalah, Caroline tidak benar-benar mencintai calon suaminya, Axel.
Sejenak, Lucas mendesah pelan. Sungguh, ia tidak tega melihat ibunya seperti ini.
'Bersabarlah, Mom. Aku yakin, setelah ini kau pasti akan tersenyum bahagia.' batin Lucas penuh makna.
°
Sedangkan di dalam ruangan lain, tepatnya di ruang khusus untuk Caroline, disana gadis itu duduk dengan perasaan gugup. Usai di hias oleh beberapa MUA dan memastikan penampilannya sempurna.
Tubuh ramping nan seksi dibaluti oleh gaun putih berhiaskan butiran berlian di bagian depannya, sehingga menampakkan kesan mewah dan elegan di tubuhnya.
Sebentar lagi acara pemberkatan akan segera dimulai. Dan itu artinya ia akan resmi menjadi milik Axel sepenuhnya.
Apakah ia benar-benar siap?
Entah, Caroline bingung. Saat ini, ia malah sibuk memikirkan pria lain.
Ditengah lamunanya, tiba-tiba pintu ruangan terbuka. Caroline tersentak kaget dan menatap ke arah pintu. Rupanya itu adalah Kakaknya, Lucas.
"Hey…," seru pemuda itu sambil mengulas senyum di wajahnya yang datar.
Caroline mengulurkan kedua tangan, agar sang kakak agar mendekat. Caroline langsung memeluk pinggang Lucas dan menempelkan wajahnya di d**a bidang pemuda itu.
"Kak Gabriel datang?" tanya Caroline bergumam pelan.
"Tidak. Dia sedang diluar kota." jawab Lucas.
Caroline menjauhkan wajahnya dari sana, kemudian mengurai pelukannya dan menatap lekat wajah kakaknya.
"Luar kota? Kapan dia kesana?" tanyanya dengan kening berkerut. Tampak jelas di kedua matanya tersirat kekecewaan.
"Semalam." jawab Lucas.
Caroline menarik pandangan dari Lucas, kemudian menunduk lemah. Entah kenapa, tiba-tiba perasaan kecewa lantas menyeruak dalam hatinya saat tahu Gabriel tidak akan datang di hari pernikahannya.
Caroline bersedih, kecewa, marah, campur aduk menjadi satu.
"Sebegitu tidak pentingnya acara ini, sampai-sampai dia tidak mau hadir dan memilih mementingkan urusan pribadinya." gumamnya pelan dengan suara bergetar.
"Memangnya apa yang kau harapkan andai dia datang?" tanya Lucas.
Caroline mendongak beralih menatap kakaknya.
"Melihatmu dinikahi pria lain, hanya akan menyakiti perasaannya. Jadi, keputusannya untuk tidak hadir di acara ini sudah tepat. Jangan egois, Caroline. Kau tidak akan mengerti betapa sakitnya perasaan Gabriel saat ini." ucap Lucas.
Lewat ekor matanya, Lucas menyadari jika di celah pintu, seseorang sedang menguping pembicaraan dengan Caroline.
"Apakah sekarang kamu juga menyalahkanku? Kamu kecewa padaku, Kak?" tanya Caroline.
Lucas menggeleng pelan. "Tentu saja tidak. Ini adalah mutlak keputusanmu. Tidak ada satupun orang yang memaksamu. Kamu sudah mengambil keputusan dan itu artinya kamu bahagia dengan jalan hidupmu yang seperti ini. So…? Apalagi yang harus membuatku kecewa padamu? Asalkan kamu bahagia, maka kami semua akan turut bahagia."
Lucas menarik lembut bahu polos adiknya dan memeluknya hangat. Sedangkan sosok yang barusan mengintip di balik pintu, pun melenggang pergi dari sana.
'Gabriel tidak datang, kau sudah pasti senang sekarang, Dad.' batin Lucas sambil terkekeh pelan dalam hati.
°
Sedangkan di luar, hampir semua tamu undangan sudah hadir. Disana, dua keluarga besar Blaxton dan Addison tampak saling menyambut dengan hangat. Meskipun pernikahan ini di terjadi karena perjodohan, namun hubungan mereka tampak baik-baik saja.
Mungkin karena Morgan sudah sangat lama mengenal keluarga Addison. Mereka juga sama-sama memiliki kisah dimasa lalu. Ditambah lagi, mereka menjalin kerjasama sudah sejak lama. Tepatnya sejak anak-anak mereka masih kecil.
Itulah yang membuat Morgan yakin kalau Axel adalah pilihan yang tepat untuk putrinya. Selain tampan dan mapan, Axel juga dikenal santun dan sangat menghargai orang tua. Seperti itulah sifat Axel yang terlihat dimata Morgan.
"Morgan, apakah semuanya sudah siap?" tanya sang ayah. Jordhan Blaxton.
Morgan mengangguk pelan. "Sudah, Dad." jawabnya singkat.
Sekali lagi, Morgan kembali mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru arah, memperhatikan para tamu undangan. Sejauh ini, kondisi aman terkendali. Diluar gedung ini, pun sudah diawasi oleh puluhan bodyguard demi keamanan.
"Dad, Caroline sudah siap." ujar Lucas tiba-tiba sudah berdiri menjulang di samping ayahnya.
Morgan mengangguk pelan. Ia pun bergegas menuju ruangan sang putri untuk menjemput. Sedangkan di atas altar, mempelai pria tampak sudah siap.
Setelah MC membuka acara, para tamu undangan sudah berbaris dengan rapi, begitupun dengan keluarga utama yang berada di baris paling depan. Mereka semua bersiap-siap menyambut pengantin wanita diatas altar.
°
"Cantik sekali." puji Morgan pada putrinya. Saat ini ia berada didalam ruangan putrinya.
Caroline mengulas senyum. "Terima kasih, Dad."
Morgan menatap lekat wajah cantik putrinya. Meskipun gadis itu sedang mengulas senyum lebar, tetapi tampak jelas kesedihan terpancar di kedua matanya.
"Nak, boleh Dad bertanya sekali lagi?" tanya Morgan.
Caroline mengangguk pelan. "Boleh, Dad."
"Kamu sudah yakin dengan keputusanmu?"
'Aku tidak yakin, Dad. Tapi apa yang bisa kulakukan selain pasrah? Jikapun sekarang aku nekat membatalkan semua ini, kamu pasti akan menanggung malu dan aku tidak mau itu terjadi, Dad. Hubungan baik mu dengan keluarga Addison juga pasti akan hancur. Tidak. Aku tidak akan melakukan itu, Dad.' batin Caroline dalam diam.
"Aku yakin, Dad. Sangat yakin." jawanya kemudian.
Caroline membawa tangannya memeluk lengan kokoh ayahnya. "Aku sudah siap. Sekarang adalah tugas Dad untuk mengantarkan aku kepada Axel."
Morgan mengangguk pelan. Kemudian mereka keluar dari ruangan itu menuju altar.
Menit berlalu…
Dibelakang Caroline dan Morgan ada beberapa bridesmaid. Mereka membantu memperhatikan gaun Caroline yang menjuntai di atas lantai.
Sorot cahaya mulai diarahkan pada Caroline dan Morgan. langkah keduanya diiringi oleh suara terompet. Hingga tak berselang lama, Morgan dan Caroline berhenti tepat di hadapan Axel.
Setelah menyerahkan sang putri kepada Axel, Morgan pun bergegas turun meninggalkan altar dan menyisakan Caroline, Axel dan pastor.
Meskipun wajah Caroline ditutupi oleh veil, tetapi Axel sangat yakin jika calon istrinya sudah pasti sangat cantik sekali. Dengan wajah polos tanpa polesan make up saja, Caroline sangat cantik, apalagi setelah dipoles.
Pastor mendekat dan berdiri di antara mereka berdua. Saat sang Pastor hendak membuka suara, tiba-tiba pencahayaan ruangan pun padam seketika. Tak ada satupun lampu yang menyala, semuanya padam tanpa tersisa dan ruangan menjadi gelap gulita.
Para tamu undangan mulai panik. Sedangkan sosok misterius itu bergegas naik ke atas altar dan membawa sang pengantin wanita pergi dari sana tanpa disadari oleh satu orang pun.
"Jangan memberontak. Ini aku, Carol. Tenang dan tidur lah." bisik suara itu sambil membekap hidung mancung Caroline menggunakan sapu tangan yang sudah dikasih obat bius. Sehingga membuat Caroline tak mampu menahan kedua mata yang mulai terasa berat.
***