Kuala Lumpur -- Malaysia
••Sesungguhnya kami adalah milik Allah, dan sungguh hanya kepada-Nya kami akan kembali. Ya Allah, karuniakanlah padaku pahala dalam musibah yang menimpaku dan berilah aku ganti yang lebih baik daripadanya.••
Ujian dan setiap musibahnya semua datangnya dari Allah. Tidakkah semua makhluk memang akan kembali kepadaNya?
Allah ingin menegurmu dengan jelas, bahwa tiada tempat untuk meminta pertolongan selain kepadaNya. Tiada siapapun yang mengampuni segala dosamu, selain Dia.. Kita lemah dan tak berdaya. Dan selalunya kita luput bahwa setiap manusia akan mendapatkan ujiannya.
Melihat ayah terbaring lemah tak bergerak, membuatku nyaris menyalahkan Tuhan. Aku hampir menjadi hilang akal hanya karena diberikan ujian dariNya.
••Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: ‘Kami Telah beriman’, sedang mereka tidak diuji lagi? [al-‘Ankabût/29:2]••
Ya Allah..
Ternyata empat tahun aku menimba ilmu, aku tetap menjadi insan yang bodoh. Insan yang tak memahami arti kehidupan yang Engkau ciptakan. Insan yang kurang bersyukur dan kufur nikmat. Insan yang sulit berpasrah menerima segala cobaan. Padahal setiap napas, detak jantung, aliran darah serta pikiran itu semua adalah karunia yang tak ternilai yang Engkau berikan.
Aku ridho...
"Aku ridho ya Allah. Atas semua ujian ini. Angkatlah penyakit ayahku, ya Rabb. Engkau maha penyembuh. Dan engkau maha pengampun dosa."
••Dan sesungguhnya kami benar-benar akan menguji kamu agar kami mengetahui orang-orang yang berjihad dan yang bersabar di antara kamu, dan agar kami menyatakan (baik buruknya) hal ihwalmu [Muhammad/47:31]••
"Aisha..Asiha. Bangun sayang —"
Sulit sekali bagiku untuk beranjak dari sisi ayah yang masih terbaring lemah dengan alat medis yang menempel hampir di seluruh tubuhnya.
Kalau saja bunda tak memanggilku untuk melaksanakan shalat dzuhur, aku tak ingin bergerak seincipun dari sini.
Aku takut terlepas dengan tangan ayah yang mulai bengkak itu.
Aku takut terlepas dari senyum ayah yang selalu menghiasiku.
Aku takut. Aku teramat takut kehilangan ayah.
"Kamu shalat dulu, biar bunda yang jagain sebentar."
Aku cuma bisa pasrah saat genggaman ini terlepas. Panggilan sang Khalik tak bisa diabaikan meski dalam keadaan kalut seperti ini. Tapi percuma.. karena hati dan pikiran ini mulai kehilangan kekhusyukannya.
Akankah Allah mendengar doaku jika pikiranku terus berprasangka buruk dengan keadaan ayah yang tengah koma itu?
Ya Allah..
"Kak? Kakak nggak apa-apa?" tanya Mirza yang bahkan entah sejak kapan sudah berada di sampingku membantuku berdiri.
"Kakak keliatan pucet banget, Bun —"
"Nggak apa-apa. Kakak kuat kok," jawabku semenyakinkan mungkin. Padahal aku tak tahu apakah bisa berjalan dengan kaki bergetar seperti ini.
"Mirza anterin ke musalah?" tawarnya.
Aku menolak dan memintanya untuk tetap di kamar. Menemani bunda yang mungkin membutuhkan sesuatu. Mirza diam saja namun tak menolak apa yang aku pinta. Dan akupun bisa beranjak dengan langkah yang tegap menuju musalah. Insyah Allah.
Baru beberapa langkah keluar dari kamar, aku dikejutkan dengan suara perdebatan kecil di tikungan lorong. Suara yang tak asing bagiku. Dan begitu aku mengamati seseorang yang berada di atas kursi roda, baru lah aku yakin dengan dua orang di belakangnya. Dengan si pemilik suara nyaring tersebut.
"Makcik Zaenab —" sapaku.
Yang kusapa mengeryit bingung, "Awak ni siapa?"
Aku beralih pada orang tua yang sudah lama tak kutemui. Jangankan beliau, orang tuaku sendiri pun jarang aku temui. Mungkin jika beliau mengenaliku, ia akan langsung memarahiku dan tak ingin bicara denganku.
"Nenek!" seru Mirza. Membuat nenek terharu mendengar Mirza memanggilnya.
"Bunda kamu mana?"
"Di dalam nek —"
"Awak ni...Aisha?" terka pakcik Ridwan, adik ayah.
Aku mengangguk pelan dan langsung mendapat sindiran dari makcik yang kupanggil tadi.
"Aisha? Ooh ponakan aku yang alim sangat itu ye?"
"Apa awak cakap ni?" tegur pakcik Ridwan yang juga mendapat dukungan dari nenek yang tertegun melihat penampilanku dari ujung kaki hingga ujung kepala.
Aku bersimpuh di hadapan nenek dengan terlebih dulu meminta salim padanya. Aku pikir nenek akan menolaknya, namun setelah aku memanggilnya, beliau pun menyambut genggaman tanganku sambil mengusap airmataku.
"Ya Allah Aisha. Cucu nenek —"
"Maafin Aisha nek. Jarang ketemu nenek —"
"Bukan jarang lagi —" sindir makcik Zaenab yang kini melenggang angkuh masuk ke dalam kamar. Tapi sebelum benar-benar masuk, ia bergumam lagi, "— tapi memang tak erti adab."
"Jangan dengarkan makcikmu itu!" bela nenek. Beliau sekarang tersenyum tipis setelah puas memelukku.
"Masuklah nek. Aisha nak shalat dzuhur dulu."
Nenek mengangguk makfum lalu membiarkanku pergi melaksanakan kewajibanku.
Bersama pakcik Ridwan yang entah kenapa tiba-tiba menjadi gugup setelah melihatku.
.
.
"Apa yang awak cakapkan ne? Awak ni yang pantas pegang jabatan sementara itu?"
"Tapi kak..anak abang kan ada?"
Perdebatan keduanya terdengar jelas olehku yang baru saja selesai shalat. Aku tak ingin ikut campur dalam perdebatan mereka tapi keadaan memaksaku untuk berhenti karena makcik Zaenab memanggilku.
"Hei Aisha. Sini kejap."
Pakcik berusaha sekali mencegahku menghampiri makcik, tapi aku tak berkeinginan untuk mengelak dari bibiku itu, "Kak..tak baik cakapkan hal ini awal-awal —"
Makcik Zaenab menatap pakcik dengan nyalang. Benar-benar tatapan yang siapapun tak ingin disanggah.
Makcik Zaenab adalah adik ayah. Beliau seorang janda beranak satu yang kesehariannya sekarang adalah mengurus nenek. Perangainya memang galak sekali. Jarang tersenyum dan suka sekali mengatakan apapun tanpa memikirkan perasaan orang lain. Ada cerita dari saudara-saudara, kalau makcik diceraikan pun karena perangainya itu. Dan selama beliau merawat nenek, segala kebutuhannya dipenuhi oleh ayah.
Lalu pakcik Ridwan adalah adik bungsu. Setahuku belum menikah. Sudah dua kali gagal menikah yang menyebabkan dia masih melajang di umurnya yang hampir menginjak usia tiga puluh lima tahun itu. Kata ayah, pakcik sedikit suka hura-hura dan pemalas. Karena itu, ayah tak pernah mau mengajaknya bekerja sama. Tentu saja karena perangainya itu.
Dan sekarang, makcik malah membahas tentang perusahaan ayah yang belum mendapatkan pengganti karena keadaan ayah yang masih koma. Yang makcik takutkan, mereka tak punya penghasilan untuk kebutuhan sehari-hari. Ditambah perusahaan ayah yang siap-siap saja di akuisisi oleh rekan bisnisnya.
"Awak tak kisah kan? Pakcik kamu bisa diandalkan —"
"Aisha nggak bisa ambil keputusan gitu aja, makcik."
"Jadi maksud awak nak perusahaan itu kosong tanpa ada yang handle? Darimana pemasukan jika tak ada abang Azis?"
"Kak..ini masanya belum tepat —"
"Tak tepat macam mane? Tak tengok ke abang kita tuh dah sekarat? Bila-bila masa boleh pergi —"
Mendidih kepalaku mendengar makcik berkata seperti itu. Aku yang mencoba untuk menenangkan diri pun akhirnya tak bisa menerima ucapannya dengan menghentikan perdebatannya dengan pakcik Ridwan.Emosiku tetap membuncah, walaupun sudah beristighfar banyak kali.
"Stop! Makcik please! Boleh tak jangan bicarakan ini dulu?" kesalku. Yang ditanggapi dengan pandangan tak percaya mendengarku bisa bersuara lantang di hadapan mereka.
Aku baru akan beranjak masuk ke kamar hingga sebuah suara kembali menginterupsiku. Kali ini bisik-bisik yang datangnya juga dari tikungan lorong.
Aku ingin menghindar tapi tetap tak membuatku melakukan hal itu. Ayah dan anak itu melangkah mantap menuju kamar inap ayah setelah mereka saling bertegur sapa dengan pakcik Ridwan.
"Stewart, apa kabar?" tanya pakcik yang menyambut mereka dengan ramah.
Aku tetap di tempat sambil terus menunduk berusaha untuk tidak bersitatap dengan pemuda yang om Stewart bawa. Tapi percuma. Pakcik malah memanggilku unttuk memberi salam kepada keduanya.
"Aisha, ini om Stewart. Awak masih ingat lagi kan?"
Deg!
Seperti dugaanku.
Pemuda itu menatapku tanpa sedikitpun mengerlipkan matanya. Mungkin tengah memindai penampilanku yang sungguh telah berubah di matanya.
Dan dari matanya itu, aku bisa menangkap rasa penasaran yang membuatnya menahan diri untuk tak mengatakan sesuatu. Begitu pula denganku..
"Calvin —"
.
.
bersambung