SEDIKIT LEBIH DEKAT

1076 Kata
Rasa sayang yang kutulis dalam tetesan air mata ini dengan diam jernihnya selalu menatapmu. Selalu ada yang tak diceritakan, langit kepada hujan. Entah pagi bersambut kabut, Atau mendung yang bikin murung. Waktu menguji kita dengan perpisahan, jarak menguji kita dengan rindu, dan air mata adalah hujan yang ikhlas jatuh di d**a masing masing. Serupa gelombang lautan, cinta datang saat kau diam, lalu tiba-tiba hilang saat kau kejar. ~ Cinta bisa memberikan cahaya Pada mata yang sekalipun buta Cinta juga bisa jadi petaka Meski pada orang yang di surga Ah, biarlah …Cinta tak butuh kata-kata. Aku membiarkanmu menikmati fase-fase tersulit dalam menahan rindu, maka izinkan aku mewujudkan mimpimu untuk mengalami fase terindah untuk melepas rindu. ~ Gemelisik daun kering menyadarkanku bahwa semestamu bukanlah aku. Kerontang daun terseret angin melebur menjadi luka hatiku. Setelah tidak dengannya, aku akan selalu mencoba untuk tetap baik-baik saja, sebab aku percaya perasaan itu datang tanpa direncanakan, dan pasti juga akan hilang tanpa direncanakan. ~ Tak semudah itu merangkai kata. Jika pun sudah terangkai bibir tak bisa semudah itu mengatakannya. Dan masih terlalu rumit untuk di jelaskan. Diamku adalah mencintaimu. ( samlaga.com ) "Maksudnya?" Aku pura-pura tak mendengar apa yang Adam katakan. Karna aku takut anganku terlalu tinggi kepadanya. Selama tiga tahun ini, aku tak tahu perasaan ini semakin dalam padanya. Hanya karena sebuah kecelakaan kecil yang sebabkan duniaku berubah lewat sudut pandangnya. Bagaimana ia mencintai keluarganya. Bagaimana ia begitu mencintai KalamNya. Dan bagaimana ia memuliakan pandangannya. "Maksudnya?" Dia mengulang ucapanku. Aku mengigit bibir tanda penasaran. Wajah secerah mentarinya itu sukses menembus jantungku yang kian was-was. Gelisah ketika suatu hari nanti aku akan terus bermunajat untuk menjadikannya milikku yang halal. Ya Allah. Kenapa cinta begitu membingungkan? Dikala seseorang sama-sama saling tertarik atau bahkan mencintai, semua terasa transparan dan seperti takkan ada keraguan di dalamnya. Bagaimana jatuh cinta itu bisa membuat kita senyum-senyum sendiri. Bagaimana jatuh cinta bisa membuat semua miliknya adalah hak milik. Bagaimana jatuh cinta sungguh bergejolak. Pantas sekiranya dulu Calvin begitu kecewa terhadapku. Menjauhkan cinta yang ia pendam padaku sekian lama. Calvin.. Mungkin begitu lah hari-harimu saat aku berada di dekatmu. Menahan debaran yang tak kuketahui. Merasakan berbunga-bunga walau kita hanya saling berbagi cerita. Merasakan getir saat aku tolak dirimu kasar. Calvin..aku harap cinta tak melukaimu terlalu dalam. ( Kilas Balik ) "Kerja sekolah sudah siap?" Calvin menoreh senyum miringnya lalu memamerkan dua buku tebalnya padaku. Aku mencebik karena kalah lagi dengannya hari itu. Kalah dalam permainan siapa cepat menyelesaikan tugas sekolah. Sebagai hukuman, aku harus turuti kemauannya dalam sehari. "Baka (bodoh) jom kita keluar —" ajaknya sedikit memaksa. "Nak pergi mana malam-malam gini?" Calvin malah menyeringai, "Ikut je lah. Awak kan dah kalah." (Ikut saja! kamu kan sudah kalah.) Aku pasrah saja dan langsung memintanya menunggu sebentar untuk mengganti pakaian. Calvin mengendikkan bahu acuh lalu kembali asik memainkan gawainya. Hari itu Calvin datang berkunjung beralasan untuk belajar bersama. Padahal sebenarnya, kami selalu punya ide untuk kabur lewat pintu belakang pergi keliling kota hingga larut malam. Ayah dan bunda tak pernah mencurigai kami. Itu sebabnya, hampir setiap hari setelah menyelesaikan pekerjaan rumah, kami akan keluar walau sebentar saja untuk menikmati masa muda. Kebiasaan yang buruk. Hingga aku tersadar bahwa semua itu salah. Walau Calvin pemuda yang bisa melindungiku dan tak pernah merusakku, harusnya aku sadar bahwa perhatian Calvin itu telah pun berubah menjadi cinta. Bukan lagi teman sepermainan seperti dulu. "Jom!" ( Ayo ) "Aisha —" panggilnya. Dan aku menoleh saat ia menatapku lekat. Aku tak tahu apa arti tatapan Calvin saat itu. Yang jelas, Calvin mendekat lalu merapikan jilbabku sambil tersenyum. "Kenapa kat rumah, awak tak pakai pakaian macam ni?" (Kenapa di rumah kamu tidak mengenakan jilbab?) Aku mengeryit, "Kenapa tiba-tiba cakap macam tu?" Calvin menggeleng cepat. Dengan tak lupa menekan hidungku yang tak semancung miliknya. "Tak de lah. Nak tahu je —" "Sebab dalam rumah semua mahramku," jawabku sekenanya. "Saya kan bukan —" jawabnya yang membuatku berada di titik balik kekosongan dan perubahan dalam diriku saat itu. (Kilas balik selesai) "Ukhti? Kamu melamun?" tegur Adam yang masih setia berdiri di tempatnya. Aku terkesiap begitu bel panjang menginterupsi keheningan. Apalagi, seketika itu aku kembali lagi mengingat Calvin. Belakangan ini..kenapa aku terus teringat dia? Setelah nyari empat tahun. "Saya pamit dulu, asaalamualaikum!" Aku tak sempat berpamitan secara pantas karena lupa akan syariat. Adam hanya mampu melihatku dari kejauhan karena tak kuasa untuk mengejar langkahku yang kian cepat. Aku harap Adam tak membenci sikapku ini. Karena sepintas, aku liat raut wajahnya berubah redup. . . "Shadaqallahul adzim." "Aisha —" bisik Hafsah yang seperti segan memanggilku. Aku menaik turunkan alis untuk menanggapi panggilannya itu. "Tau nggak?" "Nggak —" sanggahku. Hafsah mengerucutkan bibir kesal. Ck. Lucu sekali sahabatku ini jika merajuk. Dia akan beraut wajah lucu hingga aku tak sanggup untuk mengabaikannya. "Aku kan belum selesai ngomong," gerutunya. "Iya. Iya. Ada apa?" Hafsah menutup mushafnya lalu mulai lagi melanjutkan ceritanya. Aku bisa tebak, Hafsah tengah ingin bergosip. "Tadi kan aku denger sendiri kalau ada santri yang liat ustad Adam diam-diam ketemuan sama santriwati!" Aku mendelik. Wajahku memanas. Bibirku terkunci rapat mendengar penuturannya. Entah kenapa, perasaan ini menjadi gelisah, takut kalau - kalau santriwati itu orang yang Adam suka? Atau.. "Mungkin ustadzah kali —" Mata Hafsah membulat. Menyangkal telak ucapanku tadi, "Bukaaaan. Mereka keukeuh kalau itu murid kok. Tapi kan.." "Tapi apa?" giliranku yang antusias. Melihat itu, Hafsah jadi semakin semangat untuk bercerita. "Tapi..ustad Adam ditinggalin gitu aja sama santriwati itu. Kayaknya cinta ustad Adam bertepuk sebelah tangan deh." Eh..ini kan — "Maksud kamu..ustad Adam dicuekin gitu sama santriwati itu?" Hafsah mengangguk semangat sekali. Aku mulai menduga-duga. Jangan-jangan yang Hafsah ceritakan ini tentang aku dan Adam sore tadi. "Jadi kasihan liat ustad Adam. Ternyata biarpun ganteng tetap ada yang nolak dia." "Hussh. Jangan omongin urusan orang. Belum tentu itu benar," sanggahku lagi. Hafsah tetap saja menyunggingkan senyum. Seolah senang sekali melihat ustad Adam terguncang. Apalagi ini memang berita besar. Jangan-jangan, esok malah lebih banyak gosip yang beredar. Aku harus apa jika mereka mulai menyelidiki santriwati itu yang ternyata adalah aku? "Bisa jadi sih nggak bener. Karena aku juga dengar kalau ustad Adam kan mau dijodohin. Jadi mana mungkin dia berani deketin — "Dijodohin?" Lagi..aku bertanya karena aku takut salah dengar. Jika sore tadi aku bertanya lagi karena pura-pura tak dengar dan takut salah tingkah, kali ini aku sendiri tak tahu harus lakukan apa selain menekan dadaku sendiri karena rasa perih dan gelisah yang tak terkendali. Aku pikir, kami sedikit lebih dekat. Tapi ternyata...ini awal dari hubungan kami yang harus dijauhkan. . . bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN