Bagaimana aku harus menahan debaran ini?
Bagaimana aku bisa meluapkan perasaan yang tersambut ini?
Subhanallah. Begitu indah rahmatMu. Begitu besarnya cintamu. Engkau menciptakan seorang Adam yang menyejukkan hati. Seorang Adam yang santun budinya. Seorang Adam yang akan menjadi pembimbingku kelak. Teman sejati menuju JannahMu.
Insyah Allah..
Insyah Allah.
Dia sudah berkata. Maka perasaan ini tersambut. Nikmat Tuhan Mana lagi yang kau dustakan?
Aku pun akan menyiapkan diri untuk menjadi pantas. Aku juga ingin seperti Fatimmah Az-zahra yang memasrahkan diri kepada sang Khalik atas tentang hati yang siap melaksanakan sunnahNya.
Insyah Allah.
"Assalamualai—"
Aku terkejut dengan seseorang yang menelangkupkan kepalanya ke atas meja. Menangis terseduh dengan suara yang cukup lirih. Saat aku yakin kalau tak salah masuk kamar, aku menghampiri sosok itu yang tadi sepertinya menjawab salamku walau terpotong.
Hafsah. Dia Hafsah.
"Hafsah?"
Gadis itu mengangkat kepala tanpa menoleh kepadaku. Di atas meja belajarnya terdapat banyak sekali kertas dan tisu. Aku mengelus kedua pundaknya untuk menenangkannya.
Tapi sepertinya Hafsah terganggu dengan perlakuanku itu.
"Ada apa Hafsah?" tanyaku pelan-pelan.
Hafsah terdengar hanya menarik napas dalam-dalam lalu bangkit dari tempat duduknya. Dan ia masih tak ingin kulihat wajahnya.
"Maaf Aisha. Aku meninggalkanmu tadi," jawabnya yang masih sedikit terisak.
"Hmm nggak apa-apa. Tapi Hafsah, sebenarnya kamu kenapa?"
"Aku nggak apa-apa," jawabnya cepat.
Sesedih itukah dia sampai tak ingin berbagi cerita apapun denganku? Padahal, Hafsah selalu menjadi teman pendengar gundah gulanaku. Baik suka maupun duka. Tapi kenapa saat sesuatu terjadi padanya, aku tak bisa melakukan apapun? Dan dia bahkan menutupinya dariku.
Apa sebenarnya persahabatan ini?
"Aku cuma mau menenangkan diri. Jangan khawatir. Aku mau pergi setor hapalan. Sampai nanti."
Hafsah melengos pergi tanpa membiarkanku sedikitpun untuk mencegahnya. Saat dia tergesa-gesa pergi, dari dalam lipatan bukunya, keluar satu buah amplop yang jatuh ke lantai.
Aku langsung mengutipnya lalu bergegas mengejar Hafsah yang ternyata sudah pergi jauh.
Dari balik amplop tersebut, terselip kertas dengan tulisan miring yang indah. Dan entah dorongan dari mana, aku membaca surat tersebut tanpa seijin Hafsah.
Kangen
Kau tak akan mengerti
Bagaimana kesepianku
Menghadapi kemerdekaan tanpa cinta
Kau tak akan mengerti
Segala lukaku
Karena luka telah sembunyikan pisaunya
Membayangkan wajahmu adalah siksa.
Kesepian adalah ketakutan dalam kelumpuhan.
Engkau telah menjadi racun dalam darahku.
Apabila aku dalam kangen
Dan sepi itulah berarti..
Aku tungku tanpa api.
"Dari pengagummu. Hafsah Faqihatun."
.
.
Dari selepas ashar, Hafsah belum kembali. Sekarang sudah lewat waktu tahfidz dan Hafsah juga tak tampak di sana. Aku khawatir dengan keadaannya. Aku tahu ada yang tak beres dengannya sore tadi.
"Assalamualaikum, Diva."
Salamku pada Diva, teman sekamar Hafsah dulu.
"Waalaikum sa—lam?"
"Aisha," jawabku. Karena aku tahu dia sedang menerka siapa perempuan bercadar yg tengah di hadapannya kini.
Sebagi informasi, tidak semua santriwati bercadar sepertiku. Pakai ataupun tidak itu adalah pilihan masing-masing. Aku memilih untuk mengenakan niqob sedangkan Hafsah tidak. Tidak masalah asalkan pakaian kami benar-benar mengusung unsur syar'i dengan mengenakan khimar paling pendek menutupi tangan dengan gamis tanpa kerutan sampai ke mata kaki. Jadi tak heran jika Diva menerka siapa aku. Apalagu tang berniqob juga mulai bertambah.
"Oh Aisha! Ada apa?"
"Maaf mengganggu kajianmu —"
Diva menggeleng cepat. Diva sedikit memberiku ruang untuk duduk di sampingnya. Namun terpaksa aku tolak karena sedang terburu-buru.
"Hafsah?" tanya Diva balik. Ia mencoba mengingat - ingat tapi jawabannya tetap sama. Dia tak melihatnya.
"Maaf Aisha. Aku tidak melihatnya hari ini. Mungkin dia ada di perpustakaan?"
Oh iya! Kenapa tidak terpikirkan olehku tempat itu? Hafsah kan suka membaca. Kelebihan dari ponpes ini ialah mereka memiliki perpustakaan yang begitu besar. Buku dan kitab sangat lengkap di sana. Untuk menambah ilmu, beberapa n****+ juga terpajang di perpustakaan yang diberi nama Kalam itu.
Perpustakaan Kalam buka selama 24 jam. Karena buku di sana tak boleh dibawa keluar kawasan perpus, maka kebijakan untuk belajar semalam suntuk juga diperbolehkan di sana.
Dan terkadang Hafsah suka menghabiskan waktu di perpustakaan jika ia merasa buntu ataupun sulit tidur di malam hari.
Semoga saja Hafsah benar-benar ada di sana.
"Terima kasih Diva. Semoga saja Hafsah ada di sana."
"Sama-sama," balasnya.
Dan aku pamit segera menuju ke perpustakaan yang jaraknya kurang lebih tiga ratus meter dari asrama Diva tadi.
Beberapa langkah lagi aku akan sampai di gerbang perpus, sosok yang tak asing membuatku berhenti sejenak.
Dia.
Malam ini sama terangnya seperti rembulan yang bersinar cerah. Tawa dengan gigi ginsulnya mampu menghalau siapa saja yang melewatinya untuk sedikit terpana sejenak.
Dan aku..begitu gugup hanya karena akan dilewati olehnya?
Astaga Aisha. Kamu terlalu lebay!
Aku memilih berjalan seperti biasa seolah ia takkan melirikku. Lagi pula ini malam hari. Dan aku mengenakan cadar. Banyak yang berpenampilan sama sepertiku. Mana mungkin dia akan menyadari bahwa itu aku?
Sambil bersenda gurau dengan temannya, Adam melangkah santai melewatiku. Aroma malaikat subuhnya mampu meninggalkan jejak padahal sudah berjalan beberapa meter.
Seperti yang kurencanakan di awal, bahwa Adam pasti tidak akan mengenaliku. Maka aku pun berjalan penuh dengan percaya diri melewatinya agar segera bergegas memastikan bahwa Hafsah ada di dalam sana.
Tapi..beberapa meter lagi aku akan menuju perpustakaan, seseorang memanggilku karena berpikir barangku ada yang terjatuh.
"Maaf ukhti —"
Suara itu...
"— kuncimu terjatuh."
Yasalam. Suara itu dari Adam. Aku terpaksa menoleh dan dia menatapku bingung. Mungkin karena terlalu gugup, akupun membuat reaksi yang membuatnya curiga.
Adam mulai melihatku dengan instens. Setelahnya yang terjadi, tentu membuatku semakin tak karuan.
Aku berhasil dikenalinya.
"Aisha?"
Bagaimana? Bagaimana bisa sih dia mengenaliku? Apa aku punya bau khas yang membuatnya gampang mengenaliku? Atau..atau apa sebenarnya yang membuatnya selalu bisa menemukanku.
"Assalamualaikum, ustad Adam."
"Waalaikum salam."
Hening setelah dia tersenyum lebar berhasil memanggilku.
Beberapa menit kemudian, Adam buka suara, "Sedang apa kamu di sini?"
"Mau menemui seseorang," jawabku singkat, padat dan jelas.
Adam terdiam. Akupun demikian.
Setelah jawaban itu tak ada satu pun dari kami yang memulai pembicaraan. Seolah apa yang ingin disampaikan terucapkan begitu saja di dalam pikiran.
Ini terlihat aneh. Aku harus memikirkan sesuatu untuk ditanyakan.
Hingga celetukan temannya Adam akhirnya membuyarkan semua rangka kalimat tanya yang sudah aku siapkan. Tapi syukurlah ada dia, karena paling tidak kami sedang tak berduaan.
"Ambooi. Begini kah cinta? Sepatah kata pun tak bisa terucap. Ang ko mau sampai kapan di sini? Tak ingat ada kajian malam, huh?"
Adam menepuk kepala. Dia bahkan beristighfar banyak kali karena keteledorannya itu. Tanpa sadar aku tertawa melihat raut wajahnya yang ceroboh itu.
"Maaf Aisha. Saya mesti pamit."
"Amboi amboi..malu den tengok ini. Haduuh," ledek teman Adam itu lagi yang sukses membuat tawaku terdengar.
Adam yang tadi tampaknya terlihat malu dengan ceplas-ceplos ucapan temannya itu, kini malah balik menoleh padaku karena mendengar tawaku.
Aku tak bisa menahan diri dan akhirnya malah berujung malu karena diperhatikan oleh keduanya.
Dalam sekejap tawaku menghilang dan aku berbalik untuk bersembunyi dari pandangan mereka.
Adam bersuara. Mengucapkan pamit.
"Assalamualaikum. Selamat malam, Aisha."
Kujawab dengan cepat, tanpa berbalik pada mereka, "Waalaikum salam."
Derap langkah mereka kian menjauh, akupun kembali ingin melanjutkan niatku ke perpustakaan ini. Tentunya, masih sambil mengenang pertemuan hari ini yang begitu singkat dan lucu.
Setelah selesai menulis data pribadi untuk bisa masuk ke perpustakaan, tiba-tiba seseorang datang menepuk pundakku. Aku terbelalak melihatnya melakukan itu. Hingga tanpa sengaja aku berteriak karena terkejut. Karena dia, pengunjung perpustakaan lain teralihkan oleh teriakan spontanku itu.
"Aisha!"
.
.
bersambung