NANA 5 : Bertemu Masa Lalu

1679 Kata
“Mau makan ap—“ “Ka—mu kok ada di sini?” Kenapa dari begitu banyak tempat di muka bumi, aku harus bertemu dengannya di rumahku sendiri? Dan ... kenapa pula aku harus kembali dipertemukan dengannya? Rupanya Tuhan tak mendengar doaku. Saat itu, aku meminta agar Tuhan tak akan pernah mempertemukanku dengannya lagi. Dalam situasi dan kondisi apapun. Apapun. “Harusnya aku yang tanya ke kamu. Ini rumahku. Ngapain kamu ke sini?” “Oh, jadi kamu punya usaha warung nasi?” ucapnya meremehkan. “Kalo kamu ke sini cuma mau ngerendahin aku, mendingan kamu pergi dari sini.” “Posisiku di sini sebagai pembeli, lho. Di mana-mana yang namanya pembeli itu harus selalu dihormati.” “Tapi, bukan kamu. Kamu masih mau ngomong nggak jelas?” “Aku mau makan. Aku lapar. Tolong dong kamu layani aku.” Namanya Satya. Aku dipertemukan dengannya dalam sebuah usaha pejodohan yang disusun teman-temanku beberapa tahun yang lalu. Saat pertama kali melihatnya, aku sudah bisa menebak kalau di antara kami tak akan pernah ada kecocokkan sama sekali. Dan ... firasatku benar. Di kencan pertama kami saat itu, sengaja aku tak memintanya untuk menjemput di rumah. Kami langsung bertemu di tempat di mana kami sepakat untuk bertemu. Tapi, demi menghargai usaha teman-temanku yang sudah sangat bersusah payah, maka dengan sangat terpaksa aku pun menerima ajakkannya untuk berkencan. Saat itu ... “Kita ke apartemenku aja, ya,” ucap Satya. Padahal, kami baru saja bertemu di sebuah pusat perbelanjaan di mana kami sepakat untuk bertemu. Rencana awal kami akan menonton film terbaru di bioskop. “Kita nonton di sana. Kan enak bisa sembari selonjoran.” “Apartemen kamu? Kenapa harus di sana?” tanyaku. “Biar lebih bebas.” Kami tiba di unitnya yang terletak di lantai lima belas. Baru saja masuk, aku sudah mencium aroma khas bujangan. Satya gegas berjalan menuju ke arah balkon, membuka tirai dan jendela pintu geser lebar-lebar. “Di sini kok agak pengap, ya?” ucapku. “Aku jarang ke sini. Cuma kalo pas lagi mau aja. Sebentar, ya.” Satya berjalan masuk ke sebuah ruangan. Tak lama ia kembali dengan botol semprot pengharum ruangan beraroma lavender. “Aku semprot dulu biar baunya lebih baik. Kamu mau minum apa?” “Nggak usah. Aku bisa ambil sendiri.” Entah kenapa sejak kakiku melangkah masuk, perasaanku terasa tak begitu nyaman. Hati kecilku berkata ... aku harus berhati-hati. “Santai aja.” Satya sibuk menyiapkan sesuatu di dapur unitnya. Sembari menunggu, aku pun iseng membuat draft sinopsis cerita yang akan kuajukan bulan ini. Saat Satya datang dengan sebuah piring di tangannya, segera kumasukkan ponsel ke tas. “Lagi apa?” tanyanya. “Cuma iseng ngedraft aja.” “Kamu serius mau jadi penulis online?” ucapnya. Aku mengangguk. “Kamu yakin nggak mau coba pekerjaan yang lain? Jadi penulis itu nggak ada masa depannya.” “Aku nyaman kok sama pekerjaanku. So far nggak ada yang comment soal ini.” “Okay. Aku minta maaf. Maaf karena buat kamu tersinggung. Kita makan sambil nonton, ya. Atau ... kamu mau kita delivery order? Ada restoran bakmi goreng enak banget deket sini. Mau?” “Nggak usah. Aku nggak mau ngerepotin. Kita makan yang ada aja.” Aku mulai mengambil satu nugget ayam yang baru saja ddigorengnya. “Kamu jarang dateng ke apartemen, tapi kamu punya stok makanan di kulkas?” “Frozen food selalu ada di kulkas. Aku nggak mau ribet di saat lagi laper. Kita nonton film apa ya yang bagus?” Jarinya bergerak lincah di atas remote TV. “Kamu mau nonton ini nggak?” “Sleepy Hollow?” sahutku. Ia mengangguk. “Boleh.” Kami menonton film yang sudah dipilihnya sambil menikmati nugget goreng. Di pertengahan, Satya memutuskan untuk memesan makanan. Sudah kukatakan padanya untuk tidak terlalu merepotkan diri, namun ia tak menggubris ucapanku. Nugget tak cukup mengganjal perutnya, katanya. Dua porsi bakmi goreng seafood sudah tersedia di hadapan kami. Sangat pedas untukku dan sama sekali tidak pedas untuknya. Aku mulai mempercayai ucapan Satya. Dari tampilan dan cara pengemasan, sepertinya memang benar kalau bakmi ini sangat enak. “Cicipin, deh. Kamu pasti ketagihan.” Rasanya meamang sangat enak. Sangat berbeda dengan bakmi-bakmi yang pernah kumakan sebelumnya. Tidak terasa berminyak sama sekali. “Makasih banyak ya, Sat. Bakminya enak banget.” Selesai makan, aku dan Satya kembali lanjut menonton film. Aku merasa tak nyaman saat kurasakan secara perlahan telapak tangannya mulai menggerayangi lenganku. Aku yang merasa risih pun mulai menggeser posisi duduk. Satya tak menyerah. Dia menggeser duduknya mendekat ke arahku. Senyumannya mulai tampak menyeringai. Jika nasibku sedang tak mujur, maka hal buruk akan segera terjadi padaku. “Sat, kamu mau apa?” tanyaku. “Ayolah, Na. Nggak usah jual mahal.” “Maksud kamu apa?” “Kita ke kamarku, ya?” Tangannya sudah menggenggam erat pergelangan tanganku. “Kita bisa saling memuaskan di dalam sana. Kamu nggak perlu malu, Na.” “Kamu ngomong apaan sih, Sat? Permisi, ya. Aku mau pulang!” “Kamu nggak bisa pulang semudah itu, Na.” “Kamu kok kurang ajar banget, Sat?” “Kamu nggak usah sok polos, Na.” “Jaga mulut kamu!” Satya kembali menyeringai. Sungguh aku merasa sangat ketakutan. Sangat. Tanpa berpikir panjang, segera kutendang perutnya dan kulemparkan botol air minum ke arahnya. Satya meringis kesakitan. Saat inilah aku bisa keluar dari apartemennya. “Na! Mau ke mana kamu? Jangan sok jual mahal, Na! Nana!” OoO Hari itu, aku terpaksa mengusir Satya karena kehadiran dan ucapannya banyak mengundang perhatian dari tetangga-tetangga. Aku tak ingin menjadi pusat perhatian. Satya mengucapkan kalimat yang membuatku sangat menyesal karena pernah mengenalnya. “Ternyata kamu masih single ya, Na. Coba aja dulu kamu mau sama aku. Kamu terlalu sok jual mahal, Na. Sok suci juga. Aku udah nikah lho, Na. Anakku mau dua.” “Aku berdoa keak anak-anak kamu nggak akan ada yang mewarisi sifat bapaknya.” “Jaga mulut kamu, Na!” “Kamu yang harus jaga mulut. Pergi kamu dari sini!” “Belagu banget kamu, Na. Cih, baru punya warung nasi aja udah belagu.” Berkatnya lah selama beberapa hari ini aku menjadi pembicaraan para tetangga kanan-kiri. Dan ... kehadiran Bu Nia semakin menghidupkan suasana. Bu Nia selalu tahu bagaimana caranya untuk menjatuhkan nama baik sesseorang. “Na, kayaknya kamu kerna karma deh, makanya nggak nikah-nikah.” Aku yang sedang membuatkan segelas es teh manis pesanan pembeli pun segera menoleh ke arahnya. “Coba introspeksi diri deh, Na.” “Maksud Bu Nia apa, ya? Introspeksi diri yang kayak gimana nih, Bu? Bu Nia sendiri udah kena karma masih belum aja introspeksi diri.” “Lho, kenapa kamu bawa-bawa saya?” “Bu Nia tuh udah dikasih sakit. Harusnya bersyukur bisa sembuh. Gimana caranya bersyukur? Nggak usah jadi kompor. Simpel, kan?” “Nggak heran kamu perawan tua, Na. Cara ngomongmu sama orang yang jauh lebih tua aja kayak begini.” “Bu, apa saya harus diem aja saat saya mau diperkosa?” ucapku yang membuat Bu Nia seketika langsung terdiam. “Apa saya harus terima saat saya dilecehkan? Kalo Bu Nia nggak tau masalahnya, lebih baik diam. Itu sudah sangat membantu. Bu Nia ke sini mau beli apa? Kalo nggak ada yang mau dibeli, silakan keluar. Bu Ni menghalangi jalan yang mau masuk.” Kuserahkan segelas es teh manis yang baru saja kubuat pada si pemesan. “Pak, ini es teh manisnya. Silakan.” OoO Gina memintaku untuk menemaninya ke toko buku. Ada beberapa buku yang harus dibeli untuk dijadikan referensi belajar. Setelah selesai membeli buku, kami pun lanjut berkeliling. Aku dan Gina memang sangat dekat. Saat masing-masing dari kami tidak sibuk, maka menghabiskan waktu bersama di mall pun menjadi pilihan. “Mbak, di sebelah sana rame banget ada apaan, ya?” tanya Gina. Aku mengendikkan kedua bahuku. “Mau coba cek ke sana nggak?” “Boleh.” Aku dan Gina berjalan mendekati kerumunan orang-orang yang didominasi oleh kaum hawa. Kami masih belum mendapatkan titik terang tentang apa yang terjadi di depan sana. “Maaf, Mbak. Di depan ada apa, ya?” tanyaku pada salah seorang wanita yang berdiri di dekat kami. “Oh, ada Chef Yasa lagi demo masak, Mbak. Katanya sih mau sekalian ngenalin merk minyak goreng baru. Tadi dia sempet bilang kalo iklan minyak gorengnya mau tayang di TV. Nah, dia ke sini tuh mau kasih tau kalo dia bakal jadi BA minyak goreng itu.” “Oh, begitu. Makasih banyak ya, Mbak.” Aku belum mengikuti akun i********: dan f*******: khusus para penggemar Yasa Maitreya. Saat itu, seingatku Yasa mengatakan bahwa ia akan membagi semua jadwal pekerjaannya di sana. Itu kenapa alasannya beberapa sosok yang kulihat di sini sedikit familiar karena mereka juga muncul di acara meet and greet saat itu. Gina menggandengku berjalan mendekat. Dari posisiku saat ini, aku bisa melihat dengan sangat jelas Yasa yang sedang melakukan demo masak di depan sana. Semua yang hadir begitu terpukau dengan sosoknya yang sedang berada di balik kompor. “Gila. Ganteng banget.” “Kurang apa coba. Udah ganteng, pinter masak pula.” “Gimana nggak perfect. Ya, kan?” “Beruntung banget yang nanti jadi istrinya.” Dengan clip-on wireless yang terpasang di telinganya, Yasa menjelaskan apa yang sedang dimasaknya saat ini. Ia juga menjelaskan keunggulan minyak goreng yang menjadikannya sebagai brand ambassador jika dibandingkan dengan minyak goreng lainnya. Saat tengah asyik mengamatinya yang sedang beraksi di depan, pandangan mata kami berdua saling bertemu di satu titik secara tidak sengaja. Aku segera menunduk untuk menghindar darinya. Yasa tersenyum ke arahku dan itu justru membuatku merasa begitu bersalah karena sudah mengabaikan pesan yang dikirimkannya selama beberapa hari yang lalu. “Gin, kita pulang aka, yuk!” “Lho, kok pulang? Lo bukannya seneng banget ketemu Chef Yasa?” ucap Gina. “Pulang aja yuk, Gin. Gue masih harus ngerjain kerjaan, nih.” “Sebentar lagi deh, Mbak.” “Yaudah. Lo balik sendiri, ya.” “Eh, jangan. Iya ... iya. Kita pulang.” Baru beberapa langkah dari sana, suara seseorang yang terdengar dari pengeras suara membuatku sangat terkejut. “Kamu mau ke mana, Tatjana?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN