NANA 4 : Nana difollow Chef Yasa

1716 Kata
Aku tersentak kaget saat melihat satu notifikasi muncul di layar ponsel. Sepertinya aku butuh untuk memeriksakan kesehatan mataku ke dokter. Apakah ini mimpi? Tidak. Ini sama sekali bukan mimpi. Ini nyata. Tapi, kenapa susah sekali untuk bisa dipercaya? Tapi .... “Seriusan ini Chef Yassa yang follow i********: gue?” Aku masih tak bisa mempercayai apa yang baru saja terjadi. Bagaimana mungkin seorang Yasa Maitreya bisa mengikuti akun i********: seorang Tatjana Amaryllis Katja yang hanya berbentuk remah rengginang? Wajar kalau aku sulit untuk mempercayai semua ini, bukan? Haruskah kuterima permintaan pertemanannya? Ah, sepertinya membiarkannya akan menjadi pilihan terbaik untuk sekarang ini. Untuk saat ini, aku akan memilih untuk mengabaikan permintaan pertemanannya. Aku tak ingin ia menilaiku gampang. Hari ini, dua teman sesama penulisku mengatakan kalau mereka akan datang berkunjung. Alya dan Abu. Kutemui keduanya di dunia maya. Mereka juga lah yang mendorongku untuk menapaki dunia kepenulisan online ini. “Eh, Nana! Ayem banget lo udah ketemu langsung sama Chef Yasa. Gimana gimana? Lo kan belum sempet cerita-cerita ke kita. Dia beneran ganteng, Na?” tanya Abu. Prabu Mahapati. Lebih dikenal dengan nama Abu. Ada kalanya Abu bersikap jauh lebih gemulai dari aku dan Alya yang memang terlahir sebagai perempuan tulen. Tapi, soal orientasi seksualnya ... jangan ditanya! Dari pengakuannya, Abu melepas keperjakaannya saat duduk di kelas dua sekolah menengah atas. Dengan siapa, Abu hanya bilang gadis itu adalah cinta pertamanya yang tak pernah bisa ia lupakan sampai detik ini. “Ganteng, sih. Lebih ganteng dari yang biasa kita lihat di TV. Orangnya ramah banget.” “Pencitraan doang nggak sih, Na?” sambar Alya. Setiap kali orang berpikiran positif, maka Alya akan selalu muncul untuk mematahkannya. “Kan image dia udah kadung jelek. Makanya sama dia dibenerin lagi dah tuh namanya.” “Pikiran lo tuh negatif terus. Udah, ah. Lo berdua ke sini kan bukan untuk ngebahas Chef Yasa. Gaji udah masuk belum?” tanyaku mengalihkan pembicaraan. “Gaji gue belom masuk.” “Dari pintu yang lain masak iya belum masuk, sih?” sahut Alya. “Ya udah, sih. Tapi, yang gede kan yang dari pintu ini.” Sambil makan siang, kami bertiga pun meanjutkan perbincangan di warung. Sudah menjadi kebiasaan keduanya untuk makan di warung tiap kali datang. Mereka menolak untuk membawa makanan masuk ke rumah. Vibes wartegnya berasa, katanya. Untungnya, warung sedang dalam kondisi sepi. Hari libur, tandanya kantor pun ikut libur. Makanan-makanan yang dimasak di warung pun tak sebanyak biasanya. Yang penting habis dan nggak nyisa, begitulah kata Ibu. “Ada pembaca gue reseh banget kemaren,” ucap Alya kesal. “Dia maunya cerita itu sesuai dengan kemauan dia. Lah, kan nggak bisa begitu. Segala pake banding-bandingin gue sama penulis lain.” “Diemin aja, Al. Mereka kan taunya cuma baca. Padahal, nulis tuh susah banget, kan,” ujarku. Alya yang kesal pun terlihat masih mengunyah makanannya. “Anggap aja komentar kayak gitu nggak pernah masuk. Lo cuma harus nulis, nulis dan nulis. Nggak usah ngurusin komentar kayak gitu. Nanti malah bahaya untuk lo. Mood lo ancur, malah nggak bisa nulis. Iya, kan?” “Bener kata Nana, Al. Diemin aja,” sahut Abu. “Ngomong-ngomong, kalian kan suka jalan berdua. Kenapa kalian nggak jadian aja, sih?” selorohku. “Kalian cocok banget, lho.” “Nggak mau, ah! Abu udah nggak perjaka! Enak di dia, nggak enak di gue,” sahut Alya. “Bae-bae lo, Al. Nanti lo malah ketagihan sekalinya gue tusuk,” goda Abu yang sontak membuat Alya bergidik. “Ih, Nana! Abu mulutnya, tuh,” adu Alya padaku. Aku pun hanya bisa terkekeh. “Lagian Alya ada-ada aja. Gue juga terakhir begituan pas SMA. Ke sininya nggak pernah, kok. Gue pernah nembak Alya. Sama dia ditolak, lho.” “Seriusan, Al?” tanyaku kaget. Alya mengangguk. “Nggak pernah cerita sama gue, ih. Gue kaget, lho.” “Kalo bisa malah lo nggak usah tau, Na. Malu gue.” “Coba Abu lebih macho, deh. Siapa tau Alya bisa kepincut. Lo aja kadang-kadang gemulainya lebih-lebih dari kita. Gimana, Al? Setuju nggak?” “Mungkin bisa gue pertimbangkan. Masalah masa lalu lo bisa dimaafkan. Tapi ... masa iya lo jauh lebih gemulai dari gue, Bu?” “Alya banyak maunya, ih. Syebel!” OoO [Mbak Erika : Na, royalti Jasmine bulan ini udah aku transfer ya ke rekeningmu.] Sederet pesan yang membuatku tersenyum bahagia. Inilah yang membuatku ketagihan menjadi seorang penulis. Kadang, aku berpikir ada saja rejeki yang datang. Royalti buku adalah satu hal yang sama sekali tak pernah bisa kubayangkan. Kumulai karierku di sebuah platform membaca tak berbayar, awalnya. Sama sekali tak dibayar. Menerbitkan sebuah buku benar-benar hanya menjadi sebuah impian. Tapi, ternyata keyakinan adalah sebuah kunci. “Dikirimin uang jajan,” ucapku pelan setelah membaca pesan dari Mbak Erika, founder penerbit yang menaungi novelku. “Lumayan.” Belum sempat kuletakan ponselku di nakas, sebuah notifikasi muncul di layar ponselku. Ada sebuah pesan pribadi dikirimkan ke akun Instagramku. Pesan dari Yasa. [Yasa Maitreya : Hai. Kamu yang kasih bingkisan roti dan lauk-pauk di acara meet and greet waktu itu, kan? Saya follow i********: kamu. Tapi, kayaknya kamu belum kasih saya followback, ya.] Jantungku berdegup dengan sangat kencang. Kupikir Yasa tak akan pernah bertindak sampai sejauh ini. Tapi, satu hal yang menjadi beban pikiranku adalah ... bagaimana bisa ia menemukanku? Kuputuskan untuk membalas pesannya. [Tatjana Amaryllis Katja : Eh, iya. Itu dari saya, Chef. Maaf baru sempat balas. Saya baru sempat buka Instagram.] Tak butuh waktu lama. Hanya dalam hitungan menit, satu pesan pun kembali masuk. Yasa Maitreya is writing. [Yasa Maitreya : Terima kasih banyak, ya. Saya suka lauk dan roti yang kamu kasih ke saya. Saya suka nama kamu. Cantik. Seperti orangnya.] Ya Tuhan. Tak heran kalau seorang Yasa dikenal layaknya seorang Cassanova atau bahkan setaraf Don Juan. Ia begitu lihai menggoda wanita. Entah apa maksud pesan yang dikirimkannya padaku. Tenang, Nana. Kamu harus tenang. Mungkin Yasa hanya ingin menunjukkan kesopanannya. Mungkin. [Tatjana Amaryllis Katja : Syukur kalo Chef suka. Itu titipan dari karyawan warung makan keluarga kami, Chef. Saya pasti akan sampaikan ucapan terima kasih dari Chef Yasa ke mereka bertiga. Mereka bertiga pasti bakal seneng banget. Terima kasih ya, Chef.] [Yasa Maitreya : Boleh saya minta followback dari kamu?] Astaga! Seorang Yasa Maitreya memintaku untuk mengikuti balik akun Instagramnya? Ini seriusan? Baiklah. Mari kita sudahi prasangka buruk ini. Rasanya sudah cukup membiarkan permintaan pertemanannya selama berhari-hari bersarang di pane pemberitahuan. Semoga keputusanku tak salah. Follow back. [Tatjana Amaryllis Katja : Sudah saya follow back ya, Chef.] [Yasa Maitreya : Terima kasih ya, Tatjana.] [Tatjana Amaryllis Katja : Sama-sama, Chef.] [Yasa Maitreya : Tatjana, apa bisa kapan-kapan kita ketemu lagi?] [Tatjana Amaryllis Katja : Ketemu?] [Yasa Maitreya : Iya. Saya mau secara langsung ngucapin terima kasih ke kamu. Mungkin kita bisa makan malam di restoran saya. Gimana?] [Tatjana Amaryllis Katja : Let’s see ya, Chef. Kecuali ... nanti Chef masak untuk saya. Bercanda, Chef. Jangan dianggap serius, ya. Hehehe.] [Yasa Maitreya : Kamu tenang aja.] Aku segera menutup ponsel setelah mendengar suara Ibu yang memanggilku dari lantai bawah. Sudah jam makan malam. Warung sudah tutup. Sudah menjadi kebiasaan kami sekelaurga untuk selalu menyempatkan diri makan malam bersama di satu meja, termasuk seluruh karyawan warung. “Makan dulu, Na. Nanti kerjanya dilanjut,” ucap Ibu. Semua orang sudah berkumpul dan duduk di meja makan dengan rapih. “Ambil lauknya sendiri ya, Na.” “Gin, gue udah transfer uang ke rekening lo. Jangan dihabisin, ya,” ucapku yang dianggukki Gina. “Bu, kalo Gina minta uang jangan dikasih, ya. Yang aku transfer kayaknya cukup untuk ongkos dia sampe akhir bulan ini.” “Denger kakakmu ya, Gin,” sahut Ibu. “Tapi, kalo nanti ada kebutuhan kuliah gimana, Mbak?” tanya Gina. “Lo harus pinter ngatur keuangan, Gin.” OoO Hari demi hari pun berlau. Yasa mulai begitu sering mengirimiku pesan. Aku memang sangat mengaguminya. Bahkan, aku terkesan tergila-gila pada sosoknya. Tapi, sebisa mungkin aku harus mengendalikan diriku. Aku tak ingin Yasa menyamakanku dengan penggemar-penggemar perempuannya yang lepas kontrol tiap kali melihatnya. Jujur, aku merasa gila karena Yasa mengirimiku begitu banyak pesan. Pesan-pesan yang dikirimnya pun berisi sederet kalimat penuh perhatian. Lagi apa? Sudah makan? Selamat tidur dan mimpi yang indah. [Yasa Maitreya : Selamat pagi, Tatjana. Kapan kita bisa ketemu?] Nah, kan? Kenapa Yasa begitu semangat untuk mengajakku bertemu? Ya Tuhan, tolong jangan membuatku merasa begitu sombong karena seorang Yasa begitu berambisi untuk bertemu denganku. Bahkan, jika aku dijejerkan dengan wanita-wanita yang pernah digosipkan menjalin kedekatan dengannya pun, aku kalah jauh. Ka—lah ja—uh. [Tatjana Amaryllis Katja : Maaf, Chef. Saya masih sibuk banget sama kerjaan. Belum bisa kasih kepastian kapan bisa ketemu. Saya minta maaf ya, Chef.] [Yasa Maitreya : Begitu, ya? Kabari saya kalo kamu free, ya. Nanti kita sambung lagi, ya. Saya ada take video untuk iklan.] Kuputuskan untuk mengambil libur seharian penuh ini. Jari kemariku terasa begitu kaku karena terlalu lama bekencan dengan keyboard laptop. Aku turun ke lantai bawah dan melihat keadaan warung. Aku tak melihat keberadaan Ibu. “Ibu ke mana? Kayaknya bukan jadwal pengajian, deh,” ucapku. “Ibuk lagi ke rumahnya Bu RT, Mbak. Rewang di sana. Anaknya Bu RT kan mau selapanan.” Tuti yang sedang mengupas kentang pun berhenti sejenak. “Oh,” sahutku singkat. “Kalian kalo mau istirahat boleh. Biar warung aku yang jaga.” “Endah sama Siti katanya ngantuk, Mbak. Mereka berdua bangun lebih duluan dari inyong. Sana Ndah ... Sit. Turu o ndisik. Ben aku sing jaga warung karo Mbak Nana.” Siti dan Endah pun masuk ke kamar mereka. Tinggal aku dan Tuti yang masih sibuk mengupas kentang. Sesekali aku akan menengok ke luar warung. Hari ini, cuaca begitu terik. Aku sangat bersyukur warung ini bisa tumbuh berkembang sejauh ini. Teringat masa-masa saat di mana aku, Ibu dan Gina berjuang melanjutkan hidup setelah kepergian Bapak. Doa kami saat itu hanya satu. Kami harus bertahan hidup. Itu saja. Sembari menunggu warung, memainkan ponsel pun menjadi pilihanku. Aku tak membalas pesan terakhir yang dikirimkan Yasa. Tapi, sepertinya .... “Permisi. Bu, mau makan, dong.” “Silakan, Mas,” sahut Tuti. “Biar aku yang layani, ya. Kamu lanjut kupas kentangnya aja, biar nanti bisa diolah setelah Ibu pulang,” ucapku. “Mau makan ap—“ “Ka—mu kok ada di sini?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN