BAB 7

1838 Kata
Dalam kegelapan yang ku lihat, aku gelisah, otot kakiku menegang sampai ke paha dan tubuhku kedinginan bergerak mengeliat. Dingin, pahaku terasa dingin oleh jilatan dan intiku berkedut kuat merasakan sentuhan itu. Lembut, basah dan menyiksaku dalam kesenangan dan kenikmatan yang tidak dapat di jabarkan. "Ahh..." mengapa terasa nikmat sekali?, tubuh kulemas dengan nafas memburu mencoba membuka mata. Perutku bergejolak merasakan kelegaan pelepasan.... Terasa berat menghimpit tubuhku, aku kehilangan pasokan udara di paru-paru karena sesuatu. Samar-samar aku membuka mata, mencari kesadaran utuh, melihat keberadaan Tony di atasku, dia menciumku dengan lembut. Lidahnya melesak tanpa ampun membelai lidahku, menuntut dengan lembut di sertai sentuhan di tubuhku, aku tidak membalas dan masih mencari kesadaranku. Ciuman kami terlepas, Tony menatapku dengan mata sayu dan nafas sama cepatnya denganku. "Tony.. apa yang__" suaraku serak. "Aku mau" dia meminta. Aku bergerak kecil merasakan intiku basah, ku lihat ke bawah. Kancing baju tidurku terkoyak, dadaku sudah tanpa bra lagi. Dan celanaku.. Sial.. Aku tidak memakaianya.. Tony meremas dadaku dan mengecup leherku, "Ei" suaranya serak. Kesadaranku kembali penuh, aku mendorong Tony, menggulingkan tubuhnya dan mengambil alih duduk di perutnya. Dia selalu seperti ini, mengambil kesempatan ketika aku tidur. Dan gilanya aku selalu menikmatinya tanpa merasakan ketakutan apapun. Terkadang aku juga selalu memiliki fikiran nakal mengenai bagaimana cara memuaskan Tony dengan sentuhanku. Aku suka setiap kali melihat reaksinya ketika aku menyentuh, sangat membangunkan fantasiku dalam menulis. Tubuhku membungkuk, mengusap d**a dan perutnya yang berotot. Kecupan basah menelusuri rahangnya, mengikuti garis tulangnya, sementara pinggul kubergerak menggodanya di bawah. Tepat di miliknya yang terasa mengeras. Tony mengerang, dia meremas pinggangnku dengan nafas compang camping. Aku kembali ke atas dan mencium bibirnya untuk mengulur waktu. Dia memejamkan matanya saat aku menatap, terlihat menunggu hal yang lainnya akan terjadi. Perlahan matanya terbuka lagi, membuat tatapan kami saling mengunci. "Ei, sentuh aku." *** "Bapak yang memberiku izin untuk pergi. Sekarang bapak juga yang melarangku untuk tidak masuk setelah aku di nyatakan lulus." Isakan tangisku terpecah dengan nafas tersendat-sendat di antara deraian air mata dan hati yang teremas amat sangat sakit. "Dia bapakmu Eiko!, jaga bicaramu." Air mata semakin membanjiriku, hatiku hancur teramat sakit dengan sikap kedua orang tuaku. Mimpiku sebagai pelukis hancur di tangan mereka. Masa kecilku yang sangat kelam tanpa mereka tahu karena sikap acuh mereka padaku. Aku menerimanya dan menanggung rasa sakit sendirian. Kini, mereka menghancurkan hatiku semakin keras. Satu tahun aku bersabar dan tidak melanjutkan kuliah karena perbedaan pendapat. Saat bapak mengatakan dia memberiku izin untuk masuk perguruan tinggi. Harapanku yang sempat sirna berubah, bagaikan air di gurun pasir. Namun, setelah aku di nyatakan di terima. Bapak menghancurkan harapan yang dia berikan, dia tidak mengizinkan aku pergi sekolah. Hatiku hancur, itu adalah kehancuran terdalam dalam diriku setelah masalaluku yang paling teramat menyakitkan. Aku iri pada anak yang berkeluarga harmonis, aku iri pada anak yang memiliki orang tua yang peduli padanya. Peduli pada apa yang mereka inginkan, peduli pada apa masa depan mereka. Aku tidak peduli dengan kondisi ekonomiku, aku bisa semangat belajar dan bekerja mencari uang untuk sekolah selama mereka mendukungku dengan kata-kata sekalipun. Namun, mereka berhasil mematahkan sayapku dan tidak bisa membuatku terbang seperti anak-anak lainnya. Mereka membuatku harus melangkah dengan keadaan terluka. Mereka telah menciptakan kenangan yang tidak pernah bisa aku lupakan, dan kenangan itu sama menyakitkannya dengan perbuatan orang-orang b******k terkutuk itu. "Omong kosong!, aku benci kalian!. Kalian egois" Teriakanku menumpahkan segala kekecewaan yang terjadi. "Sadar Eiko!, kamu bisa seperti ini karena jasa siapa?, aku bapakmu!" "Karena itu kewajiban bapak!. Lebih baik kalian bunuh saja aku! Dengan begitu tidak ada rasa sakit di dadaku lagi!" Aku terbangun dengan kegelisahan dan hati yang berdenyut. Wajahku sudah basah oleh air mata, aku meringkuk memeluk lutut. Membungkam suaraku agar tidak mengganggu Tony di sampingku. Dengan hati-hati aku turun dari ranjangdan keluar kamar. Kesunyian dan suasana gelap, langsung menyapaku. Aku membekap mulut masih tidak bisa berhenti menangis. Diam-diam aku memukulkan kepalaku ke tembok. Melawan rasa sakit dan kehancuran di dalam hati dan jiwaku lagi. Inilah kekurangan terbesarku. Semua masalaluku, selalu muncul begitu saja seperti hantaman besar yang kapan saja dapat menjatuhkanku dalam kegilaan. Memang mudah mengatakan untuk melupakannya. Namun kenangan itu muncul dengan sendirinya tanpa aku undang. Seumur hidupku aku berusaha terlepas dari semuanya, namun nyatanya terlalu banyak hal menjijikan yang sudah merusak diriku. "Lepas celanamu Eiko!" Ifa membentakku, dia menggoreskan duri mawar di tanganku. Aku menangis, bersimpuh di lantai, "Aku tidak mau Ifa." Tangisku mencengkram pergelangan tangan yang terluka dan berdarah. "Bodoh!" Dia menyeretku seperti hewan yang menjijikan. Aku memukul kepalaku lagi ke tembok, menjambak rabut berusaha membuang ingatanku. Kepalaku pusing dan sakit, dengan langkah terseok-seok aku kembali ke kamar. Dengan hati-hati tanpa menimbulkan suara, aku mengambil obat penenang di dalam box sepatu. Aku membutuhkannya.. Aku membutuhkan dumolind.. Gerakan jarum jam terdengar keras di telingaku. Aku duduk bersandar pada tembok, merasakan tekanan di jantungku melemah dan nafas yang melambat. Tanganku mengusap pergelangan tangan, merasakan tanda bekas luka yang masih terpampang jelas karena wanita menjijikan itu. Sudah hampir satu jam aku duduk dalam kesunyian dan remang gelap. Aku tidak bisa melakukan apapun di jam dua malam seperti ini. "Ei" Tony berdiri di hadapanku, dia menatap dengan seksama meneliti wajahku. Tony menguap tampak masih mengantuk, namun dia tetap mendekat. Aku tersenyum selebar mungkin, diam-diam menyembunyikan obat penenangku di belakang laci. Tony tidak pernah tahu jika aku mengkonsumsi obat penenang.. "Kenapa kamu duduk disini?" Tony ikut duduk di sampingku, tatapannya semakin menajam saat menyentuh wajahku, "Kamu habis nangis?." Tubuhku di tarik kedalam pangkuannya, aku tidak dapat melawan karena masih dalam pengaruh obat penenang. Tubuh hangat Tony yang bertelanjang d**a membuatku nyaman, dia mengusap sisa-sisa air mataku yang mengering. "Katakan Eiko, aku enggak suka kamu menyembunyikan apapun dariku" suara lembut Tony tidak menghilangkan desakan dia untuk tahu masalahku. Aku mengusap leher Tony, ada tanda merah bekas ciuman di bawah kulitnya karena ulahku. Tony tidak perlu tahu mengenai obat penenang yang aku konsumsi, aku takut dia akan membawaku ke psikolog. Aku tidak gila. Hanya memerlukan waktu lebih banyak agar melupakan semuanya. "Aku memikirkan bapak" dustaku padanya. Ada kesedihan di mata Tony, dia tersenyum sedih dan menjatuhkan wajahnya di ceruk leherku. Aku mengusap rambutnya perlahan, sepertinya dia mengantuk. Aku bisa sendirian disini, Tony tidak perlu menemaniku "Tony." "Kenapa kamu berbohong Ei?. Tidak masalah jika kamu tidak ingin bercerita." Sial, aku telah menyakiti hatinya.. Aku memeluknya dengan erat. Perasaan bersalah langsung menyentilku, "Maafkan aku." "Tidak apa-apa Ei. Aku mengerti, kamu pasti butuh privasi." Air mata membasahi pipiku. Tony salah. Bukan karena privasi, tapi aku tidak ingin terlihat lemah dan semakin rusak dimatanya. Tubuhku terayun dalam gendongannya, "Kita tidur lagi" Pelukanku di leher Tony mengerat. "Aku tidak mengantuk" Tony tidak menjawab.Aku meneliti ekspresi wajahnya yang tidak menunjukan kemarahan, tetapi ada kesedihan di matanya yang menggangguku. Aku duduk di tepi ranjang, melihat Tony mengambil pakaiannya dan mengenakannya. Aku bergeser, melihat Tony yang membelakangiku, dia menarik nafasnya beberapa kali seperti sedang menenangkan diri. Apa yang dia fikirkan? Tony mendekatiku lagi, dia duduk di sampingku dan menggenggam tanganku dengan erat. "Sebaiknya kamu tidur lagi Tony, aku bisa bermain game. Besok kamu pasti sibuk" suaraku memelan, merasa pusing dengan apa yang aku lihat. Sepertinya kepalaku akan memar, atau mungkin efek obat. Aku meringis, merasakan sentuhan Tony di kepalaku. Dia semakin melihat gerak-gerikku dengan curiga, "Ei.." "Aku baik-baik saja Tony. Tidurlah!" Tegasku lagi agar dia yakin. Karena inilah yang aku butuhkan, aku ingin waktu sendirian tanpa dirinya. Tony semakin menggeser, mempersempit jarak di antara kami. "Mau aku buatkan s**u hangat agar kamu relax?" Aku menggeleng dengan cepat. Obatnya tidak akan bekerja jika aku minum s**u. "Ya sudah, aku temanin kamu saja biar tidak kesepian." Aku meringis lagi, merasakan belakang kepalaku di tarik, Tony menciumku. Ada kerutan yang di dalam di dahinya ketika ciuman kami terlepas, Tony menatapku dengan tajam, "Kamu minum obat?" Sial! "Apa maksudmu?" Aku berdusta. "Eiko!." "Kamu minum obat apa Eiko?" Tony semakin kukuh dan mencekal ruang gerakku. "Demi tuhan Tony, berhentilah bertanya!" Aku membentak frustasi, aku tidak suka di paksa dalam keadaan kacau seperti ini. Cekalan Tony melonggar, aku segera bergeser dan membaringkan diri. Meringkuk memunggunginya, efek tenang obat yang masih bekerja cukup membantuku untuk tidak menangis dan panik. Pergerakan ranjang di belakangku memberitahukan Tony ikut naik, dia memelukku tanpa melanjutkan perdebatan lagi. Aku tahu aku bersikap berlebihan dan terlihat seperti orang yang paling tersiksa di dunia ini. Karena itu, aku akan berusaha menanggungnya sendirian sekuat mungkin. Aku benci di kasihani dan orang-orang tahu kelemahanku. Termasuk Tony, semua itu hanya akan menambah kekurangan diriku. "Apa kamu marah?" Tanyaku hati-hati, "Maaf, sudah membentakmu." PelukanTony mengerat, "Tidak Ei. Aku hanya khawatir jika kamu terluka sendirian, sementara aku tidak melakukan apapun untuk kamu." Dia terlalu manis, terlalu tulus, terlalu sempurna.. "Selama kamu disisiku. Aku baik-baik saja" bisikku malu, namun apa yang aku katakan jujur apa adanya. Tony lama terdiam, biasanya dia akan cepat menjawab. Aku bergeser hati-hati dan berbalik, senyuman geli tidak dapat aku tutupi saat melihat Tony yang ketiduran. Dia benar-benar mengantuk. *** Pagi itu aku bangun sedikit telat, sebelum aku melakukan banyak aktivitas aku mengambil obat di dekat laci. Menyembunyikannya di bawah batu pot bunga plastik. Aku yakin Tony akan mencari tahu ketika aku pergi bekerja. Karena itu, aku harus bergerak lebih cepat. Aku segera memasak selagi Tony mandi, pagi ini dia juga bangun lebih cepat dan membersihkan rumah seperti janji dia semalam. Suasana hatiku sudah kembali normal lagi seperti biasa, aku menyiapkan segelas kopi untuk Tony dan s**u untukku, roti bakar dan sup jagung kesukaan kami. Semua sarapan sudah tersedia di meja, aku memotong sosis, jamur dan sayuran untuk membuat nasi goreng dan ayam tepung. Aku akan membuat bekal, jadi tidak perlu kelua ruangan saat istirahat. Aku tersentak merasakan pelukan Tony di belakangku, dia mencium puncak kepala dan pipiku, aroma sabun dan shampo terasa menyegarkan di indra penciuman. "Selamat pagi" ucapnya sebelum pergi ke meja makan. Aku ikut bergabung dan duduk berhadapan. Memakan sup hangat di pagi hari yang mendung dan dingin. Tony memakan supnya dengan lahap dan cepat. "Itu buat siapa?" Dia menunjuk kotak makananan dengan dagunya. Aku menelan rotiku dengan cepat, "Bekal untuk di kantor." Bibir Tony langsung mengerucut "Kamu gak buat untuk aku juga?." Apa?, apa dia tidak bermasalah jika makan nasi yang nantinya sudah dingin? "Nanti nasinya dingin Tony" suaraku melunak, aku tahu dia sangat menjaga pola hidup sehatnya. "Terus, kamu sendiri kenapa mau makan nasi yang sudah dingin?" Tanya dia membalikan perkataanku. Aku menarik nafas dalam-dalam, mengahabiskan sarapanku dengan cepat. Tony beranjak, mengambil semua piring kotor di atas meja, "Aku yang cuci, kamu mandi saja" ujarnya dengan ketus. Ya Tuhan.. mengapa dia selalu merajuk seperti ini. "Nasi gorengnya pedas Tony, berhentilah bersikap berlebihan." Aku beranjak mengambil roti dan sayuran. "Aku buatkan roti isi buat kamu." Tony berdehem di sampingku, diam-diam aku meliriknya setengah kesal. Dia cengengesan sambil mencuci wajan. Hatiku kembali luluh dengan sikap konyolnya. "Aku mau nasi goreng juga Ei. Kamu bisa memasaknya lagi kan?" "Nasinya sudah habis Anthony. Kamu mau roti isi atau tidak?!" Suaraku meninggi mulai kesal. "Iya iya, kamu buat apapun seikhlas kamu" Tony mencuci piringnya lagi dengan dumelan yang tidak jelas. Aku tidak memiliki waktu untuk meladeni rajukannya, jika aku meladeninya maka aku akan terlambat bekerja. To be continue....
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN