Sudah cukup sore aku pulang karena mengantar Danis pulang dulu, aku menunjukan banyak rute dan jalan menuju kantor agar dia tidak kebingungan.
Danis sangat cekatan, dia menghapal semua petunjukku dengan baik. Dia juga tidak sungkan bertanya mengenai budaya Indonesia yang dan aturan-atura nutama yang perlu di terapkan.
Aku membelokan setir dengan lembut melewati taman kecil di dan lurus beberapa meter, membelok lagi dan berhenti di depan di pekarangan rumah karena ada mobil Tony yang menghalangi jalanku memasuki garasi.
Pintu tidak terkunci saat aku mendorongnya, hanya ada suara mesin membersih debu yang aku dengar.
Ada asistant rumah tangga yang sedang bersih-bersih, pakaianku yang seharusnya di cuci sore ini kini terumpuk di keranjang. Bi Sum pasti memakai mesin cuci, itu pemborosan listrik. Padahal aku bisa mencucinya dengan tanganku sendiri.
"Hay" Tony tersenyum lebar keluar dari kamar, tangannya memegang buku agendaku.
Sial, itu buku rahasiaku!
Aku melangkah mendekat dan merebut bukunya dari tangan Tony, "Jangan lancang Tony!" Bentakku kesal.
Tony terlihat kaget dengan kemarahanku, seharusnya dia tidak membaca buku agendaku. Itu semua adalah catatan masa depanku, segala pemikiran, dan semua rencana ada di sana!
"Kamu marah?" Matanya mengerjap takut.
Aku merebut buku di tangannya, melangkah lebar melewatinya begitu saja, aku melempar tasku ke ranjang, menyimpan buku di laci dan mengambil handuk untuk mandi.
Tony berlari, mencegat pintu kamar mandi dengan bentangan tangan dan kakinya. "Ei, jawab aku dulu. Kamu marah?."
"Minggir Tony!" Moodku cukup buruk, aku lelah bekerja dan melewati perjalanan. Panas, polusi dan macet. Tony menambahnya dengan kelancangannya.
"Engga, sebelum kamu jawab pertanyaanku."
"Iya aku marah!. Kamu puas?"
Tony melotot, rahangnya menegang dengan nafas lebih cepat, dia terlihat lebih marah dari pada kemarahanku. "Seharusnya aku yang marah!" tuturnya balas protes.
Apa maksudnya?
"Aku benci kamu tidak mencantumkan aku, tidak melibatkan aku dalam rencana masa depanmu!"
Sial, mengapa dia sangat manis
Aku kehilangan kata-kata, kemarahanku menyusut karena ucapannya. Aku mendekat menurunkan kedua tangan Tony, memeluknya dan bernjinjit mengecup bibirnya.
"Aku harus mandi" aku mendorong Tony agar menyingkir, dengan cepat mengunci pintu dan mengabaikan suara gedoran di pintu.
"Kamu belum jawab pertanyaanku Eiko" Tony menggedor pintu lagi dan berteriak, "Kenapa tidak ada nama aku dalam rencana masa depanmu?, aku tidak setuju. Jawab aku Eiko."
Satu persatu kancing kemeja terlepas, bajuku terjatuh ke lantai, di susul rok dan dalaman. Aku melangkah gontai menghidupkan shower dan memegang gagangnya.
Tubuhku mendingin dan perih merasakan cipratan air di kaki.
Suara gedoran di pintu menghilang, hanya ada suara derakan kecil di antara air yang terjatuh ke lantai yang aku dengar.
Aku mengambil beberapa tetes sabun, menuangkannya kedalam busa, lalu membilas tubuhku.
Rasanya lebih menenangkan..
"Eiko, jawab aku!" Suara Tony berada di atas kepalaku.
Kepalaku terantuk di lempari pensil warna
Aku hampir terjatuh kaget saat melihat ke atas, melihat kepala Tony nongol di atas tembok pembatas kamar mandi dan kamar. Tangannya berpegangan agar tidak jatuh.
Brengsek, mengapa aku bisa jatuh cinta pada pria b******k ini
"ANTHONY!" teriakku kesal, malu dengan ketelanjanganku, malu dengan tatapan polos dan senyuman anehnya memperhatikan tubuhku.
Kepala Tony menghilangkan dari tembok, tidak berapa lama dia muncul lagi, "Jawab aku Eiko."
Dengan kasar aku menarik gagang keran dan menyemprotnya.
"Ei.. jangan, berhenti! Maafkan aku!"
BRUKK
Suara sesuatu yang jatuh ke lantai terdengar keras bersamaan dengan kursi yang menabrak sesuatu.
Rasakan sialan!
Dengan cepat aku membersihkan busa-busa di tubuhku, memakai handuk dan berdiri di depan kaca untuk menggosok gigi, juga cuci muka.
Saat aku keluar kamar mandi, Tony tersenyum lebar. Duduk bersila di ranjang dan bertelanjang d**a memeluk kotak obat.
Dia seksi..
"Ei, duduklah" dia menepuk permukaan ranjang disampingnya.
Aku menatap datar, membuka lemari dan mengambil pakaian.
"Ei.."
Aku memasuki kamar mandi dan berpakaian disana. Ketika aku keluar Tony sudah berdiri di depan pintu, aku melewatinya begitu saja dan keluar kamar.
"Ei.. kamu marah ya?" Tony berlari mengejar langkahku.
Aku tertegun, melihat lilin menyala di lantai, menerangi makanan yang tertata di atas karpet.
"Aku membuat menu baru di restorant. Jadi aku ingin kamu mencicipi semuanya dan milih mana yang kamu suka" jelas Tony kepadaku yang masih berdiri mematung, aku terduduk karena tarikan Tony.
Aku masih marah padanya, sangat memalukan jika aku bersikap baik karena banyak makanan lezat di depanku.
"Kamu jangan marah terus Ei" Tony menggeser dan merapatkan jarak di antara kami, aku dapat melihat matanya yang kecokelatan itu berkilauan karena bayangan lilin.
"Aku minta maaf telah bersikap tidak sopan sama kamu" keluhnya, namun tidak ada penyesalan apapun pada wajahnya.
Aku tidak ingin bersikap berlebihan, namun setiap manusia itu memiliki batasan dimana dia butuh privasi. Tony tidak mengerti itu.
"Tony, kamu ngerti gak kalau setiap orang butuh privasi. Begitu pula aku, ada beberapa hal yang mungkin memang perlu aku rahasiakan dari kamu" aku menjelaskan dengan lembut, "Begitu pula kamu, mungkin kamu juga perlu menyimpan beberapa rahasia dari aku."
Tony duduk di karpet dan tetunduk melihat kedua telunjuknya saling beradu, "Aku gak punya rahasia apapun dari kamu."
Ya tuhan..
Aku ikut duduk dan memeluknya, mencoba untuk bersikap tenang dengan sifat Tony yang terkadang membuatku kesal, namun di saat yang bersamaan aku gemas dengannya.
"Aku minta maaf Ei" Tony balas memelukku, kali ini dia terdengar sangat tulus. "Aku janji gak bakal nakal lagi, kalau aku nakal lagi aku janji lagi sama kamu."
Bibirku berkedut tidak kuat menahan tawa keras yang mendesak mendengar perkataannya.
"Ayo makan."
Memang sebaiknya kita makan, dari pada banyak berdebat mempermasalahkan hal yang tidak terlalu penting.
Aku dan Tony duduk menselonjorkan kaki, bersandar pada dinding dan melihat acara televisi. Sementara tangan kami tidak berhenti mencicipi semua makanan yang ada.
Aku suka moment yang seperti ini, sederhana dan menyenangkan. Aku suka jika kami bertukar perndapat dan berbicara santai, membicarakan hal tidak ada hubungannya dengan cinta.
Mengenai cinta, aku tidak tahu, cinta yang seperti apa yang sedang terjadi padaku dan Tony.
Dalam sebuah teoriYunani kuno, cinta terbagi menjadi delapan.
Philautia yang artinya cinta diri sendiri. Philia, cinta persahabatan. Storge, artinya cinta keluarga. Ludus, cinta monyet. Eros, cinta Erotis. Mania, cinta obsesif. Pragma, cinta abadidan. Agape, cinta tanpa syarat.
Aku tidak tahu bagian cinta yang mana yang terjadi padaku dan Tony.
***
Mataku terasa perih terlalu banyak melihat layar laptop, belum cukup seharian di kantor berkutat dengan komputer dan tulisan. Sekarang aku harus berkutat lagi dengan laptop untuk menyelesaikan novelku.
"Aww.." kakikku sakit merasakan pergerakan, Tony tersenyum kecil mengobati kakiku yang sekarang berada di pangkuannya.
"Kalau begini kamu enggak bisa lari sementara waktu."
Tony benar, padahal olaharaga yang paling sering aku lakukan adalah berlari atau bersepeda. Tubuhku akan terasa sangat pegal dan sakit bila tidak di olahragakan.
Tony membungkus kakiku dengan kain kasa setelah semuanya selesai. "Aku mau ke gym dulu."
Ya, Tony dan aku selalu rutin olahraga, minimal tiga sampai empat kali dalam seminggu. Hanya saja, Tony lebih suka fitnes dan membentuk tubuhnya.
Aku berkutat lagi dengan laptopku, membiarkan Tony pergi beranjak untuk bersiap-siap. Ku lihat dia menyempatkan diri untuk membuat s**u pembentuk tubuh dan memasukannya kedalam tas.
"Ei" aku mendongkak, melihat Tony memakai tanpa lengan, celana selutut. Dia memakai topi dan menggendong tas.
"Berangkat sekarang?."
Tony mengangguk, dia membungkuk dan meraih wajahku kedalam tangannya, "Aku pinjam mobil kamu."
Apa-apaan?, mobilnya juga ada di luar.
Tony mengecup kening dan bibirku, "Kamu pakai punyaku. Telepon aku dulu sebelum pergi."
Aku ikut beranjak, melihat kepergian Tony di balik jendela. Dia terlihat sangat tampan dan gantle, kecuali dengan mobil biasa milikku yang kini dia kemudikan tanpa malu.
Sementara aku?, jika aku di suruh membawa jaguar f-typenya. Lebih baik aku naik ojek atau angkutan umum lainnya.
Jika aku membawanya, bagaimana jika tergores?, berapa uang yang harus aku keluarkan?. Mungkin semua uang dari di celengan pun tidak akan cukup.
Jiwa miskinku bergejolak
Aku berbalik dan menyibukkan diri untuk mengetik lagi setelah mencuci piring-piring kotor bekas makan.
Dalam keheningan aku merasa nyaman, duduk bersila di sofa dengan laptop di pangkuanku.
Seorang anak kecil berambut warna tembaga, matanya bulat biru jernih berbinar bahagia, ia tersenyum terpukau dengan apa yang di lihatnya.
Anak itu melihat ke arah Lucas yang tengah berbicara dengan Julian, lalu tatapannya kembali terjatuh pada bayi mungil yang tertidur di ranjang.
Tangan mungil itu terulur menyentuh wajah cantik bayi kecil itu, sekali lagi dia tersenyum semakin lebar.
Dia membungkuk melingkupi bayi mungil itu, bibir mungilnya menyentuh bibir bayi kecil itu.
"Boy" panggil Lucas, anak kecil itu melepaskan ciumannya dan tersenyum melihat ayahnya yang membeku di tempat.
"Apa yang di lakukan anakmu!" Desis Julian kesal, dengan sigap pria itu mengambil anaknya dan menggendongnya dengan posesif, "Jangan melakukan itu lagi pada Edrea!"
"Jangan membentak anakku!" Bela Lucas, dengan cepat dia menggendong Kenan juga.
"Pelankan suaramu b******k, kau bisa membangunkan puteriku" Julian mengusap Endrea dalam pelukannya, bayi cantik itu mengeliat terganggu.
"Dad, kenapa bertengkar?" Tanya kenan.
Lucas menggeleng dan tersenyum mengusap rambut putera kesayangannya, "Kami tidak bertengkar."
Perhatian kenan tertuju pada Endrea yang masih ada dalam gendongan Julian, "Dia cantik, aku suka."
"Jangan harap" jawab Julian sengit, berhasil membuat Kenan mengerutkan keningnya tidak suka.
"Jangan berlebihan Juls, Kenan hanya anak kecil" suara Lucas menjadi lebih tenang, namun ia tidak suka melihat wajah tampan anaknya di tekuk karena marah.
"Aku mau dia" tunjuk Kenan pada Endrea.
Tanganku berhenti bergerak di atas keyboard, karena ada suara seseorang yang memanggil namaku di luar.
Dengan malas aku meletakan laptop di meja dan membukakan pintu.
"Kak Eiko" senyum Zahra seraya menggaruk tengkuknya, dia masih memakai baju seragam putih birunya, "Kak Anthony ada gak?."
Aku tersenyum lebar, "Baru saja pergi ke gym."
Zahra memangut-mangut dan ber oh ria, "Pantas saja mamah juga ke gym" gumamnya keras.
Apa itu? Apa maksudnya?
Aku mengatur nafas mencoba untuk tidak berfikir negatif, "Maksudnya apa de?"
"Mama kan suka sama kak Anthony, ibu-ibu disini juga sering membicarakan kak Anthony kalau lagi arisan. Apalagi anak kuliahan yang sering nongkrong di gang depan. Makanya sekarang mamah aktif di gym." Ceritanya panjang lebar dan semakin membuat dadaku panas.
Bagaimana bisa aku lengah dan membuat Tony jadi idola disini. Apalagi disini banyak janda dan wanita cantik.
Apa jangan-jangan Tony sering tebar pesona di depan mereka?.
Sial, fikiranku semakin tidak jelas. Yang jelas aku cemburu.
Bibirku tertawa geli, namun hatiku tertawa setan dengan kemurkaan, "Emang mereka bisa tahu kak Anthony dari mana?."
Kedua mata Zahra membulat sempurna, "Kak Eiko gak tahu?."
Tahu apa?
"Waktu kak Eiko ke luar negeri. Kak Sandra mau bunuh diri dengan meminum racun di kamar mandi, dia melahirkan dengan paksa, kak Anthony membatunya dan melakukan operasi darurat. Semua ibu-ibu bilang kak Anthony suami idaman, udah ganteng, pintar, cool lagi."
Bukankah Sandra masih sekolah?, ada apa dengan kompleks ini. Sudah cukup aku dan Tony berbuat dosa, ternyata ada yang lebih dari kami.
Aku berdehem, canggung rasanya membicarakan aib orang lain, selain itu dosa. "Terus Zahra ada perlu apa?."
"Kak Anthony pintar matematikanya kak, Zahra mau ikutan olimpiade. Kata mamah minta tolong sama kak Anthony."
"Nanti biar kakak sampaikan ya" bibirku menekan, memikirkan bagaimana mamahnya memanfaatkan kepolosan Zahra.
Tidak bisa di biarkan.
To be continue...