__
Selamat membaca.
__
Saat kau ada di sisiku, perasaanku menjadi takut, entah takut kehilanganmu, atau takut bahwa ini hanyalah ilusi semata yang diciptakan oleh otak dan keinginanku sendiri, padahal nyatanya kamu benar-benar tidak ada di sisiku selama ini.
__
Entah Diandra harus merasa senang atau merasa sedih dengan keadaan dan situasi sekarang, Diandra yang hanya diam duduk di samping Azlan yang tengah dilayani oleh Rafin sebagai coustomer di tempat Rafin bekerja, sialan, dari sekian banyak karyawan dan karyawati di toko ini, kenapa Rafin yang malah melayani Azlan? Kenapa laki-laki itu? Apa sekarang sepertinya Tuhan tengah bercanda dengan Diandra?
Kira-kira, kalau Diandra bisa meminjam alat doraemon satu kali saja saat ini, ia akan segera melakukannya, ia akan meminta doraemon mengeluarkan pintu kemana saja, atau jubah penghilang, ia ingin sekali menghilang dari tempat ini, sekarang juga, menghilang dari sisi Azlan, menghilan dari hadapan Rafin saat ini.
Diandra tanpa segan memandang Rafin yang kini tengah menjelaskan harga, kegunaan, juga manfaat dari berbagai macam benda yang ada di hadapannya kepada Azlan, Diandra hanya diam sambil memandang Rafin yang hari ini terlihat manis sekali, rambut laki-laki itu disisir rapi ke sebelah kanan, menampilkan kesan yang sangat rapi juga ah tampan, pakaian laki-laki itu juga harum dan bersih, hidung mancung juga mata sayu Rafin lagi-lagi membuat Diandra tak bisa memalingkan wajahnya – selagi Rafin tak mendapati Diandra yang sepertinya terpesona dengan Rafin. Sialan kenapa Rafin malah menggangu otak Diandra sampai seperti ini, sampai membuat Diandra bahkan tidak lelah menatap laki-laki itu, Rafin seolah mencuri semua perhatian yang dimiliki oleh Diandra, bahkan tidak meninggalkan sedikit pun dari perempuan itu, perhatiannya, dan mungkin hatinya kini sudah jatuh kepada Rafin.
Panggilan dari ponsel Diandra membuat Rafin melirik perempuan itu sebentar, tak berbeda dengan Azlan, Azlan langsung menahan lengan Diandra yang ingin beranjak dari tempatnya duduk untuk menerima panggilan dari itu ya Azlan mengerti pasti Diandra ingin menjauh, tapi, Azlan tidak ingin Diandra menjauh dari dirinya hanya karena sebuah panggilan dari ponsel perempuan itu, Azlan ingin Diandra masih ada di dekatnya.
“Dari Mbak Monik, Lan,” jawab Diandra sambil menepis tangan Azlan dari tubuhnya berniat untuk kembali meninggalkan tempatnya, tapi perempuan itu tetap tidak bisa lepas dari Azlan, tangan kiri Azlan yang bebas kembali menahan tangan Diandra, untuk tidak pergi dari tempatnya. Diandra akhirnya menyerah ia kembali ke tempat duduknya, sebelum panggilan dari Mbak Monic – editor n****+ yang tengah Diandra kerjakan terputus, ia dengan cepat menerima panggilan itu.
Yah, bukan hanya sebagai staf Adminitrasi, Diandra juga mencoba peruntungannya di dunia letrasi sebagai penulis n****+, perempuan yang tingkat hayalnya tinggi itu, kini tengah mengejarkan novelnya yang kelima karangannya, sebenarnya prosesnya memang sudah ditahap revisi ending, perempuan itu masih berkonsultasi tentang akhir cerita di n****+ itu.
Dari empat n****+ yang sudah terbit, Diandra memang membuat akhir cerita yang teragis, Diandra sama sekali tidak menyatukan dua tokoh utama di novelnya, Diandra selalu saja membuat ending yang biasanya pembaca sebut sad padahal bagi Diandra itu bukan lah ending yang sedih. Diandra hanya ingin realistis dengan keadaan pada saat di cerita itu, ia tidak ingin membuat akhri yang emngada-ngada bagi tokohnya, kita harus sadar dengan keadaan maksud Diandra dalam karangannya itu, kadang kebahagiaan yang kita pikir bisa kita raih dalam hidup, bisa saja tidak akan terjadi, seperti yang akhir-akhir ini Diandra rasakan sendiri di hidupnya.
Ia pikir ia bisa bahagia hanya dengan berdiri di samping Azlan, tanpa bergandengan atau tanpa ikatan dengan Azlan, tapi ternyata tidak, Diandra tidak bisa bahagia akhirnya, karena tanpa sadar Azlan bediri di sampingnya entah sebagai bayangan atau memang nyata, Diandra sama sekali tidak bisa menebak akhirnya, entah Azlan akan menggandeng tangannya atau akan pergi meninggalkannya. Diandra ingin bahagia, tapi bisa saja kan akhir yang ditulis Tuhan untuk dirinya dan Azlan akan berpisah, tidak menyatu, bukan?
Setelah mendapatkan cekalan dari Azlan mau tidak mau Diandra menerima panggilan dari Mbak Monic di samping Azlan yang sama saja artinya itu di hadapan Rafin. Diandra diam saat mendengarkan ceramah dari Mbak Monic, perempuan yang berbeda sembilan tahun dengan Diandra itu masih bersikeras untuk membujuk Diandra untuk mengubah akhir dari ceritanya yang ia serahkan kepada Mbak Monic itu.
“Mbak bukannya menggurui kamu, tapi setiap kamu meluncurkan n****+, itu akhir ceritanya mengenaskan, enggak mau coba ending bahagia?” kalimat pertama dari panggilan mereka membuat Diandra mendengus, Mbak Monic memang tidak salah saat memberi saaran begitu, lebih-lebih jalan cerita yang ditulis oleh Diandra sejak awal sudah sangat manis untuk dua tokoh utama, yang pastinya akan lebih manis untuk berakhir bahagia, berakhir dua tokoh itu untuk bersama.
“Mbak,” jawab Diandra. “Mana ada sih di dunia ini akhir yang bahagia?” katanya yang membuat Azlan memalingkan wajahnya kearah Diandra, Azlan sebebanrnya memang sudah tahu apa masalah yang tengah dihadapi oleh Diandra, karena yah sering kali Diandra diteror oleh Mbak Monic untuk memikirkan jalan dari kisah ceritanya lagi, dan Diandra juga tengah bersikeras untuk tidak mengubah keputusan dari akhir cerita yang ia buat itu.
Diandra menarik napas saat Azlan tiba-tiba menatapnya dan menahan tangan Diandra yang ingin menjauh lagi, Diandra muak, bukan kah Mbak Monic harusnya mengerti tentang tulisan yang Diandra kerjakan itu, itu bukan hanya tentang dua tokoh dan beberapa tokoh pendukung di dalam cerita itu, cerita itu bukan hanya naskah yang berisikan kata-kata bualan atau rayuan saja, naskah itu sebenarnya isi dari ketakutan hati Diandra sendiri, ia takut kisahnya akan berakhir setragis itu, hingga tanpa sadar Diandra menuliskannya lebih dahulu jalan cerita yang ia alami, mencoba berdamai dengan keadaan mulai sekarang karena rasanya Diandra yakin bahwa kisah cintanya bersama dengan Azlan tidak berakhir dengan bahagia atau bersama.
“Nanti aku coba revisi deh Mbak,” jawab Diandra akhirnya, lalu tanpa keraguan perempuan itu menutup panggilan dari Mbak Monic, Diandra tahu perasaannya sudah tidak mood saat melihat Rafin di depannya, dan itu harusnya aneh, harusnya Diandra merasa bahagia bukan saat bertemu dengan laki-laki itu, tapi rasanya kali ini tidak, Diandra sedang tidak ingin bertemu laki-laki itu.
Wajah Diandra tak lagi menampilkan senyum sama seperti ia masuk ke dalam toko ini tadi, wajah Diandra telrihat tidak bersahabat sekarang, ia itu juga tak membuka percakana keapda Azlan selagi Azlan menunggu beberapa alat lagi yang tengah diambilkan oleh Rafin.
Diandra hanya diam, perempuan itu menaruh wajahnya ke dalam tangkupan dua tangannya yang bertumpu di meja etalase di took itu, tatapan mata Diandra mengiring Rafin yang berjalan kearahnya, lebih tepatnya kearah Azlan yang duduk di sampingnya.
“Maaf Mas sebelumnya, stocknya tengah kosong, tapi seandainya Mas mau menunggu bisa saya ambilkan ke toko lain, dan kalau Mas tidak bisa menunggu saya juga bisa mengantarnya ke rumah Mas,” jelas Rafin yang kini membuat Azlan menatap Diandra, sedangkan Diandra entah mengapa tak memalingkan wajahnya sama sekali dari Rafin.
“Kalau gitu saya ambil aja, nanti dikirimnya ke rumah Mbak yang ini aja,” kata Azlan sambil menunjuk Diandra yang duduk di sampingnya dengan dagunya. “Yaudah totalnya berapa, Mas?” tanya Azlan lagi yang membuat Rafin mengatakan silahkan ikut dia ke kasir sekalian meminta alamat untuk pengantaran barang yang akan diantar nantinya.
“Ikut sana,” kata Azlan menyuruh Diandra untuk membuntuti Rafin ke kasir. “Ini, kartu debit, pinnya masih tanggal lahir kamu,” katanya lagi memberikan Diandra kartu debitnya, entahlah apa yang tengah Azlan lakukan ini, atau, ini hanya karena Azlan ingin Diandra dekat dengan laki-laki itu? Tidak jelas, tapi hatinya sedikit merasa takut kalau Diandra benar-benar berdekatan dengan laki-laki itu.
Diandra duduk di depan kasir yang di belakang kasir itu Rafin berdiri, laki-laki itu terdengar memastikan kembali barang yang dipesan oleh Azlan ada di toko yang lain melalu sambungan telpon.
“Bisa minta alamatnya Mbak, dan nomor telponnya, nanti kalau saya sudah jalan ke rumah Mbak, saya akan kabari Mbak,” kata Rafin sambil memberikan secarik kertas dan juga polpen kepada Diandra.
Diandra mengangguk lalu mengambil kertas juga polpen yang disodorkan oleh Rafin, setelahnya ia menuliskan alamatnya juga nomor telponnya dengan lengkap – karena ia juga tidak mau Rafin tersesat ia mengembalikan secarik kertas itu kepada Rafin, karena selain itu menyusahkan Rafin juga pasti akan menyusahkan Diandra juga karena harus menunggu laki-laki itu.
p********n di kasir pun selesai, Rafin tersenyum hangat saat Diandra dan Azlan pergi dari toko tempatnya bekerja, tak lama dari itu pun Rafin bersiap untuk ke kantor cabang satunya untuk mengambilkan barang yang dipesan oleh Azlan, dan mengantarkan ke rumah Diadnra.
__