Kim Seo Hyung berdiri di depan cermin. Pria itu tengah mengikat dasi berwarna biru navy yang ia padukan dengan kemeja biru muda. Setelan jas berwarna broken white dengan celana sebatas tumit. Seo Hyung menutup tampilan formalnya dengan pantofel warna senada dengan setelan jas yang ia kenakan.
Dalam list tercatat pukul 7 waktu Seoul ia akan menyambut keluarga Park. Dan sekarang sudah pukul 6 lebih 55 menit. Benar-benar tipikal orang disiplin. Di manapun, ketepatan waktu memang harus menjadi prioritas utama baginya.
Seo Hyung kembali menarik napas lalu membuangnya dengan cepat. Entah apa yang harus ia katakan. Sepanjang hari pria berdarah Kim itu tidak bisa fokus bekerja. Ini masalah besar. Keluarga Park adalah keluarga yang terlalu lama membangun kerja sama dengan keluarganya. Sejak dulu ayahnya begitu menghormati Park Jang Hae, ayah dari calon istrinya.
Bagaimana jika gadis yang berkunjung ke kantornya benar-benar tunangannya, apa yang harus ia lakukan untuk menyangkal perbuatan tidak sopannya? Bagaimana jika gadis itu mengadu pada ayahnya? Akan terjadi masalah yang besar jika Park Jang Hae sampai tahu anak Kim Seo Dam telah melukai perasaan putrinya dan itu tidak baik untuk Kim Seo Hyung.
“Aish!” Kim Seo Hyung menggeram lantas mendengkus kasar.
Pria itu menengadahkan wajah sambil kembali menarik napas. Ia menghitung dari satu sampai seratus di dalam hati. Simulasi yang kerap kali ia lakukan ketika amarah makin tak tertahankan. Bukan terapi dari para dokter, hanya simulasi yang ia buat sendiri namun nyatanya selalu berhasil.
“Fyuhhhh ….” Kim Seo Hyung merasa lebih baik setalah membuang napas gusar.
Kim Seo Hyung kembali menatap cermin sekedar untuk merapikan penampilannya. Sentuhan terakhir untuk membuat penampilannya makin terlihat berkelas adalah jam tangan rolex dengan pinggiran berlian dan emas. Cukup. Kim Seo Hyung pun keluar dari ruang pribadinya dan bergegas menuju lantai satu.
“Seo Hyung,” panggil Nyonya Song, ibunya. Ia menghampiri Kim Seo Hyung yang baru tiba di beranda rumah.
“Ya, ibu.” Seo Hyung menyahut sambil memaksa senyum di wajah.
Song Tae Eul menghampiri anaknya sambil membawa sebuket mawar putih. Dengan memoles senyum di wajah, ia pun memberikan bunga dalam genggamannya pada Seo Hyung.
“Berikan saat mereka datang,” ucap wanita itu, penuh kelembutan.
“Hem,” sahut Seo Hyung mempertahankan senyum di wajah.
Tak lama berselang, Kim Seo Dam pun datang bersama Kim Sun Yi, adik Seo Hyung. Maka lengkaplah sudah kebersamaan keluarga tersohor itu lengkap dengan penampilan formal berkelas.
Terdengar suara klakson mobil pertanda tamu yang di tunggu-tunggu telah tiba.
“Pukul tujuh lebih dua menit,” gumam Kim Seo Dam sambil melirik arloji mahal yang melingkari pergelangan tangan kanannya. Ia menarik napas seraya mengangkat dagunya tinggi. Seringaian berkembang di wajah tegasnya. Astaga, dia harus mengolok Park Jang Hae dalam hati hanya karena pria itu terlambat 2 menit. Sekali lagi 2 menit.
Tampak sepasang suami istri turun dari dalam mobil mewah pabrikan dalam negeri. Disusul seorang gadis berbalut gaun putih sepanjang tumit yang ditumpuk dengan outer oversize berbulu berwarna senada dengan dressnya.
Kim Seo Hyung mengerutkan dahi. Apakah matanya yang salah mengenali ataukah tadi pagi ia hanya berhalusinasi? Gadis yang ia temui di kantor dan gadis yang kini berjalan memasuki rumahnya, dari cara berpakaian dan penampilannya sudah jauh berbeda.
Waktu seperti melambat ketika gadis berbalut long dress berwarna putih itu mendekat. Rambut panjang berwarna hitam yang terurai rapi dengan bagian bawah yang di curly. Ia berjalan begitu pelan menghampiri Kim Seo Hyung dan keluarganya.
“Selamat malam,” sapa keluarga Park lebih dahulu.
Layaknya dua keluarga yang saling bersilaturahmi. Para ayah akan berpelukan ala pria dan para ibu akan melakukan ritual cium pipi sambil terus tertawa seolah-olah ada sesuatu yang lucu.
Sementara di sisi lain, Kim Seo Hyung sedang terperangah. Memandangi senyuman gadis di depannya. Samar-samar ia mengenal gadis itu namun, saat manik mata Seo Hyung mengecil menyelidik penampilan gadis yang sedang tersenyum itu, rasa-rasanya ada yang salah.
“Seo Hyung,” sapa Song Tae Eul, ibu Seo Hyung. Wanita itu terkekeh saat melihat tingkah putranya. Ia pun menyenggol lengan wanita di sampingnya sambil mengedipkan mata.
“Sepertinya kecantikan Park Ahn Lee memang sanggup menyihir, yah.” Song Tae Eul memuji kecantikan calon mantunya.
Jeong Yoora ibu Park Ahn Lee hanya merespon dengan senyum seadanya. Jelas saja putrinya sangat cantik. Keluarga Kim harus bersyukur bisa meminang putri semata wayangnya.
“Hei, Kak.”
“Eh?!”
Seo Hyung akhirnya bergeming saat Kim Sun Yi menepuk pundaknya dengan kasar. Pria itu pun tersadar dari lamunannya.
“Ohm, maaf.” Kim Seo Hyung lekas memperbaiki sikapnya.
Terdengar tawa renyah dari dua orang pria yang berdiri di samping Seo Hyung. Park Jang Hae menampar pelan lengan Seo Hyung.
“Kau akan puas memandangnya saat waktunya telah tiba,” ucap Park Jang Hae yang hanya disambut dengan tawa kaku dari Seo Hyung.
Astaga, mereka salah kira. Bukannya Seo Hyung terkesiap oleh karena pesona gadis itu, bukan. Kim Seo Hyung sedang berusaha membedakan manakah sifat asli dari gadis yang sebentar lagi akan menjadi istrinya. Karena jelas sekali, ada sesuatu yang berbeda dari gadis di depannya.
Senyum dan gerak-geriknya. Entahlah. Seperti satu orang dengan berbagai kepribadian. Yang sedang ia tunjukan saat ini ….
‘Palsu,' batin Seo Hyung.
Kim Seo Hyung tahu persis jika gadis berambut pirang dengan baju seksi yang menghampiri dirinya tadi pagi adalah gadis yang sama yang sedang berdiri di depannya. Hanya saja, dia seolah sedang memasang citra yang baik.
“Apa kabar, Seo Hyung,” sapa Park Ahn Lee.
Manik mata Seo Hyung mengecil. Ia kenal suara ini. Walau dengan pembawaan yang berbeda tetap saja Kim Seo Hyung telah lebih dahulu mengenali watak sang gadis.
‘Licik dan cerdik.’ Lagi-lagi Seo Hyung membatin. Sejurus kemudian ia pun bergeming. Memperbaiki mimik wajah agar terlihat lebih baik. Jika gadis di depannya bisa berakting, maka Kim Seo Hyung bisa melakukan hal yang sama.
“Ah, lama tak bertemu.” Kim Seo Hyung menutup kalimatnya dengan senyum kotak. Ia menjulurkan tangan yang langsung di sambut oleh Park Ahn Lee.
“Perkenalkan, nama saya Kim Seo Hyung putra Kim Seo Dam. Saya rasa saya tidak perlu menceritakan seluk beluk kehidupan saya. Terima kasih sudah datang memenuhi undangan makan malam kami,” ujar Kim Seo Hyung. Masih menggenggam tangan Park Ahn Lee, ia pun memutar wajah menatap ayahnya lalu melanjutkan, “Anda sangat cantik malam ini.”
Kim Seo Dam menatap putranya dengan tatapan dingin. Kim Seo Hyung bisa melihat rahang ayahnya yang mengencang sebelum ia kembali memutar pandangan menatap gadis di depannya. Pria Kim itu berusaha keras menarik kedua sudut bibirnya untuk kembali memberikan senyum.
“Lihat … kalian cocok sekali, astaga ….” Song Tae Eul terus saja memuji walau wanita di depannya tak menggubris lebih.
“Ayo, kita masuk. Mengobrol sambil makan malam jauh lebih menyenangkan,” ucap Kim Seo Dam.
Sambil mengulurkan tangan dan merangkul Park Jang Hae dari samping, Kim Seo Dam pun menuntun keluarga Park menuju ruang makan.
Ruangan yang telah di tata sedemikian rapi dengan berbagai furniture berkelas di tambah perapian dengan desain modern yang terletak berseberangan dengan meja persegi panjang. Alat makan terbuat dari perak dan emas. Dua botol anggur merah mahal dengan label Cheval Blanc menambah kesan mewah pada jamuan makan malam itu.
Duduk berhadap-hadapan antara keluarga Park dan keluarga Kim. Para pelayan dengan santun mulai menghidangkan makanan. Kali ini Kim Seo Dam menjamu mereka dengan makanan bergaya rustic namun tetap mencampurkan dengan beberapa makanan khas Korea.
“Hem … Jadi, Ahn Lee telah berhasil mendapat gelar MBA di Oxford. Wah, Kim Seo Hyung juga menyelesaikan pendidikan yang sama lima tahun yang lalu. Ia, kan?” ujar Song Tae Eul membuka percakapan. Ia memutar pandangan lalu mengelus satu sisi lengan Seo Hyung.
Pria Kim itu memandang ibunya sambil tersenyum. “Hem,” sahut Seo Hyung.
“Yah. Park Ahn Lee memang sedikit terlambat. Maklum lah, dia mengejar dua gelar sekaligus,” timpal Jeong Yoora, ibu Ahn Lee. Sorot mata wanita berumur 45 tahun itu terlihat sinis saat memandang Song Tae Eul. Ia memang tidak senang jika anaknya di beda-bedakan dengan anak yang lain sekalipun itu calon suaminya. Bagi Jeong Yoora, putri semata wayangnya adalah wanita paling sempurna.
“Hem, bagaimana dengan proyek smart city yang akan dirilis tahun depan? Kudengar The Luckiest masuk dalam urutan 3 teratas yang lulus kualifikasi,” ujar Park Jang Hae menambah percakapan. Lagi-lagi soal bisnis.
“Ah ….” Kim Seo Dam menghentikan aktivitas makannya. Sejenak memperhatikan pria di depan. Ia pun menuangkan anggur ke gelas Park Jang Hae. Sebelum menuangkan ke gelasnya.
“Sejak awal aku sudah memperkirakannya. Tender itu memang milik The Luckiest,” ujar Kim Seo Dam.
“Tapi Primary Group juga ada di list yang sama,” ucap Park Jang Hae. Ia menoleh kecil lewat kelopak matanya. “Jangan sampai The Luckiest kalah dengan perusahaan Amerika itu,” lanjutnya. Ia sengaja memberikan tatapan yang berupa peringatan. Seolah-olah lewat tatapannya itu Park Jang Hae ingin mempertegas bagaimana kekuatan perusahaan asal Amerika itu.
Terdengar hembusan napas panjang dari Kim Seo Dam. Perlahan-lahan ia mulai mengangkat wajahnya. Menjauh dari meja makan lalu membawa punggung ke sandaran kursi. Ia menatap Park Jang Hae sejenak.
“Haha!” Tawa renyah dengan suara berat menggema. Datangnya dari Kim Seo Dam. Pria itu menggeleng pelan lalu berucap,
“Sejauh ini The Luckiest tidak pernah kalah tender.” Nadanya pelan namun tegas.
“Hem,” sahut Park Jang Hae sambil mengangguk lambat-lambat. “Tapi ini proyek besar. Membangun sebuah kota dengan tema kota cerdas memerlukan kemampuan yang tidak biasa,” ujar Park Jang Hae.
Hening selama beberapa saat. Mendadak suasana menjadi tegang. Hanya terdengar suara dari alat makan oleh anggota keluarga yang lain. Mereka ikut terdiam saat mendengarkan ucapan dari para kepala keluarga.
“Ahh – haah ….” Song Tae Eul bersuara. Berusaha mencairkan suasana dengan tertawa hambar. “Sayang,” panggilnya pada sang suami. “Sebaiknya bicarakan itu nanti saja. Bukankah malam ini ada hal yang lebih penting untuk dibicarakan?” ujarnya.
“Untuk bisa memenangkan tender kali ini, sepertinya Anda butuh bantuan, Presdir Kim.” Park Jang Hae tidak menggubris ucapan Song Tae Eul dan lanjut membicarakan hal yang terlanjur menjadi salah satu tujuannya kemari.
Terlihat Kim Seo Dam tersenyum sekilas. “Saya paham maksud perkataan Anda Presdir Park,” ucap Kim Seo Dam.
Kedua pria itu berkuasa itu saling menyelidik tatapan. Namun, jelas salah satu dari mereka telah paham tujuan pembicaraan ini.
“Jadi ….” Kim Seo Dam memutar pandangan menatap putranya lalu menatap sang calon menantu. Ia kembali tersenyum. Senyum yang hanya diperlihatkan Kim Seo Dam pada orang-orang tertentu. “Kita hanya perlu memperkuat posisi The Luckiest,” ujarnya.
Seringaian terbit di ujung bibir Park Jang Hae. Ia menatap Kim Seo Dam dengan tatapan licik.
“Jika Galaxy Group ikut memberikan suara pada The Luckiest sudah pasti tak akan ada lagi yang mampu menyaingi The Luckiest. Sekalipun perusahaan luar negeri sekelas Primary Group,” ujar Park Jang Hae.
Obrolan antara Presdir Park dan Presdir Kim membuat kuping Kim Seo Hyung terasa panas. Ia tentu sudah paham maksud perkataan Park Jang Hae barusan. Bukankah sudah jelas? Mengapa ia perlu mengatakannya lagi dan bahkan dengan alibi proyek smart city. Itu tidak perlu.
Kim Seo Hyung telah merancang semuanya. Baik kualifikasi dasar, perancangan modal, gambaran dan simulasi untuk smart city yang berbeda dari perusahaan yang lain. Bahkan Kim Seo Hyung telah memperkirakan hingga pada profit perusahaan. Semua telah diatur.
Kim Seo Hyung mengerjakannya dengan penuh keseriusan. The Luckiest Group telah sangat siap mengikuti tender itu. Kim Seo Hyung pun telah membuktikannya. Dari sekian banyak perusahaan yang mengikuti tender besar itu, tiga yang terbaik adalah perusahaan yang dikelolanya. Untuk apa penambahan dukungan?
Toh semua itu akan diputuskan oleh orang-orang berjas di gedung biru. Apakah ….
“Pasti mudah bagi Presdir Park melobi pak Presiden,” ucap Kim Seo Dam.
Kelopak mata Kim Seo Hyung melebar lambat-lambat. Jadi ini tujuan percakapan antara Kim Seo Dam dan Park Jang Hae. Melobi? Presiden?
“Ayah …,” panggil Kim Seo Hyung. Kedua tangannya telah mengepal di atas paha. Ini benar-benar tidak adil. Bagaimana bisa ayahnya kembali membuat Kim Seo Hyung merasa tidak berguna.
Kim Seo Dam dengan santainya tersenyum lalu berucap, “Saya pasti akan sangat terbantu jika Presiden ikut memberikan bantuan.”
Desahan nafas panjang menggema di depan wajah Kim Seo Hyung. Wajah pria itu berubah gusar. Ia menggelengkan kepala. Menunduk sambil tersenyum getir.
Lagi dan lagi. Ia kembali merasa terhina.
Kim Seo Hyung sudah berusaha mati-matian selama hampir setahun namun pada finalnya kenapa sang ayah lebih memilih jalur nepotisme yang selama ini mati-matian ditolak Seo Hyung.
Walaupun kembali merasa dibodohi oleh sang ayah, walau sampai sudah seperti ini pun Kim Seo Hyung tak mampu menyangkal selain menggoyangkan kepala sebagai bentuk protesnya.
“Anggap saja The Luckiest telah lolos seleksi dan tender itu telah menjadi milik Anda,” ujar Park Jang Hae penuh percaya diri.
Kim Seo Dam mengangguk. “Sekarang mari bicarakan soal pernikahan,” ujar pria itu.
“Ahn Lee,” panggil Kim Seo Dam.
“Ya, tuan Kim.” Gadis yang sedari tadi berdiam diri dengan wajah polos itu akhirnya bersuara.
Kim Seo Dam tersenyum. Bahkan senyum ini tak pernah diperlihatkan pada Sun Yi anak gadisnya.
“Kim Seo Hyung sudah menyediakan pesta pernikahan yang meriah. Namun, jika kau ingin menambahkan sesuatu. Yah, kau tahu … apa yang populer saat ini? Ehhh ….”
“Wedding dream,” sahut Ahn Lee.
“Yah, itu.” Kim Seo Dam tertawa di susul Song Tae Eul yang juga ikut tertawa, bahagia melihat calon menantunya yang begitu terlihat polos.
“Ahh, Anda bisa saja.” Park Ahn Lee memutar pandangan. Kali ini ia menatap Kim Seo Hyung tepat saat pria itu mengangkat wajahnya.
“Untuk urusan itu, biarkan aku dan calon suamiku yang merencanakannya,” ucap Park Ahn Lee. Ia menutup kalimat dengan senyum polos layaknya seorang anak kecil yang baru diberi pilihan untuk memilih mainannya.
Orang-orang yang duduk di meja makan terus saja melempar senyum. Mengumbar pujian yang sebenarnya tak pernah datang dari hati yang tulus. Hanya sekedar basa-basi. Semua ini palsu.
Satu-satunya orang yang begitu tidak menikmati acara makan malam ini adalah Kim Seo Hyung. Terlebih, saat ia terus menatap Park Ahn Lee. Senyum yang diperlihatkan oleh gadis Park itu membuat Kim Seo Hyung makin risih.
Selain pernikahan politik ini. Apalagi kiranya yang akan dilakukan Kim Seo Dam untuk semakin membuat putranya menderita.
Rasa-rasanya Kim Seo Hyung hampir tidak mengenali dirinya. Ia bagai manusia yang kehilangan jiwa. Bagai sebuah boneka yang dikendalikan oleh sang ayah.
‘Menyebalkan.’ Dan sialnya ia hanya mampu merutuk di dalam hati.