“Cepat naik! atau aku tinggalkan kau di sini.” Jonas memerintah Amanda dengan kasar sebab gadis itu masih berdiri kaku di depan pintu mobil.
“I—iya ....”
Amanda naik ke dalam mobil dan duduk di samping Jonas. Setelah Roni memastikan semua penumpangnya dalam keadaan baik, pria paruh baya yang berperawakan lembut itu pun segera melajukan mobilnya menuju lokasi yang dimaksud oleh Jonas. Mobil itu membawa mereka ke sebuah hotel bintang lima milik Jonas.
Di sepanjang perjalanan, netra Amanda tidak pernah putus memerhatikan jalanan ibu kota Jakarta yang begitu padat dan sesak. Gedung-gedung pencakar langit yang menjulang tinggi, membuat netra cantik itu tidak berkedip. Sesekali, suara gumaman keluar dari bibir Amanda. Gadis itu begitu kagum.
Dengan sudut matanya, Jonas memerhatikan sikap Amanda. Pria itu terkekeh dalam hati melihat kepolosan gadis pesanannya itu.
Tidak lama, mobil yang dikendarai Roni, sudah sampai di depan lobi hotel milik keluarga Jonas. Jonas turun lebih dahulu tanpa menghiraukan Amanda.
“Pak?” Amanda menatap Roni.
Roni hiba, “Tidak apa-apa. Bapak akan mengantar ke kamar kalian.”
Roni pun menurunkan koper Amanda dan membantu gadis itu membawa kopernya. Amanda berjalan di sebelah Roni, sementara Jonas sudah menghilang dari pandangan.
“Selamat Siang, Pak Roni.”
“Selamat Siang, Mbak. Maaf, saya ingin mengantarkan gadis ini ke kamar atas. Beliau ini ....”
“Saya tahu, Pak. Silahkan.” Sang resepsionis menjawab ramah.
Roni mengangguk seraya tersenyum. Ia pun menuntun Amanda menuju lift yang akan membawa mereka ke lantai dua puluh hotel itu.
“Ada apa?” tanya Roni ketika mereka berdua baru saja masuk ke dalam lift. Amanda tanpak pucat dan gemetar. Ia bersandar pada dinding lift padahal lift itu sama sekali belum berjalan.
“Ma—maaf, Pak. Amanda belum pernah naik lift seperti ini. Apa lagi ini lantainya banyak banget. Memangnya nggak takut gempa ya?” tanya Amanda, polos.
Roni terkekeh ringan, “Tidak apa-apa, Nona. Ini aman kok. Baiklah, kita akan segera ke lantai dua puluh.”
“La—lantai dua puluh?” Amanda tergagap.
“Iya, memangnya kenapa?”
“Tinggi sekali?”
“Itu masih belum tinggi. Yang paling tinggi di bangunan ini adalah lantai empat puluh dua.”
“APA?!” Amanda nyaris berteriak.
Roni kembali terkekeh, “Bahkan ada bangunan yang lebih tinggi lagi di kota ini. Ada yang sampai lantai tujuh puluhan lebih lho?” Roni mulai menekan tombol nomor dua puluh dan lift itu mulai bergerak perlahan.
Amanda semakin terhenyak. Perlahan ia pun menurunkan tubuhnya hingga terduduk di lantai.
“Nona, sebelumnya anda belum pernah naik lift ya?”
Amanda menggeleng. Bibirnya kelu dan wajahnya pucat pasi.
“Tidak apa-apa. Anda aman dalam lift ini.”
“Ba—bagaimana kalau tiba-tiba liftnya rusak dan berhenti di tengah jalan?”
“Lift ini sudah dilengkapi dengan sistem keamanan yang canggih dan juga CCTV. Jadi kalau memang ada masalah, maka petugas keamanan akan cepat mengetahuinya.”
“Owh ....” gumam Amanda yang masih saja terduduk di lantai.
Tidak lama, lift itu berhenti.
“Astaghfirullah ....” gumam Amanda, lirih. Ia terkejut.
“Sudah, tidak apa-apa. Kita sudah sampai di lantai dua puluh. Mari berdiri dan ikut saya ke kamar anda.”
Amanda berdiri karena pintu lift itu sudah terbuka. Beberapa orang sudah berdiri di depan lift dan menatap Amanda dengah heran.
“Mari ikut saya,” ucap Roni lagi setelah ke duanya berada di luar lift.
Amanda terus memerhatikan sekitar seraya berjalan mengikuti arah langkah kaki Roni. Gadis itu menatap takjub desain interior gedung hotel itu. Tempat yang mereka lewati kini adalah sebuah lorong dengan lebar sekitar tiga meter. Namun lorong itu tampak sangat indah dengan aneka lampu dan beberapa perabotan berupa kursi dan meja yang terdapat di beberapa bagian.
Amanda juga memerhatikan semua pintu kamar yang sudah memiliki nomornya sendiri-sendiri. Ia terus berjalan seraya memerhatikan sekitar hingga Amanda tidak sadar jika Roni sudah berhenti di depan sebuah pintu kamar.
Roni membiarkan saja Amanda yang tanpa sadar terus berjalan. Ia hanya memerhatikan gadis polos itu dengan sebuah senyuman. Namun di balik senyuman itu, ada segurat perasaan kasihan. Roni mengingat putrinya yang saat ini berumur lima belas tahun. Ia kasihan terhadap Amanda, gadis polos yang terlihat cukup pintar itu harus rela menjual dirinya kepada seorang pengusaha kaya.
“He—eh ....” Tidak lama, Amanda pun tersadar. Ia berjalan sendiri tanpa ada Roni di sebelahnya. Ia memutar tubuhnya dan melihat Roni sudah berhenti di depan sebuah pintu kamar. Roni pun memberikan seulas senyum ke arah Amanda.
Amanda berjalan dengan cepat, “Pak, kok diam saja sich? Bapak malah membiarkan Amanda berjalan sendiri.” Amanda cemberut.
“Bapak lihat, nona begitu menikmati pemandangan hotel, makanya bapak membiarkan saja.”
“Ma—maaf, Pak.”
“Tidak apa-apa. Oiya, sebaiknya nona segera masuk ke dalam. Pak Jonas pasti sudah menunggu. Jangan membuat beliau menunggu lama, sebab beliau bisa marah nanti.”
Amanda mengangguk lemah, “Baiklah, Pak.”
Baru saja Roni hendak menekan bel, Amanda segera memegang tangan pria itu, “Pak, ma—maaf sebelumnya. Pak Jonas itu nggak jahat’kan?” Amanda mengernyit.
“Maksudnya?”
“Ma—maksudnya ... Hhmm ... Begini, aku pernah baca artikel. Biasanya orang kaya seperti pak Jonas itu sudah memesɑn wanita seperti saya, itu artinya mereka ada kelainan jiwɑ. Ma—maksudnya, wanita itu hanya untuk disiksa saja, begitu.” Amanda cukup sulit mengutarakan maksud hatinya.
Roni menggeleng, “Yang bapak tahu, selama ini pak Jonas itu adalah pria yang sangat baik. Ia memang dingin dan sedikit angkuh, tapi ia tidak pernah bersikap kasar kepada perempuan. Oiya, bapak ingin mengatakan sesuatu. Bapak sudah dua puluh tahun menjadi sopir pribadinya pak Jonas dan baru pertama kali ini beliau membawa wanita bersamanya.”
Amanda mengangkat alisnya, keningnya ikut mengernyit, “Oiya? Jadi sebelumnya pak Jonas tidak pernah memesɑn gadis seperti saya ini?”
Roni menggeleng, “Tidak pernah. Jangankan memesɑn gadis atau wanita, berpacaran pun selama ini pak Jonas tidak pernah.”
“Masa? Lalu kenapa dia memesɑn saya?”
“Maaf, Nona. Walau saya tahu jawabannya, tapi bukan wewenang saya untuk menjawabnya. Silahkan anda tanyakan langsung saja pada pak Jonas.”
Amanda mengangguk, mencoba mencerna penjelasan Roni.
“Okay, sebaiknya anda segera masuk. Pak Jonas memang baik, akan tetapi kalau ia sudah marah maka ia bisa murka semurka-murkanya. Ia tidak akan segan-segan menyakiti orang yang sudah membuat ia murka.”
Wajah Amanda yang sebelumnya datar dan biasa saja, seketika berubah kecut. Ia takut.
“Tapi tadi kata bapak, orang itu baik?”
“Ia akan sangat baik apabila orang itu bisa membuat ia senang. Makanya, anda harus membuat pak Jonas senang agar ia bersikap baik kepada anda.”
Amanda kembali mengangguk, “Baiklah, Pak.”
“Kalau begitu, saya akan tekan belnya. Kalau pintunya sudah terbuka, silahkan anda masuk dan bawa sendiri koper anda. Tugas saya sudah selesai sampai di sini.”
“I—iya, Pak.”
Roni pun kembali menatap bel. Ia memencet bel itu sekali lalu kembali berdiri dengan tegap. Tidak lama, pintu itu terbuka dengan sendirinya.
“Silahkan masuk, bawa sendiri koper anda.”
Amanda mengangguk dengan lemah. Ia menerima kopernya dan mulai melangkah dengan ragu. Terlebih, ia tidak melihat siapa pun di balik pintu. Amanda semakin takut karena bingung kenapa pintu itu tiba-tiba saja bisa terbuka dengan sendirinya.
Setelah tubuh Amanda masuk sempurna, pintu kamar itu tiba-tiba kembali tertutup sendiri.
“Astaghfirullah ....” Amanda seketika menoleh ke belakang seraya memegang dadanya.
“Jangan bengong saja, cepat masuk!”
Amanda mendengar suara seseorang yang sudah tidak asing lagi baginya. Amanda berjalan semakin ke depan hingga beberapa langkah kemudian, sepasang netra itu terbelalak sempurna.
Kamar itu sangat amat luas. Mungkin lebih luas dari rumah Amanda di kampung halamannya. Sebuah ranjang berukuran besar terletak apik di bagian tengah. Kamar mandi dengan dinding kaca transparant terletak di bagian samping kanan ranjang. Di sebelah kamar mandi itu, ada dinding kaca dengan balkon di bagian luarnya. Amanda akan dapat melihat keindahan ibu kota lewat dinding kaca itu.
Di depan Amanda, ada sebuah kolam renang berukuran kecil yang bagian dindingnya mengalirkan gemericik air sehingga menghasilkan suara yang khas dan menenangkan. Sekeliling kolam renang itu, ditumbuhi beberapa tanaman hijau yang menambah keindahan suasana kamar itu.
Beberapa menit, Amanda masih terpana seraya berdiri di tempatnya. Selangkah pun, kaki jenjang itu belum melangkah lagi. ia bahkan lupa dengan keberadaan seseorang yang tengah duduk dengan santai menghadap ke bagian balkon. Jonas tengah duduk di atas sofa bundar bersandaran tinggi. Pria itu membelakangi Amanda.
“Sudah selesai bengongnya?”
Amanda kembali mendengar suara itu. Seketika gadis itu tersentak dan tersadar jika ia ke sini bukan untuk bersenang-senang, apalagi menikmati semua keindahan ini. Justru pria yang kini membelakanginya itu yang akan menikmati keindahannya.
“Ma—maaf, Pak.” Amanda tertunduk, ia masih belum bergerak lagi.
Jonas bangkit, ia memutar tubuhnya dan berjalan ke arah Amanda. Pria itu memasukkan ke dua tangannya ke dalam saku celana.
Ketika sampai di hadapan Amanda, Jonas menatap gadis itu dengan tajam. Amanda semakin ketakutan hingga ia kembali menundukkan wajah. Amanda tidak berani menatap wajah Jonas.
“Mengapa lama sekali?” tanya Jonas dengan nada ketus.
“Ma—maaf, Pak. Saya terlalu menikmati perjalanan hingga tanpa sadar jadi kelewatan pintu kamar anda,” jujur Amanda.
“Lihat saya kalau bicara!” bentak Jonas.
Jantung Amanda tersentak mendengar bentakan Jonas. Ia pun mengangkat kepalanya.
“Kamu sudah siap?”
“Si—siap apa, Pak?” Amanda tergagap, ia ketakutan.
Jonas tidak tahu harus berkata apa. Pasalnya, ia sendiri pun belum memiliki pengalaman apa pun dengan wanita. Bahkan, ini kali pertama ia berada satu kamar dengan seorang gadis.
“Hhmm ....” Jonas menyeka dahinya yang tiba-tiba saja berkeringat.
Tiba-tiba saja Amanda bergerak. Wajah gadis itu mengernyit dan ia menggerak-gerakkan pinggangnya dengan sensual.
“Kamu sedang apa?” tanya Jonas, ia semakin berkeringat.
“A—anu, Pak. Saya ini, kebelet pup. Hhmm ... pup di mana ya?” Kali ini Amanda memegangi perutnya.
“Sudah berapa kali saya katakan, jangan panggil saja dengan sebutan itu, jelas!”
Wajah Amanda semakin memerah, “I—iya ... haduh, maaf, Bang ... Eh, Kak ... Eh, Mas ... haduh apa lah ... tolongin dong, saya kebelet banget ini.”
“Kamu mau?”
Prruutttt ....
Amanda sudah tidak tahan. Akhirnya kentutnya keluar dengan bunyi yang sangat keras dan menggema di sana.
“Ka—kamu ....”
Jonas menunjuk Amanda dengan tangan kirinya. Namun tiba-tiba saja pria itu pingsan.