Sebuah kamar berukuran empat kali empat meter, sudah menanti gadis yang bernama Amanda. Kamar yang sangat nyaman dan sangat indah, menurut hemat Amanda. Jika dibandingkan dengan kamarnya yang ada di rumah, tentu saja kamarnya yang ada di rumah tidak ada apa-apanya.
“Manda, letakkan saja barang-barangmu di atas ranjang. Nanti biar aku yang bantu mengemasnya. Sekarang kita ka bawah lagi, sebab kamu harus melakukan perawatan diri.”
“I—iya, Kak.”
Amanda hanya menurut tanpa bisa membantah. Semakin lama, perasaannya semakin berdebar. Ia hanya tinggal menghitung waktu hingga kesuciannya akan kandas secara hina.
Viola kini menuntun Amanda ke klinik kecantikan milik mami Lina yang berada di lantai satu bangunan itu. Aroma wangi, sudah menyeruak ketika mereka masuk ke dalam klinik itu.
“Sore kak Viola, mau melakukan perawatan?” Santi—resepsionis klinik—menyambut Viola dan Amanda dengan ramah.
“Mami memangnya pesan apa? Apa aku juga diberikan jatah perawatan gratis?” Viola mendelik.
Santi menggeleng, “Maaf, Kak. Mami hanya berpesan ‘berikan perawatan penuh untuk Amanda’ dan mami tidak mengatakan yang lainnya.”
Viola mengernyit, mukanya masam, “Ya sudah. Kamu lakukan saja apa yang diperintahkan mami. Aku mau ke atas dulu.” Santi mengangguk.
Santi menghubungi salah seorang rekannya dan menyuruh rekan tersebut menuntun Amanda melakukan perawatan demi perawatan yang dibutuhkannya. Amanda merasa sangat asing dengan tempat itu. Sebab, seumur hidup, gadis itu tidak pernah masuk salon, apalagi klinik kecantikan berkelas seperti tempat saat ini ia berada.
Awalnya takut, tapi lama kelamaan Amanda tampak rileks dan menikmati setiap sentuhan alat-alat kecantikan di wajah dan tubuhnya.
“Ada terasa, Dek?” tanya seorang petugas klinik yang tengah memijat punggung Amanda seraya membaluri tubuh itu dengan lulur.
“Terasa, Kak. Enak sekali. Seumur hidup, Amanda belum pernah dipijit seenak ini.” Amanda bersusah payah menahan kantuknya. Pijitan itu membuat ia nikmat dan lena.
Selesai melulur serta memasker seluruh tubuhnya, Amanda kini melakukan perawatan terhadap wajahnya. wajah itu sudah begitu cantik dan mulus, petugas klinik hanya menambahkan beberapa treatment saja untuk menambah glowing dan cerah wajah Amanda.
Hampir dua jam Amanda ada di sana. Terakhir, gadis itu harus melakukan perawatan pada bagian utama tubuhnya. Melakukan penguapan terhadap area sensitifnya.
Amanda kini sudah merasa sangat segar, tubuhnya juga bersih dan cerah. Rambutnya juga sehat dan berkilauan.
“Wow ... kalau mami melihat kamu, mami pasti akan sangat senang.” Viola menatap kagum wanita yang sudah dibawanya masuk ke lingkungan haram itu.
“Hhmm ...,” jawab Amanda tanpa ekspresi.
“Ayo kita ke atas, aku akan mengajarimu beberapa hal.”
Amanda menurut, ia mulai menekan langkah mengikuti langkah kaki Viola.
-
-
-
Hari sudah senja, langit kota Padang yang cerah berubah jingga. Viola sudah memberikan beberapa pelajaran kepada Amanda. Berkali-kali gadis itu mengernyit dan dengan susah payah menahan muntahnya.
Semua yang disampaikan dan di visualkan Viola, terkesan menjijikkan bagi Amanda. Gadis itu benar-benar polos, sehingga tidak satu pun yang di jelaskan Viola, dimengerti oleh gadis itu.
“Sekarang kamu sudah paham bukan?”
Amanda menggeleng, “Aku tidak yakin bisa, Kak.”
Viola menarik napas panjang, “Amanda ... apa susahnya sich.”
“Aku takut, Kak.”
“Huft ... ya sudahlah, nanti kamu juga akan bisa sendiri. sekarang kamu harus bersiap. Ganti pakaianmu dan kita akan menemui mami, segera. Pria itu akan menjemputmu malam ini jam tujuh malam. Jadi kamu harus segera berdandan yang cantik. Ini sudah jam enam, waktu kita hanya tinggal satu jam lagi.”
“I—iya, Kak.”
Amanda mulai melangkah menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Sementara Viola, menyiapkan pakaian untuk di kenakan gadis itu. Pakaian yang sangat mini dan seksi.
Selesai membersihkan diri, gadis itu mulai mengenakan pakaian yang sudah disiapkan Viola. Amanda tampak risih. Berkali-kali ia mencoba menurunkan roknya yang berada sejengkal di atas lututnya.
“Sudah, jangan kamu tarik-tarik lagi rok itu. panjangnya memang hanya segitu, tidak akan bisa turun lagi.” Viola melepaskan tangan Amanda dari rok mini yang selalu di pegangnya.
“Kak, aku tidak nyaman.”
“Terus kamu mau pakai apa? Gamis? Hahaha ... yang benar saja, Amanda. Sudahlah, kamu terima saja nasibmu. Tubuhmu ya uangmu, jangan memaksakan untuk berlagak suci.” Viola memberi penekanan pada kata-kata terakhirnya. Kata terakhir itu terkesan sinis dan ketus.
Amanda terdiam, hatinya terluka mendengarkan perkataan Viola. Tapi ia juga tidak bisa marah, sebab apa yang dikatakan Viola, benar adanya. Ia sendiri yang sudah memutuskan menjual harga dirinya demi uang. Ia sendiri yang memutuskan untuk terjun ke dunia kelam, demi ayah tercinta.
Lima puluh menit berlalu, Amanda sudah selesai dengan dandanannya. Gadis itu memang sangat menggoda dengan pakaian serta dandanan natural yang ia kenakan.
“Kamu cantik sekali, Amanda. Aku yakin, pelanggan mami pasti akan sangat senang.”
Amanda hanya tersenyum kecut. Dalam hatinya ada rasa takut.
“Ayo sekarang kita temui mami.” Amanda mengangguk.
Tok ...
Tok ...
Tok ...
Viola mulai mengetuk pintu ruang pribadi mami.
“Masuk ....” Terdengar suara wanita paruh baya itu dari dalam ruangan.
Amanda mulai masuk bersama Viola. Wajah gadis itu masih tertekuk, ia takut. Di dalam ruangan itu, mami tidak sendirian. Di hadapannya sudah duduk seorang pria muda yang begitu tampan dan memesona. Memiliki tinggi seratus tujuh puluh lima sentimeter dengan kulit kuning langsat sedikit terang. Tubuh tegap dan rahang yang kuat. Wajahnya begitu tampan, ada darah arab yang mengalir di tubuhnya.
Jonas Suhendra, seorang pria sukses yang sudah memiliki tiga buah hotel berbintang yang tersebar di beberapa kota di Indonesia. Salah satunya di kota Padang, Sumatera Barat. Dua hotel lainnya berada di kota Jakarta dan kota Denpasar—kota asal Ibunda Jonas.
“Hai, Sayang ... wah, cantik sekali anak mami. Mami tidak menyangka jika Amanda bisa berubah se cantik ini. Ayo ke sini, Sayang. Temui pelanggan mami.” Mami Lina menyambut Amanda dengan suka cita. Ia memperlakukan Amanda dengan sangat istimewa.
Amanda melangkah dengan kaku, ia masih tertunduk. Mami menuntunnya duduk di sebuah sofa yang berada tepat di depan Jonas.
“Pak Jonas, ini dia yang akan menemani bapak selama tiga hari ini. Namanya Amanda, mami jamin kalau Amanda masih ting-ting, hehehe.” Mami mengenalkan Amanda kepada Jonas. Sikapnya dibuat manja.
“Hhmm, cantik.” Jonas bersikap biasa, sementara Amanda semakin pucat.
“Amanda, ulurkan tanganmu dan tatap pak Jonas. Jangan permalukan mami, atau mami tidak akan membayar sisa upah kamu.” Mami berkata seraya berbisik.
“I—iya, Mi.” Amanda gugup.
Perlahan, Amanda mulai mengangkat wajahnya. ia mengulurkan tangan ke arah Jonas. Jemari lentik itu sedikit bergetar.
“Amanda.” Suara Amanda terdengar bergetar. Bukannya kagum dengan ketampanan Jonas, Amanda malah semakin ketakutan.
“Hmm ... bisa ikut saya sekarang? Saya sudah tidak punya banyak waktu.” Jonas memalingkan wajah dengan pongah. Ia sama sekali tidak menjawab uluran tangan Amanda.
“He—eh, i—iya ....” Melihat sikap Jonas, Amanda semakin berdebar. Ia takut, hidupnya akan menderita setelah ini.
“Ya sudah ... Amanda, silahkan ikuti pak Jonas. Barang-barang kamu sudah kamu siapkan, bukan?”
“Sudah, Mi.
“Kalau begitu pergilah. Ingat! Jangan buat pak Jonas marah dan kecewa. Ini sisa bayaran kamu, delapan belas juta rupiah. Kamu simpan saja di dalam koper atau tas pribadimu.”
“I—iya ... terima kasih, Mami.”
“Hhmm ... pergilah.”
“Bisa kita berangkat sekarang?” Jonas memecah keheningan antara Amanda dan mami Lina.
“I—iya ....”
Jonas menyambar telapak tangan kanan Amanda. Tanpa berkata apa pun, pria itu segera menggenggam telapak tangan itu dengan sangat kuat. Amanda merasakan ada aura berbeda yang mengaliri pembuluh darahnya tatkala telapak tangan Jonas menyentuh telapak tangannya. Terlebih, Jonas menggenggamnya dengan sangat erat.
Jonas mulai melangkah meninggalkan ruangan mami seraya menarik tangan Amanda. Amanda hanya bisa mengikuti dengan sedikit kepayahan. Heels setinggi lima sentimeter, membuat kakinya terseok-seok.
Sesaat sebelum menghilang dari balik pintu, sepasang netra cantik yang menyimpan ketakutan itu, menatap mami dan Viola. Mami tersenyum manis dan mengangguk, mencoba meyakinkan Amanda kalau ia akan baik-baik saja.