Amanda melangkah dengan pelan, kemudian mendudukkan bokongnya di atas sofa empuk nan indah. Gadis polos itu kembali tertegun, karena ia tidak pernah sebelumnya duduk di kursi seempuk itu.
“Amanda, sebelumnya saya ingin memerkenalkan diri. Saya adalah mami di sini. Saya adalah bos pemilik klinik kecantikan sekaligus kafe yang baru saja kamu lewati tadi. Kamu melihatnya semuanya, bukan?”
Amanda masih terpaku, mendengarkan penjelasan Lina.
“Tapi, kamu tidak bekerja di tempat itu melainkan bekerja untuk seseorang yang begitu penting.”
“Ma—maksud, Tante?”
“Begini, saya punya kenalan. Beliau adalah seorang pengusaha muda yang cukup kaya. Beliau meminta saya untuk mencarikannya seorang perawan untuk melepaskan keperjakaannya. Sebab, calon istri pria itu ternyata sudah tidak lagi perawan.”
“Ja—jadi, tugas saya untuk—.” Amanda tidak sanggup melanjutkan perkataannya.
“Iya, tugas kamu adalah untuk melayani pria itu dan memberikan keperawananmu kepadanya,” ucap Lina dengan santainya.
Amanda menatap Viola dengan tatapan tajam, netra itu sedikit marah. Amanda kemudian mengalihkan pandangannya ke arah Lina, “Ma—maaf tante, aku tidak bisa menerima pekerjaan ini.”
Amanda mulai bangkit dari duduknya.
“Apa kamu yakin, Sayang? Bukankah ayahmu sedang sakit dan butuh uang? Apa kamu tega membiarkan ayahmu menanggung rasa sakitnya sendiri, atau bisa saja sewaktu-waktu mati karena penyakitnya tidak segera diobati? Bukankah kamu juga sedang butuh biaya untuk kuliah? Ingin menjadi arsitek ternama, bukan?” Lina bersikap tenang. Dengan cerdas, ia berusaha meyakinkan Amanda untuk pekerjaan yang akan ia tawarkan.
“Iya ... aku butuh semua itu. Tapi bukan dengan menjual keperawananku. Itu sama saja dengan menjual diri, Tante!”
“Sayang ... pekerjaan apa yang bisa kamu kerjakan yang bisa menghasilkan uang dua puluh juta dalam waktu singkat, Ha? Dua puluh juta untuk tiga hari saja.”
“Tidak! Maaf, aku mau pulang.” Amanda mulai melangkahkan kakinya menuju pintu.
Viola juga bangkit dan segera menghampiri Amanda, “Amanda, kamu jangan keras kepala. Mami benar, dua puluh juta. Kamu akan dibayar dua puluh juta hanya untuk tiga hari. Kamu bisa bayar uang kuliah dan juga bisa membawa ayahmu ke rumah sakit. Apa kamu mau membunuh ayahmu secara perlahan?”
“Apa maksud, Kakak?”
“Amanda, ini adalah kesempatan emas untukmu bisa berbakti kepada ke dua orang tuamu. Kamu mau, ayahmu mati begitu saja. Sekolahmu juga kandas. Tidak akan ada kesempatan ke dua, Sayang.” Viola terus berusaha meyakinkan gadis itu.
Amanda menatap lirih wajah viola lewat sudut matanya. Ia mulai berpikir atas semua yang wanita itu sudah ucapkan.
Amanda membalik tubuhnya, menghadap ke arah mami. Perlahan, gadis itu mulai melangkah pelan.
“Apa yang bisa aku kerjakan?” tanya Amanda, lirih.
Lina segera bangkit dan menggengam lengan gadis itu, “Bagus, Sayang ... percayalah, pekerjaan ini sangat menyenangkan. Kamu tidak perlu bekerja keras. Kamu hanya perlu menemani kenalanku itu selama tiga hari. Setelah kamu tanda tangan kontrak, aku akan langsung memberimu dua puluh juta.”
“Aku mau.”
Viola dan Lina bertepuk tangan secara bersamaan. Viola benar-benar bahagia. Wanita itu sudah membayangkan bonus yang akan ia terima dari Lina. Bonus yang nilainya setengah dari upah Amanda.
“Viola, bawa gadis ini belanja. Belikan dia pakaian terbaik. Belikan juga dia beberapa perlengkapan make up. Hari ini, kau harus mengajarinya banyak hal. Besok sore, dia harus siap bertemu dengan pria itu.” Lina berkata kepada Viola tanpa menatap wanita itu.
“Siap, Mami.”
“Sayang ... sekarang aku izinkan kamu untuk pulang. Ini, aku berikan dua juta sebagai p********n awal atas kesepakatan kita. Kamu berikan uang ini kepada ayahmu. Katakan kepadanya, kamu tidak akan pulang selama lima empat hari, karena ada yang mengajakmu bekerja. Okay ....” Lina berucap secara mencium pipi mulus Amanda.
“Empat hari? Bukankah hanya tiga hari?”
“Satu hari untuk pelatihan. Kamu terlalu polos, Sayang ... kamu butuh sedikit di poles agar terlihat sempurna.”
“Lalu, apa yang harus aku katakan kepada ayah dan ibuku?”
“Bilang saja, kamu dapat pekerjaan untuk menjaga wanita sepuh selama lima hari. Kebetulan ia orang yang sangat kaya dan berani membayar mahal untuk itu.” Lina memberi solusi.
“Baiklah,aku akan coba.”
“Bagus ... Viola! Temani gadis ini, jangan sampai dia berubah pikiran. Kamu pakai saja mobil mami yang warna merah.”
“Siap, Mami ... Ayo, Sayang, kita pergi sekarang!”
Amanda mengangguk dan mengikuti langkah kaki Viola.
-
-
-
“Assalamu’alaikum ....” Amanda masuk ke dalam rumah, melihat ayahya masih terbaring lemah di atas sofa lusuh yang terdapat di ruang tamu sederhana rumahnya.
“Amanda, sudah pulang, Nak?” Niyan menghampiri putrinya.
“Iya, bagaimana keadaan ayah, Bu?”
“Batuknya semakin parah. Tadi ibu baru saja dari warung, menjual sembilan butir telur ayam kita. Hanya dapat uang delapan belas ribu saja. Tidak cukup untuk membeli obat ayahmu.”
Amanda terenyuh melihat wajah sedih ibunya. Ia tidak kuasa menahan lahar dingin yang mulai tumpah dari netra cokelat pekat miliknya.
“Sudah satu minggu ayah tidak berjualan. Ibu sudah coba menjajakan balon-balon itu keliling komplek dekat sini, tapi ya ... hanya cukup untuk beli beras saja.” Niyan mengusap lembut puncak kepala Fadli—empat tahun, adik bungsu Amanda. Wanita empat puluh satu tahun itu tak kuasa menyembunyikan kesedihannya.
“Bu, Amanda ditawari pekerjaan sama tantenya teman Amanda. Alhamdulillah, gajinya lumayan besar.”
“Bekerja? Lalu bagaimana dengan kuliahmu?”
“Amanda hanya perlu bekerja selama lima sampai tujuh hari saja. Mereka berjanji akan memberi Amanda lima juta?” Amanda memperlihatkan senyum terbaiknya.
“Lima juta untuk tujuh hari? Memangnya pekerjaan apa yang bisa di bayar sebesar itu?”
“Jadi begini, Bu. Tantenya teman Amanda itu, mau pergi ke Kalimantan selama lima sampai tujuh hari. Dia memiliki seorang ibu yang sudah sangat sepuh. Jadi Amanda bertugas untuk menjaga nenek itu selama mereka pergi ke Kalimantan. Akan tetapi, Amanda disuruh menginap di sana selama itu.”
“Janganlah, Nak. Nanti kalau terjadi apa-apa, bagaimana?”
“Bu, kasihan nenek itu. Lagi pula, bukankah kita juga sedang butuh uang? Tante itu bahkan sudah memberi Amanda dua juta sebagai DP.” Amanda memberikan uang itu kepada ibunya.
“Nak ... kembalikan saja uang mereka. Ka—kamu tidak perlu be—bekerja seperti itu, uhuk ... uhuk ....” Iman terjaga dan berusaha bangkit dari tidurnya.
“Ayah ... ayah berbaring saja, bukankah ayah masih sakit?” Amanda dengan cepat memegangi ayahnya.
“Nak, ayah tidak apa-apa. Besok akan ayah paksakan untuk berjualan. Kamu tidak perlu bekerja seperti itu, Nak.”
“Ayah ... menolong orang bukankah pekerjaan yang mulia? Anggap saja Amanda tengah menjaga nenek Amanda sendiri. lagi pula tidak lama kok, Yah. Hanya lima sampai tujuh hari saja. Dengan begitu, Amanda jadi bisa membayaruang kuliah dan ayah juga bisa pergi ke rumah sakit.” Gadis itu tersenyum dan berusaha meyakinkan ke dua orang tuanya.
Iman tak kuasa mehana tangisnya. Ia mengusap rambut lurus dan panjang milik Amanda. Ia merasa sudah gagal menjadi seorang ayah.
“Nak, maafkan ayah ... maaf jika ayah tidak mampu membuat kamu dan adik-adikmu bahagia.” Iman terisak.
“Tidak apa-apa, Ayah ... lagi pula Amanda tidak lama. Setelah tante itu kembali, Amanda akan segera pulang dan membawa sisa upah yang sudah kami sepakati.”
“Benar, kamu tidak apa-apa, Nak?” Amanda menggeleng.
“Bu, tante itu sudah menunggu diluar. Amanda harus segera kembali. Ponsel ibu, nomornya masih aktif’kan? Nanti kalau ada apa-apa, akan Amanda hubungi.” Amanda menyalami ke dua orang tuanya dengan takzim.
“Nak, jaga dirimu baik-baik. Setelah orang itu kembali, kamu harus segera pulang.” Iman dengan berat hati, melepas Amanda untuk pergi. Demi sebuah pekerjaan yang mulia,begitu menurutnya.
“Iya, Ayah ... Bu, Amanda pamit dulu. Assalamu’alaikum ....”
Dengan langkah berat dan napas sedikit tertahan, Amanda tetap meninggalkan rumah sederhana itu menuju mobil mami yang dikendarai oleh Viola. Berkali-kali, gadis itu mengusap air mata yang terus mengalir lewat sepasang netranya.