Bergerak gelisah dalam tidur, Adrian mengucurkan keringat di sekujur badan. Suhu tubuhnya cukup tinggi setelah demam menyerangnya. Ia mengerang menyebut nama Clary berulang kali. Perempuan itu satu-satunya orang yang sangat diharapkannya saat ini. Mereka mungkin terikat saudara, tetapi Adrian tetap tak bisa menolak ketika rasa cinta mengetuk hatinya dan membuat terjebak dalam perasaan yang semu, sebab Clary tak akan pernah jadi miliknya.
“Clary …,” erangnya lagi secara tak sadar. Netra masih terpejam sedangkan bibir bergumam dengan gemetar. Suara derit pintu terbuka pun tak mampu mengalihkan perhatian Adrian, ia tetap menggigil meski panas tubuhnya di atas rata-rata.
“Demammu masih belum juga turun,” ucap seorang gadis mengikuti sentuhan tangannya atas kening Adrian. Ia meletakkan nampan berisi bubur dan obat yang diresepkan dokter tadi malam. “Adrian, kau bisa mendengarku, ‘kan? Apa kau bisa bangun untuk minum obat?”
“Clary …,” gumam pria itu lagi membuat sang gadis tersenyum kecut. Sudah enam bulan mereka resmi berpacaran, tetapi nyatanya namanya tak mampu menggeser posisi Clary dari hati sang kekasih.
Quensha menghela napas. Mencoba untuk bersikap sabar meski sekarang Adrian malah semakin acuh padanya. Berita lamaran Zaky di tengah-tengah konser membakar jiwanya. Adrian mencoba ikhlas, tetapi rasa sakit dan patah hati tetap saja mengompori amarahnya. Adrian sangat cemburu.
“Adrian, bangunlah sebentar saja, kau harus minum obatnya.” Quensha menyentuh kepala Adrian. Tanpa sadar Adrian meraih tangan itu dan menyentuhkannya di d**a.
“Clary, jika inkarnasi itu benar ada, maukah kau membariku kesempatan di kehidupan kita nanti. Izinkan aku tetap mencintaimu bahkan sampai beberapa kali kelahiran.”
“Adrian, sadarlah, ini aku. Quensha, bukan Clary.” Gadis itu mendengkus kesal. Ia menarik tangannya dengan kasar membuat Adrian mengerjap mata pelan. Perlahan netra pemuda itu terbuka. Sorot matanya yang sendu membuat Quensha bungkam merasa bersalah.
“Quensha, kau masih di sini?” Adrian berusaha mendudukkan dirinya setelah kesadarannya kembali utuh.
Dengan gesit Quensha membantunya untuk bersandar di sandaran ranjang. Sejak kemarin sore gadis itu memang sudah ada di sana merawat dirinya. Mseki Adrian kerap mengabaikan, nayatanya semua tak menyurutkan cinta seorang Quensha pada sosok Adrian. Gadis itu tersenyum.
“Aku tak mungkin meninggalkanmu dalam keadaan demam tinggi.” Ia mengambil nampan berisi bubur dan obat yang tadi dibawanya. “Makanlah buburnya, kemudian minum obat.”
“Kau tak ke kantor? Bukankah kau ada jadwal rekaman sebagai pengiring Batrick Hoven.” Adrian menanggapi bubur yang disodorkan Quensha. Kepalanya masih terasa pening, tetapi ia mencoba menunjukkan kalau dirinya tak apa-apa hanya agar Quensha pergi dari rumahnya.
“Aku sudah izin, jadi biar saja yang lain menggantikannya.”
“Jangan bersikap tidak professional, Quensha. Aku tak suka kau mengabaikan tugas hanya karena aku sedang demam. Lagi pula sebentar lagi manager pasti datang untuk melihat keadaanku,” debat Adrian, menatap tajam pada netra sang kekasih.
Quensha pun menghela napas. “Setidaknya tunjukkan kau mau memakan buburnya baru aku akan pergi.”
“Baiklah,” sahut Adrian singkat. Perlahan dengan sangat terpaksa meyuapkan bubur itu ke mulutnya. Kondisi kesehatan yang buruk membuat makanan itu terasa pahit di mulutnya. Namun, tak ingin menyakiti perasaan Quensha, ia tetap memakan buburnya dengan lahap.
Quensha tersenyum lega, ia pun mengangkat bobot tubuh dari ranjang. Barulah mendekat ke arah kekasihnya. Memeluk singkat sang kekasih untuk berpamitan. “Minum obatnya dan cepatlah sembuh.”
“Tentu, Sayang. Maaf aku tak bisa mengantarmu,” balas Adrian.
“Tak masalah, aku paham. Asal kau mau minum obat dan kembali beristirahat itu sudah lebih dari cukup untukku.”
Adrian tersenyum, menarik wajah Quensha dan mencium keningnya singkat. Terima kasih,” ucapnya.
Quensha tersenyum lega. Perlahan dirinya bergerak menjauh lalu menghilang di balik pintu.
Adrian menatap kepergian gadis itu dengan perasaan campur aduk. Apa yang dirasakannya dan apa yang dilakukannya berbanding terbalik. Di depan Quensha ia berupaya menunjukkan cinta, tetapi dalam hati ia masih memuja Clary. Sungguh perbuatannya sangat tak pantas, tatapi apa yang bisa dilakukannya. Bukankah cinta itu tak dapat dipaksakan?
Melihat buburnya tinggal sedikit, Adrian pun melahapnya dengan cepat. Barulah kemudian mengambil obat demam yang disiapkan Quensha. Aturan pemakaian obat itu tertulis jelas di sana.
Semua sudah dilakukan Adrian. Makanan dan obat telah masuk sempurna ke dalam perut. Ia pun melangkah ke kamar mandi sekedar untuk membersihkan diri, barulah keluar dari kamar tidur berderap menuju dapur untuk mencuci peralatan makannya.
Demamnya memang masih belum turun, tetapi tertidur seharian membuatnya bosan. Adrian memilih menghabiskan hari dengan duduk di ruang keluarga, di mana layar televisi berukuran besar tepampang di sana. Itu bukan tak dibeli dengan uangnya. Melainkan hadiah yang ia dapat dari Bian—kakak angkatnya, sebagai ucapan selamat atas keberhasilan debut pertamanya.
Bahkan apartement yang ditemptinya saat ini juga pemberian keluarga Gerhad. Apartement mewah itu pemberian ayah dan ibu angkatnya. Seluruh keluarga Gerhad memang sangat baik padanya. Tak ada perbedaan perlakuan sama sekali antara dirinya dengan Bian dan Clary. Itu juga yang membuatnya tak mampu melawan keputusan sang ayah angkat agar ia tak menyimpan rasa pada Clary. Akan tetapi, yang namanya hati, tak ada yang bisa menduga ke mana dan pada siapa dia akan melabuhkan rasa. Karena itulah guna menghindari rasa yang kian hari kian merebak dalam diri, ia memutuskan untuk tinggal di tempat yang berbeda dengan Clary meski dulu mereka sama-sama ada di Indonesia.
Saat tragedy mengerikan itu terjadi, Adrian bahkan hampir bertindak nekat untuk menikahi Clary, atau mungkin ia bisa memberikan kedua netranya untuk gadis itu. Namun, sekali lagi Clary menghancurkan harapannya untuk bisa berkorban untuk gadis yang dicintainya itu. Clary membuatnya bersumpah untuk tak melakukan hal-hal gila yang akan merugikan dirinya. Bahkan dengan tega ia mengusir Adrian untuk menerima tawaran debut pertamanya setelah memenangkan lomba ajang pencarian bakat.
Waktu yang terus berlalu, kembali membuat Adrian harus mengalah. Nyatanya Clary memang tak mencintainya. Dalam hati gadis itu telah terpatri nama Zaky Atrama sahabat baik Adrian. Kegagalan cintanya secara sadar membuat Adrian terpukul dan kecewa. Ia tak pernah jatuh cinta lagi pada yang lain. Namun, di sisi lain, ia bersyukur karena Clary mampu membawa Zaky keluar dari lubang hitam dan menjadikannya manusia yang jauh lebih baik.
Adrian mamatung, menatap kosong pada layar yang menampilkan gambar warna-warni yang bergerak indah. Kesadarannya kembali setelah suara pewarta berita menyapa rungunya. Liputan seputar persiapan pernikahan Clary dan Adrian kembali menjadi sorotan media Korea. Rupanya apa yang mereka takutkan selama ini tak menjadi kenyataan. Meski ada beberapa orang yang tak setuju dan masih membandingkan Clary dan Hyei, tetapi lebih banyak dari meereka yang mendukung hubungan itu. Menurut fans, Clary wanita yang sempurna untuk mendampingi hidup sang idol. Bahkan banyak dari mereka menyayangkan keputusan Zaky untuk hengkang dari dunia hiburan, sebab fans sama sekali tak keberatan menerimanya meski statusnya tak lagi single.
“Benar, kami akan melangsungkan pernikahan dua minggu lagi.” Suara Zaky terdengar menyapa rungu Adrian. Pria itu memilih berbicara menggunakan bahasa inggris meski yang meliputnya media Korea. Mungkin dengan demikian dia berharap para fans international mengerti apa yang diucapkannya.
Perhatian Adrian tertuju pada Clary yang duduk berdampingan dengan gaun indah berwarna putih, bertabur manik-manik yang kerlap-kerlip. Sangat cantik dan anggun. Meski ia tak pernah debut, tetapi aura bintang jelas terpancar di wajah cantik bentuk berliannya. Lesung pipi sesekali muncul di kedua pipi ketika ia tersenyum. Adrian pun turut tersenyum menatap betapa manis senyuman adik angkatnya itu.
“Semoga kau selalu bahagia, Clary. Aku akan selalu mendoakan yang terbaik untukmu,” gumam Adrian lalu mematikan saluran televisi. Sungguh hatinya masih belum siap. Tepat saat Adrian hendak melangkah kembali ke kamarnya, sebuah dering ponsel menyapa indra pendengaran. Segera ia mengangkatnya ketika melihat nama Clary tepampang di sana.
“Adrian, apa kabar?” sapa wanita itu dengan suara merdunya. Adrian memejamkan mata meresapi setiap kata yang mengalun menenangkan jiwanya. Setiap ucapan yang terlontar dari mulut Clary seakan memberi obat paling mujarab untuk dirinya. Meski merasa nyeri dalam d**a, Adrian tetap merasa respons tubuhnya jadi sangat baik untuk membuatnya merasa segar kembali.
“Aku baik-baik saja. Ada apa, Clary? Oh, ya selamat buat kau dan Zaky. Aku baru saja menonton berita kalian di televisi.
“Jadi kau sudah menontonnya. Baguslah. Aku menelepon justru untuk itu. Aku ingin kau datang ke pernikahan kami.”
“Tentu saja aku akan datang. Tanpa kau undang pun aku pasti datang. Sudah kuatur jadwal untuk tanggal itu, agar manager mengosongkannya.”
“Benar? Kau memang luar biasa. Aku sangat bahagia. Terima kasih, Adrian. Aku mencintaimu.”
Suara Clary terdengar riang. Setelah itu telepon pun ditutup. “Aku juga mencintaimu, Clary. Sangat mencintaimu,” gumam Adrian memandangi ponselnya yang menampilkan dirinya dan Clary sebagai wallpaper. Adrian sangat tahu apa yang keluar dari ucapan Clary tak lebih dari ungkapan cinta seorang adik pada kakaknya. Hanya dirinya saja yang selalu berharap lebih dari ikatan itu.
Bosan dengan acara televisi, Adrian pun memutuskan untuk kembali ke kamarnya dan merebahkan diri di sana. Baru saja ia meletakkan ponsel di atas meja lampu hias, bunyi sebuah notif pesan terdengar masuk menyapa rungunya. Sedikit enggan, Adrian mengambil ponselnya kembali. Mencari pesan yang baru masuk itu sambil tetap berbaring di atas ranjang. Sungguh ia sedang sangat malas.
Sesaat dahinya berkerut sempurna. Sebuah pesan dari nomer asing tertera di sana dengan sebuah ancaman yang ditulis capslock. “BERSENAG-SENANGLAH SESAAT LAGI, SEBAB KEHANCURAN SUDAH MENANTIMU, ADRIAN!”
“Kehancuran menantiku?” gumamnya pelan. “Siapa orang yang mengirim pesan sampah seperti ini? Dasar kurang kerjaan.” Adrian meletakkan ponselnya di atas ranjang begitu saja, lalu meninggalkannya ke kamar mandi.