Part 7

1007 Kata
Vira menatap Adrian dari kejauhan. Daripada melayani pria itu, dia lebih memilih untuk melayani tamu-tamunya yang lain. Adrian memang sangat tampan. Sebagai seorang idola, dia sangat mampu menggetarkan hati semua orang. Wajah oriental dengan kulit sedikit lebih gelap dari yang lain terkesan begitu macho dan menggairahkan. Hidung mancung, serta tatapan mata yang tajam. Lirikannya seakan-akan mampu melumpuhkan lawan jenisnya hanya dalam sepersekian detik. Dia datang ke restaurant itu dengan pakaian casual. Hanya mengenakan celana pendek dan baju kaos hitam, memakai sepatu kets putih, dia duduk dengan tiga dancernya. "Jadi, berapa lama kau di Korea?" Seseorang di antara mereka membuka suara setelah menegak habis minumannya. "Hanya sebentar. Setelah mengucapkan selamat, aku akan langsung kembali." Adrian memasukkan potongan steak ke mulutnya setelah menjawab pertanyaan tadi. Setelahnya perbincangan terus mengalir seputar topik yang lainnya. Dari urusan agensi, konser, sampai ke sepakbola, bahkan wanita. Mereka menyebutnya obrolan pria. Adrian mengangkat tangan kanan sebagai tanda dia membutuhkan sesuatu. Liana pun datang mendekatinya. Tak berapa lama Liana meninggalkan meja itu, lalu menyampaikan permintaan Adrian kepada petugas dapur. Liana kembali ke meja Adrian sambil membawa pesanan pria itu. "Kau orang Indonesia?" Adrian menatap sekilas wajah cantik Liana yang melayaninya dengan senyum hangat. "Iya, Mas," sahut Liana. "Sudah berapa lama ada di Belanda?" Sementara mereka berdua bicara, tiga dancer yang bersama Adrian hanya membisu, tak mengerti apa yang mereka berdua katakan. "Sudah cukup lama, Mas. Sekitar lima atau enam tahun, lupa saya, Mas." "Wah, lama juga, ya. Bahkan lebih lama dari saya." Adrian tersenyum. "Iya, sepertinya begitu, Mas." "Menyenangkan, ya, tinggal di sini. Ya, sudah sukses selalu, ya." "Iya, Mas. Terima kasih. Sukses buat Mas Ardrian juga." Adrian mengangguk sambil tersenyum. Liana pun meninggalkannya. Wajahnya sudah merah padam. Jantungnya berdegup kencang. "Tolong aku, tolong, berikan aku napas buatan." Vira mendesis, lalu mendorong gadis itu. "Alay," ucapnya. "Iri? Bilang, Boss," ledek Liana. "Cowok macho seganteng dan setamvaaan Adrian bicara kepadaku ... omg ... di kehidupan sebelumnya aku pastilah penyelamat negara." Vira kembali mendesis. Dia tak tahu kalau Adrian sempat memperhatikan interaksi mereka, lalu tersenyum. Sepertinya menyenangkan bagi Adrian melihat ada orang-orang yang sebangsa di sekitarnya. Dia ingin mengobrol banyak, tapi jelas itu tak mungkin. Dua gadis itu harus bekerja. Jadi, tidaklah etis mengajaknya mengobrol dalam waktu yang lama. Setidaknya mungkin lain kali Adrian akan sering-sering datang untuk bisa bercakap-cakap dengan salah satunya, atau dengan keduanya. Tidak ada yang tahu bagaimana takdir menentukan nasibnya di masa depan. Setelah waktu cukup malam, rombongan tamu dari agensi pun pamit. Mereka sudah membubarkan diri dan kembali ke rumah masing-masing. Adrian tengah berjalan menuju pintu masuk ketika teleponnya berbunyi. "Adrian! Kau kapan datang!" Seorang pria langsung menghardiknya. "Jangan bilang karena cemburu kau memutuskan tak menghadiri pernikahan kami." "Memangnya pernikahanmu kapan, sih, Zaky? Jangan terlalu lebay." "Setidaknya bantu kami mempersiapkan pernikahan. Seluruh keluargamu sudah ada di sini, hanya kau yang belum datang. Jahat sekali kau ini." Adrian tersenyum tipis. "Aku sedang persiapan konser, kau sudah tau itu." "Ya, ya, ya ... sang superstar yang tak bisa diganggu. Maafkan aku. Sekalian saja kau tak usah datang di hari pernikahan kami!" Zaky bicara dengan nada marah. Pasalnya, pernikahannya dan Clary tinggal dua hari lagi, tapi Adrian belum juga menampakkan batang hidungnya. "Maafkan aku, Zaky. Tapi, aku berjanji akan datang secepatnya." "Aku tunggu kau datang. Jangan kecewakan kami. Clary terus menanyakanmu." Sambungan telepon pun diputus oleh Zaky. Adrian menghela napas sebelum masuk ke mobilnya. "Kau mau pergi ke suatu tempat?" tanya managernya sambil memutar kunci mobil. "Tidak. Langsung pulang saja." Managernya mengangguk, lalu mobil pun melaju pelan meninggalkan parkiran. Sementara itu, di dalam restaurant Vira terus memperhatikan gerak-gerik Adrian. Ada debaran halus yang terus memberontak dalam dirinya. Debaran ketakutan, juga rasa bersalah bahkan ketika dia belum memulai pekerjaannya. *** Pesawat mendarat di Icheon dengan selamat. Selepas Zaky menelponnya tadi malam, Adrian langsung meminta managernya membatalkan semua jadwal latihan, dia pun meminta izin kepada pihak agensi untuk tidak ikut latihan beberapa hari karena akan pergi ke Korea. Di awal Adrian memang sudah meminta izin, tapi tidak pada tanggal hari ini. Dia bermaksud datang hanya saat hari H upacara pernikahan itu, lalu langsung kembali setelah upacara selesai dilangsungkan. "Sayang, periksa lagi barang-barangmu, apa semuanya sudah lengkap?" Quensha mengingatkan Adrian yang dari tadi hanya melamun. Adrian pun mengangguk. "Semua sudah ada. Ayo," ajaknya pada Quensha. Mereka berdua pun keluar dari pesawat. Adrian mematung melihat tulisan Icheon yang terpampang di depannya. Banyak kenangan indah dan menyakitkan menari-nari di kepalanya. "Harusnya aku mengikhlaskan semuanya, tapi kenapa rasanya sulit sekali." Adrian bergumam pelan. Dilihatnya Quensha sudah menggeret koper mendahuluinya. "Mungkin, harusnya aku benar-benar belajar untuk mencintai wanita itu." Adrian pun berusaha tersenyum. Dia mengingat-ingat semua kebaikan Quensha dan meyakinkan dirinya untuk menerima wanita itu. Adrian melangkah menyusul Quensha. Sambil menggeret koper di tangan kiri, dia merangkul Quensha dengan tangan kanannya. "Ada apa?" Quensha menatap bingung karena Adrian tiba-tiba memeluknya. "Kita jalan-jalan keliling Korea, ya. Mau, kan?" ucap Adrian sembari menjatuhkan kecupan di bibir Quensha. Wanita itu mengangguk senang. Tak masalah baginya meski ini hanya pura-pura seperti yang sering dilakukan Adrian ketika berhadapan dengan Clary, yang terpenting sekarang Adrian telah kembali semesra dulu. "Jangan lupakan yang paling penting dari perjalanan kita nanti," kata Adrian lagi. "Apa?" "Percintaan yang panas dan penuh gairah." Adrian berbisik. Quensha pun mencubit pinggang pria itu, lalu mereka berdua tertawa bersama-sama. "Kau tak meminta mereka menjemputmu?" tanya Quensha setelah keluar dari imigrasi. "Tidak. Taksi hotel akan menjemput kita. Hari ini kita habiskan waktu untuk jalan-jalan dulu di Korea. Besok baru kita temui mereka." "Baiklah, terserah kau saja." Mereka pun terus berjalan sambil bergandengan tangan. Mobil jemputan telah menunggunya. Perasaan Adrian sedikit lebih tenang ketika hatinya berkata bahwa dia akan mencoba mencintai wanita yang duduk di sebelahnya. Dia berharap semua akan berubah mulai sekarang. Di dalam mobil keduanya bercengkrama tentang banyak hal. Sesekali Adrian menunjukkan kemesraan dengan menarik Quensha dalam pelukannya, lalu mencium bibirnya. Kemesraan-kemesraan itu membuat mereka terlihat seperti pasangan pengantin baru. Adrian berubah sepenuhnya, itulah yang dirasakan Quensha. Wanita itu merasa ini bukan lagi seperti kepura-puraan. Dia merasa dicintai dengan sepenuh hati. Rasa bahagia membuncah dalam dirinya. Dia berharap bahwa Adrian akan tetap seperti ini untuk selamanya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN