Vira mengayun langkah menuju apartment selepas jam kerjanya. Tempat tinggalnya memang tak begitu jauh. Dia hanya butuh waktu sepuluh menit dengan jalan kaki.
Kejadian tadi siang dengan pria itu sudah menghilang dari ingatannya. Dia pikir itu hanya kekhawatirannya saja.
Sampai di rumah, Vira segera membersihkan diri, lalu mengempaskan diri di ranjang. Kamar teman yang seapartement dengannya sudah gelap gulita. Itu menandakan temannya sudah terlelap.
Vira mengambil ponsel, lalu melihat beberapa pesan yang masuk yang belum sempat dia lihat karena tengah bekerja. Tak banyak pesan yang masuk ke handphonenya. Lagipun, lewat pesan itu dia hanya mencari tahu kabar ibunya. Sampai sejauh mana pengobatan ibunya di Indonesia sana.
Vira terdiam ketika membaca pesan terakhir yang mengatakan bahwa ibunya butuh oprasi secepatnya. Dia butuh biaya yang sangat banyak. Jika tidak kemungkinan orang tuanya tak akan selamat.
Ibunya mengalami masalah jantung dan dokter mengusulkan untuk melakukan pemasangan ring. Jika termasuk biaya perawatan dan lainnya, dokter meminta Vira menyediakan uang hingga 150jt.
Terkadang dia begitu frustasi karena tak mungkin juga baginya mengumpulkan uang sebanyak itu dengan cepat, meski dia harus bekerja siang dan malam. Jika saja ada dermawan yang mau membantunya, Vira mungkin bisa meminjam uang, lalu mengembalikannya dengan mencicil.
Gadis itu menghela menarik napas dalam-dalam. "Kumohon bersabarlah, Ibu." Dia bergumam pelan. Ponselnya pun dimatikan dan dia mencoba untuk terlelap. Baru beberapa menit terlelap, Vira teringat pada kartu nama yang didapatnya siang tadi.
Dia kembali bangkit dari tempat tidurnya, lalu mencari-cari kartu nama itu. Mungkin saja pria itu orang baik yang bisa memberinya solusi atas masalah yang dia hadapi saat ini.
Setelah menggeledah tas dan kantong seragamnya, Vira pun menemukan kartu nama itu di kantong epronnya. Untung hari ini dia membawa seragam dan epronnya pulang untuk dicuci. Biasanya, Vira akan meletakkan pakaiannya itu di loker. Dia membawa pulang hanya ketika sudah waktunya untuk dicuci.
Vira membaca nama yang tertera di sana dan meneliti pekerjaan pria tadi. Rupanya dia seorang pengusaha real estate. Mungkin saat ini dia butuh tenaga marketing, setidaknya hal itulah yang sempat dipikirkan Vira.
Dia melamtunkan harapan, semoga melalui tangan pria baik itu, dia mendapatkan sejumlah uang yang dibutuhkannya saat ini.
Selesai dengan doanya, Vira pun meletakkan kartu nama itu di atas meja hias, lalu meletakkan ponsel di atasnya agar besok ketika mengambil ponsel dia bisa langsung ingat tujuannya untuk menghubungi pria itu. Bersama seluruh harapan yang dia pendam, Vira pun terlelap dengan tenang.
***
Mimpi Adrian dikejutkan dengan peristiwa di mana dirinya diarak keliling kota dalam keadaan telanjang. Adrian pun buru-buru bangun dan terduduk. Dia masih di ruang latihan hingga pagi menjelang.
"Kenapa mimpiku buruk sekali, apa akan ada sesuatu terjadi?" Dia bergumam sambil mengusap wajahnya.
Pintu ruang latihan terbuka, Adrian menoleh ke sana. Seorang petugas bersih-bersih masuk dengan segala perlengkapannya. Baginya, sosok Adrian yang ada di sana sudah bukan sesuatu yang mengejutkan. Tak hanya Adrian, bahkan idol-idol lain pun sering tertidur di sana karena kelelahan.
"Morning, Adrian. Kau belum pulang?" Pria itu beramah tamah. Ardrian hanya mengangguk.
"Kau sangat bekerja keras, ya. Aku benar-benar kagum dengan semangatmu." Pria paruh baya itu masih mencoba membuka obrolan sambil menyapu lantai. Sementara, Adrian hanya tersenyum.
"Kau sepertinya baru bangun, mau aku bikinkan kopi?" Pria itu menatap Adrian sembari menunggu jawaban.
"Boleh, Rodrigo." Akhirnya Adrian mengeluarkan suara. Pria bernama Rodrigo itu pun tersenyum. Dia meletakkan alat bersih-bersihnya dan pergi ke coffee corner. Karena sudah hafal dengan selera Adrian, pria itu langsung pergi begitu saja tanpa bertanya lagi.
Adrian kembali sendirian. Pikirannya mengingatkan tentang mimpi itu lagi. "Aku rasa aku hanya ketiduran," ucapnya meyakinkan diri bahwa semua akan baik-baik saja.
Selang sepuluh menit kemudian, Rodrigo datang membawa secangkir kopi.
"Kau hanya membawa secangkir? Bagaimana denganmu? Apa kau sudah minum kopi pagi ini?" Pria itu mendekati Rodrigo dan menanggapi kopinya. "Terima kasih, ya," ucapnya.
"Saya sudah minum kopi tadi." Rodrigo kembali melanjutkan pekerjaannya. Sementara Adrian menikmati kopinya.
"Rodrigo," panggil Adrian. "Apa kau pernah bermimpi buruk?"
"Mimpi buruk? Saya hampir tak pernah bermimpi karena tidur saya terlalu lelap jika lelah," sahut Rodrigo tanpa menghentikan pekerjaannya. Dia menyapu bersih seluruh ruangan, bahkan sampai ke pojok-pojok dan bawah meja.
Mendengar jawaban Rodrigo, Adrian pun hanya bisa tersenyum. Dia menyeruput kembali kopinya.
"Memangnya kau mimpi apa?"
Adrian tampak berpikir sejenak sebelum memutuskan untuk menjawab, "Entahlah apa mimpi itu bisa berupa tafsir buruk atau baik, tapi aku bermimpi sedang telanjang bulat dan diarak keliling kota. Semua orang mulai tertawa, lalu melempariku dengan berbagai makan busuk dan kotoran."
Rodrigo yang sedang mengepel lantai menghentikan kerjaannya. Dia menatap Adrian sejenak, lalu bicara, "Apa kau sedang tertekan?" Rodrigo kembali mengepel lantai. "Orang yang sedang stres, bisa jadi bermimpi buruk, tapi jika bukan karena stres, bisa jadi itu pertanda yang tidak baik. Sebaiknya kau hati-hati."
"Pertanda tidak baik, seperti?"
"Mungkin akan ada satu peristiwa yang membuatmu merasa malu atau dipermalukan, jadi hati-hatilah." Rodrigo menoleh lagi, lalu tersenyum. "Tapi, kau tak usah khawatirkan apa pun. Bisa jadi mimpi itu datang karena tidurmu terlalu nyenyak. Itu hanya bunga tidur."
"Kau benar ...," kata Adrian, lalu bangkit dari tempat duduknya. "Baiklah, kalau begitu aku pergi dulu, ya. Terima kasih atas kopi dan sharing seputar mimpinya."
Rodrigo terkekeh pelan. "Sama-sama, Adrian, sukses selalu dengan konsermu."
Adrian mengangguk, lalu melambaikan tangan. Pria itu mengayun langkah menuju coffee corner untuk mengembalikan cangkir yang sudah kosong.
Di pagi hari, kantor agensi itu belum terlalu ramai. Kecuali staff cleaning servise, yang ada di sana hanyalah orang-orang seperti dirinya yang terlelap dan menginap di kantor seharian. Beberapa staff akan berdatangan saat sudah mendekati jam kerja atau mereka akam datang lebih awal jika ada keperluan yang mendesak. Mengejar deadline tugas misalnya.
Adrian merogoh ponsel di saku celananya sambil menyusuri koridor. Ada banyak sekali pesan masuk yang dia abaikan. Ada juga panggilan dari Quensha yang tak dia jawab padahal di malam sebelumnya mereka beradu keintiman dengan begitu liar dan penuh nafsu.
Jejak tangan Adrian terhenti pada satu pesan dari nomor tak dikenal yang entah kenapa membuatnya begitu tertarik untuk membukanya.
Adrian tertegun, ingat pesan ancaman yang sebelumnya. Dia membaca pesan itu dalam hatinya.
"Teruslah bekerja keras menyiapkan konsermu, tapi kau hanya akan gagal. Kehancuranmu telah ada di depan mata!"
"Sialan! Siapa yang suka sekali mengimkan pesan seperti ini?" rutuk Adrian. Dia pun menelepon nomor itu dan sekali lagi, nomor itu tidak aktif. Sepertinya sang pengirim pesan sudah membuang kartunya. "Kurang ajar! Tunggu saja, kalau sampai aku menemukanmu. Kau pasti akan mati!"