Adrian telah kembali ke Belanda. Bersama Quensha dia tiba di apartementnya. Tadi, seorang supir menjemputnya ke bandara.
"Kau mau langsung pulang?" tanya Adrian saat Quensha hanya duduk sebentar saja.
"Iya. Aku harus mempersiapkan diri juga untuk latihan besok. Kalau hari ini aku tidur di sini, aku yakin kau tak akan membiarkanku istirahat dengan tenang."
Adrian menarik badan kekasihnya, lalu mendorongnya ke dinding. "Siapa suruh kau selalu tampil begitu menggoda." Pria itu melumat bibir Quensha.
Wanita itu pun tak tinggal diam. Dia mengalungkan tangan di leher prianya, kemudian bibir mereka saling mencumbu. Tangan Adrian bergerak nakal, terus meremas dua benda kenyal di d**a Quensha.
Napas mereka memburu. Quensha mendorong tubuh Adrian sebelum pria itu berhasil menelanjanginya.
"Rasanya benar-benar berbahaya jika lama-lama berdekatan denganmu." Quensha merapikan pakaiannya. "Kau makhluk m***m yang tak pernah bisa aku tolak."
Adrian terkekeh. Dia pun mencuri kecupan di bibir Quensha untuk yang terakhirkali, lalu mengambil koper wanitanya.
"Ayo, biar kuantar kau pulang."
"Tidak, aku naik taksi saja," tolak Quensha.
"Ya, sudah. Keras kepala." Adrian pun mengantar wanitanya keluar. Dia menunggu sampai Quensha memperoleh taksi dan menghilang dari pandangannya. Sesaat Adrian terpaku menatap minimarket di seberang jalan. Rasanya ada sesuatu yang ingin dia beli. Adrian menoleh kanan-kiri, lalu menyebrang begitu saja.
Dia meminta sebungkus rokok, tapi kemudian dibatalkannya. Langkah Adrian pun hanya mengitari rak-rak etalase, lalu kakinya berhenti di depan cream cukur. Dia melihat merk apa yang mungkin bisa dia coba untuk menggantikan miliknya yang di rumah yang hanya tinggal sedikit. Dia ingin mencoba merk baru.
Gadis kecil berlari riang ke arah Adrian. Dia menyerahkan sekuntum mawar. "Untukmu, dari nona cantik di sana," kata gadis itu sambil menunjuk arah kanan.
Mata Adrian mengikuti telunjuk si gadis, tapi dia tak menemukan siapa-siapa. "Baiklah. Sampaikan terima kasihku kepadanya, ya, Gadis Kecil."
Anak itu mengangguk, lalu berlari meninggalkan Adrian. Adrian menatap mawar itu. Kelopaknya masih segar dan basah. Sepotong kain tisu warna biru dan plastik pembungkus senada warna bunga membungkusnya. Bunga itu hanya setangkai, tapi wanginya semerbak menyapa indra penciuman Adrian.
Adrian pikir itu dari fans yang tak mau mengganggu privasinya atau mungkin fans yang sedikit pemalu, jadi dia tak ambil pusing dan meletakkan mawar itu di dalam kranjang. Dia pun melanjutkan acara belanjanya.
Sampai di rumah, Adrian mengambil mawar itu, bermaksud melepaskan dari pembungkusnya, lalu menaruhnya di pas bunga. Sayang sekali dia tak menemukan ada pesan tertulis di sana. Dia terlalu fokus dengan bunganya, hingga tak memperhatikan hal lain.
Adrian masuk ke kamar mandi. Dia membersihkan diri sambil bersiul-siul. Sementara di luar, di trotoar Vira mondar-mandir tidak jelas. Dia bingung harus melakukan apa. Seteleh menimbang cukup lama dan tak melihat ada hal aneh yang terjadi setelah Adrian menerima mawar itu, Vira pun memutuskan untuk bertamu.
Vira berdiri di depan pintu apartement dengan gelisah. Dia melihat ke kanan dan kiri seperti seorang pencuri. Adrian belum juga memunculkan diri padahal Vira sudah sangat cemas.
Baru saja Adrian hendak membuka pintu, seseorang membekap mulut Vira, lalu menyeretnya keliar dari sana. Dia meronta, tapi dua bodyguard berbadan kekar mengapitnya.
Tubuh Vira dilemparkan ke dalam mobil. Dia terjerembab dan mengerang kesakitan, tapi dua orang tadi tak peduli. Mobil itu pun melaju dengan kencang meninggalkan tempat itu.
Sementara itu, Adrian melangkah mendekati pintu. Sebelum membuka pintu, dia mengintip terlebih dahulu dari lubang kunci, tapi dia tak menemukan siapa pun. Antara penasaran dan waspada, Adrian memutuskan untuk melihat dulu siapa orang yang menekan bel pintu. Namun, intercon tak menampilkan gambar siapa pun.
Adrian mulai merasa aneh, saat dia berjalan menuju ruang khusus tempat layar cctv diputar, dia mencium aroma gas yang sangat menyengat. Adrian segera menyadari sesuatu. Dia pun bergegas meninggalkan apartementnya sembari menelpon tim pemadam dan melaporkan adanya bau gas itu.
Tim pemadam datang dengan cepat untuk memeriksa keadaan. Manager Adrian juga segera datang ke sana.
"Apa yang terjadi, siapa yang menyusup masuk ke apartementku dan membocorkan tabung gas?" Adrian mengacak rambut frustasi.
"Petugas akan menyelidiki hal itu. Sementara sebaiknya kau jangan tidur di apartementmu itu." Sang manager menjawab keluhan Adrian tadi.
"Tapi, aku harus kembali. Aku penasaran dengan siapa orang yang menekan-nekan bel pintu sejak tadi."
"Petugas pasti akan menyelidikinya juga. Sebaiknya kita segera pergi. Tempat ini tak aman untukmu."
Akhirnya Adrian pun setuju. Sang manager ingin membawanya tinggal di hotel, tapi Adrian menolak. Dia ingin ke kantor agensi. Di sana juga ada tempat peristirahatan khusus untuk para artisnya.
"Tapi apa kau yakin bisa beristirahat di sana?"
"Konser sudah semakin dekat. Jadi aku rasa, tinggal di sana jauh lebih baik. Aku bisa latihan kapan saja."
"Ya sudah jika itu yang kau inginkan."
Sampai di kantor agensi, Quensha langsung berlari menyambutnya. Dia menghambur ke pelukan Adrian. "Kau tak apa-apa?" tanya wanita itu.
"Apa yang kau lakukan di sini? Bukankah tadi kau bilang akan pulang?"
"Iya, awalnya begitu, tapi aku ditelepon untuk segera datang latihan."
"Ooh, ya sudah. Aku tak apa-apa. Hanya tadi sedikit terkejut karena bau gas yang tiba-tiba memenuhi seluruh ruangan. Aku khawatir akan terjadi ledakan, karena itu aku terpaksa melaporkannya."
Adrian mengajak Quensha duduk di sofa. Wanita itu pun berinisiatif mengambil minuman kaleng dari dalam minibar.
"Adrian, apa kau yakin semua baik-baik saja? Ini bukan yang pertama kalinya, kan?"
Adrian tersenyum, lalu memeluk kekasihnya. "Sudah, abaikan saja kejadian itu. Kau jangan khawatir, ya. Itu biasa bagi seorang idol sepertiku."
Bukannya menjadi tenang, Quensha malah menangis. Dia sangat khawatir. Adrian pun mengusap jejak air mata di wajah kekasihnya.
"Sudah, jangan menangis lagi. Atau kau mau aku buat kau menangis di ranjang itu?" goda pria itu.
"Sudahlah. Dasar mesum."
Mereka berdua pun tertawa, lalu kembali saling berpelukan. Adrian memeluk hangat kekasihnya, tapi dalam hati dia mulai merasa tidak tenang. Ancaman-ancaman yang dia terima semakin gencar. Ini sudah mengarah ke percobaan pembunuhan. Bagaimana jika dia lengah dan gas itu meledak? Jika itu terjadi, bukan hanya dirinya yang akan mati, bahkan orang lain juga.
Adrian menyembunyikan seluruh kekhawatirannya itu dari sang kekasih. Dia sendiri bahkan khawatir tentang nasib konsernya. Bagaimana jika ada seseorang yang mengacaukan konser itu. Bagaimana jika orang yang melayangkan ancaman itu benar-benar melakukannya? Apa yang akan dia lakukan jika itu sampai terjadi?
Adrian mengusap punggung kekasihnya seolah-oleh ingin menenangkan hati wanita itu, padahal sejatinya dia ingin menenangkan dirinya sendiri.