"Kamu tahu apa yang paling aku benci dari diriku sendiri?
Selalu bersikap baik-baik saja, padahal sebenarnya rapuh dan terluka." (ZafinAdam)
****
Usai membersihkan diri, niatnya Zafina akan segera memasak untuk makan malam mereka. Hatinya sudah teramat senang karena malam ini sang suami akan makan malam bersamanya di rumah. Zafina membuka buku menu masakannya sebelum memasuki dapur, ada beberapa macam makanan yang akan dia masak untuk malam yang spesial ini.
"Za ...," panggil Adam dari arah belakangnya. Zafina langsung menyahut dan membalik posisinya menghadap pria tersebut. Kening Zafina lantas mengerut, dengan perasaan yang sudah campur aduk.
Adam terlihat rapi dengan pakaiannya. Mau ke mana?
"Saya ada urusan penting di luar. Dan kayaknya akan makan malam di luar juga. Kamu tidak perlu memasak untuk saya."
Bolehkah Zafina protes bahkan menangis sekarang juga? Dia sudah teramat senang, namun dengan gampang Adam mematahkan rasa bahagianya.
Lagi-lagi sorot mata Zafina meredup--sedih. Adam dapat melihat itu dengan jelas. "Lain kali saya akan makan bersama kamu, tapi tidak untuk malam ini. Saya ada urusan yang jauh lebih penting."
Apa makan malam bersamanya tidak penting? Oh ayolah Zafina, bukankah selama ini kamu sudah terbiasa sendiri?
Zafina mencoba menyunggingkan senyum. "Ya sudah, nanti aku gampang bisa masak mie, atau beli nasi goreng di depan gang," balasnya terdengar baik-baik saja. Sekarang, Zafina ada tugas baru. Belajar untuk berpura-pura baik. Miris sekali!
Adam mengangguk. "Saya pergi dulu, Assalamu'alaikum ...." Sebelum Adam beranjak, Zafina lebih dulu meraih tangannya. Adam sedikit terkesiap. Wanita itu masih saja menghargainya, meski sikapnya jauh dari kata baik.
"Wa'alaikumsalam."
Sepeninggalnya Adam, air mata Zafina jatuh membasahi pipi. Namun segera dia sapu, dan berusaha menyunggingkan senyum. Tidak masalah, Zafina sudah terbiasa hidup sendiri bukan?
Kalau ada yang bertanya apakah hubungan mereka dari awal memang begini atau baik-baik saja? Tentu saja Zafina akan menjawabnya dengan kalimat terakhir dari pertanyaan tersebut. Yap, hubungan mereka sebelum menikah baik-baik saja. Tidak pernah terbayang olehnya sikap Adam akan berubah seratus delapanpuluh derajat seperti sekarang ini.
Beberapa bulan yang lalu, mereka selalu bertukar pesan di waktu senggang, di malam hari, atau sekedar mengucapkan salam di setiap pagi. Mereka juga beberapa kali mengobrol, bercerita, hingga tertawa lewat telepon. Makan dan jalan-jalan bersama, hingga membuat Zafina mantap menerima pinangan Adam.
Tidak sekali duakali Adam mengiriminya buket bunga, cokelat, eskrim, atau makanan lain untuk membuat moodnya selalu baik.
Adam memperlakukannya dengan begitu baik, hingga Zafina tak pernah sekalipun berpikiran buruk tentangnya. Apapun yang orang lain katakan mengenai kejelekan seorang Adam, Zafina tidak memerdulikannya. Yang dia tahu, Adam begitu manis terhadapnya. Dan dia nyaman bersama pria itu.
Memang benar, rasa nyaman mampu membuat daya pikir seseorang menjadi dangkal.
Bingkai besar yang terpajang pada dinding ruang tengah--menampilkan foto pernikahan mereka--membuat hati Zafina menghangat. Senyum itu sama sekali belum Zafina dapatkan setelah mereka menikah. Ucapan manis di setiap pagi atau sebelum tidur pun tak pernah terucap dari mulut pria yang telah dia cintai tersebut.
Zafina mengusap air mata untuk yang terakhir. Dia segera beranjak ke kamar, membasuh wajah, dan berusaha menetralkan perasaannya.
Malam ini Zafina ingin makan di luar saja. Mood memasak sudah hilang entah ke mana.
****
Sesampainya di pedagang kaki lima pinggir jalan, Zafina langsung menghentikan langkahannya. Senyum yang baru saja terukir, kembali lenyap dalam sekejap. Tubuhnya seketika kaku, hingga membuatnya tak mampu bergerak.
"Saya ada urusan yang lebih penting."
Apa urusan penting yang dimaksud Adam adalah makan bersama dengan wanita lain?
Zafina tersenyum kecut melihat kedua orang yang nampak sedang mengobrol dan sesekali tertawa di sela-sela obrolan mereka. Harusnya Adam mengobrol dan tertawa seperti itu bersamanya malam ini. Saling berhadapan, bertukar canda tawa, dan tentu saja makan dalam satu meja yang sama.
Tidak ingin terlalu lama memandangi mereka yang akan membuat hatinya bergerimis, Zafina segera melangkah kembali ke arah motornya dan melaju meninggalkan tempat tersebut.
Malam ini, Zafina kembali tak mengisi perut. Rasa laparnya menghilang berganti dengan rasa sesak. Dia menatap langit yang mulai bergemuruh, sepertinya sebentar lagi akan turun hujan.
Cittt! Zafina mengacak rem depan dan belakang bersamaan--secara tiba-tiba, hampir saja membuatnya terjatuh.
"Untung masih sempat," ucap Zafina sambil menghela napasnya lega. Hampir saja dia menabrak seekor anak kucing yang berada di tengah jalan.
Segera Zafina turun dari motornya, lantas melihat ke sekeliling--mencari tahu siapa pemilik anak kucing yang kelihatan begitu lucu dengan bulu tebalnya itu.
"Permisi, Dek, ini kucing siapa, ya?" tanya Zafina pada dua anak kecil yang nampaknya baru saja selesai bermain di halaman. Kedua anak tersebut saling memandang, sebelum akhirnya salah satu di antara mereka menggelengkan kepala.
"Bukan, Kak, bukan kucing aku," kata anak yang memakai kaos berwarna hitam.
Anak berkaos kuning juga menggelengkan kepalanya. "Bukan punya aku juga, Kak. Coba Kakak tanya ke rumah dokter itu, biasanya di sana banyak anak kucing yang kayak gini," katanya sambil menunjuk ke arah rumah besar di seberang sana. Pagar rumah terbuka--memungkinkan kucing itu berjalan keluar tanpa sepengatahuan pemiliknya.
Zafina tersenyum, kemudian mengangguk. Sebelum pergi, Zafina mengambil dua buah permen dari dalam tasnya, lantas memberikan kepada dua anak itu masing-masing satu permen.
"Wah ... terimakasih, Kak!" ucap kedua anak itu begitu senang. Zafina mengusap puncak kepala keduanya, lalu menganggukkan kepalanya.
"Sama-sama."
Kedua anak laki-laki itu meninggalkan Zafina, mereka masuk ke dalam rumah mereka masing-masing yang rupanya bersebelahan. Langit kembali bergemuruh, membuat Zafina tersadar kalau hujan akan segera turun. Dia harus cepat sampai rumah, agak tak kehujanan.
"Permisi ...!" teriak Zafina dari luar pagar rumah besar di hadapannya tersebut, sesekali mengusap kepala anak kucing.
Seorang satpam melangkah lebar menghampiri Zafina. "Selamat malam, Mbak, ada yang bisa saya bantu?"
Zafina tersenyum ramah. "Begini, Pak, saya menemukan kucing ini di tengah jalan sana. Apa benar ini kucing milik tuan rumah di sini?"
Satpam tersebut memperhatikan dengan benar anak kucing yang Zafina bawa. Kemudian mengangguk yakin. "Benar, Mbak. Ini namanya Chibi, adiknya si Chabi."
Zafina tertawa kecil mendengar nama kucing itu, yang menurutnya lucu sekali. "Ya sudah, Pak, ini kucingnya. Saya permisi, Pak ... selamat malam." Lantas beranjak cepat menuju motornya.
Baru saja melajukan motornya beberapa meter dari persinggahannya tadi, hujan turun begitu deras. Zafina mendesah kesal terlebih lagi ketika tidak ada tempat untuknya berteduh. Di bawah pohon besar bukan pilihan yang tepat menghindari hujan yang begitu lebat ini.
Dengan keadaan yang sudah basah kuyup, satpam segera membukakan pagar untuk Zafina dan nampak terkejut melihat sang majikan menggigil kedinginan.
"Mbak Zaza kenapa hujan-hujanan, sih, Mbak?" tanya Satpam itu memberikan satu payungnya pada Zafina. Pria itu lantas mengambil alih motor Zafina.
"Makasih, Pak. Saya masuk dulu ...." Lantas beranjak dari tempatnya menuju pintu utama.
Baru saja melangkah memasuki ruang tengah, Zafina dikagetkan dengan kehadiran Adam yang rupanya tak dia sadari sedari tadi. Pria itu melipat kedua tangannya di depan d**a--menatap datar.
"Habis dari mana?" tanyanya dingin dan terdengar tidak perduli.
Lalu, untuk apa bertanya?
"Keluar sebentar, Mas."
"Aku rasa kamu sudah cukup tau kalau kamu bukan lagi anak kecil yang suka bermain sama hujan."
Zafina mengangkat kepalanya, menatap Adam. Tatapan itu seperti bertanya 'kenapa?'. Kenapa pertanyaan pria itu benar-benar seperti menyindir dirinya yang sengaja bermain hujan.
"A-aku kehujanan."
"Bagaimana kalau kamu sakit? Saya gak ada waktu untuk itu, pekerjaan saya banyak."
Masih sama, ucapan Adam datar dan tak berperasaan.
"Aku baik-baik aja, Mas. Habis ini langsung mandi." Dengan berusaha menunjukkan dirinya baik-baik saja, Zafina menyunggingkan senyumnya. Namun, satu yang tidak dapat dia tutupi dan bohongi, sorot mata yang menandakan bahwa dia memang sedang terluka.
Adam mengangguk singkat. "Aku akan menyelesaikan pekerjaanku dulu. Kamu tidur saja duluan. Jangan menungguku."
Zafina mengangguk. Baiklah, malam ini dia tidak akan menunggu pria itu sampai pekerjaannya selesai. Jika mengantuk, dia akan segera tidur.
****
Jam setengah satu malam, Adam menyudahi beberapa pekerjaannya. Dia beranjak dari kursi nyamannya, melangkah menuju kamar.
Sesampainya di kamar yang pertama kali menjadi pusat perhatiannya adalah Zafina yang sudah terlelap dengan begitu tenang. Seperti yang Adam lihat, wajah wanita itu pucat sekali.
Perlahan namun pasti, Adam menempelkan telapak tangannya pada permukaan kulit dahi Zafina--mengecek suhu tubuh wanita itu.
Panas.
Adam menghela napasnya. Terserah! Dia tidak perlu peduli dengan kondisi wanita yang sama sekali tak dia cintai tersebut. Lagipula wanita itu sendiri yang menyebabkan dirinya seperti ini.
"Inilah yang namanya sakit dikehendaki," gerutu Adam tega--dalam hati.
Dengan perasaan teramat tega, Adam mengacuhkan kondisi Zafina yang sedang demam. Pria itu mengambil posisi di samping Zafina, berniat segera tidur karena besok pagi dia harus mengantar seseorang ke Bandara dan setelahnya dia ada rapat penting mengenai kerjasama perusahaan dalam bidang properti.
Satu menit, dua menit, hingga beberapa menit ke depan. Adam tak bisa juga menutup kedua matanya. Keadaan wanita di sampingnya sangat mengganggu pikirannya.
Bagaimana bisa Adam mengkhawatirkan keadaan Zafina?
Tidak! Adam tidak boleh peduli pada Zafina.
Namun seberapa keras Adam berusaha untuk tidak peduli, hatinya makin tidak bisa. Pria itu bangun dari posisinya, kemudian mendesah kecewa atas apa yang dirinya rasakan terhadap Zafina. Sekali lagi, Adam meletakkan telapak tangannya pada dahi Zafina, masih panas. Harus apa sekarang dia? Mengompres? Ah, tidak, tidak.
"Mas Adam?"
Suara halus, lembut, dan terdengar lemah itu mengagetkan Adam. Segera Adam menjauhkan tangannya dari dahi Zafina.
"Badan kamu panas, kamu demam?"
Pertanyaan bodoh! Ya sudah pasti wanita itu demam! Adam merutuki pertanyaan dirinya yang kedengaran tak masuk akal itu.
Zafina menggeleng pelan. "Sedikit. Tapi gak pa-pa, besok pasti udah baikan," balasnya meyakinkan Adam. Dia mencari posisi nyamannya, menghadap Adam sambil memeluk guling untuk mencari kehangatan. "Tidur aja lagi, Mas. Bukannya besok ada kerjaan penting?"
Adam mengangguk. Tentu saja dia akan tidur. Memangnya apalagi yang harus dia lakukan selain tidur di tengah malam seperti ini?
"Hem ... Mas Adam tidurnya jangan menghadap sana. Boleh, ya, menghadap ke aku untuk malam ini saja ...?" pinta Zafina pada Adam. Malam ini dia tidak ingin hanya menatap punggung sang suami. Mungkin dia akan lebih baik jikalau pria itu tidur menghadap ke arahnya.
Adan terdiam beberapa saat. Niat awal ingin menolak, setelah melihat tatapan penuh harap dari Zafina dia pun tidak tega. Akhirnya memilih mengiyakan saja.
Dalam hati, Zafina bersorak gembira. Bukankah bahagianya begitu sederhana? Namun, kenapa hal sesederhana itu masih saja sulit Adam ciptakan untuknya?
Bagaimana lagi dia harus bersikap agar pria itu menerima kehadirannya?
****
TERIMAKASIH SUDAH MENUNGGU DAN MEMBACA CERITA ADAM DAN ZAFINA:)