Chapter 29

1224 Kata
"Ya," sahut Shen Mujin, "aku menculikmu." Aini menggertakan giginya kesal. Pria ini benar - benar keterlaluan. Sudah melecehkan dia sebagai wanita, kini menculiknya. "Kau tak ingin menikah denganku, maka tinggalah di sini denganku sampai kau berubah pikiran dan kita akan menikah." Aini sangat marah. Dia dikurung di dalam rumah mewah ini. Shen Mujin ini benar - benar licik. Dia tak memikirkan ini sebelumnya. "Tuan Shen, saya pikir tindakan Anda sekarang sangat tidak pantas. Saya warga negara Indonesia, saya dilecehkan oleh Anda di sini, Anda telah melakukan banyak tindakan kriminal pada saya." Mata Aini menatap tajam ke arah Shen Mujin, "Saya berhati lembut, tetapi Anda tidak tahu siapa sebenarnya kekuatan di balik belakang saya." Tanpa takut Shen Mujin membalas tatapan Aini. "Ini salahmu." Aini mengerutkan keningnya. Salahnya? Apa salahnya? Sekarang Aini benar - benar yakin bahwa Shen Mujin ini bipolar. "Salahmu karena telah lancang mencuri perhatianku." "Kamu buat aku selalu ingin memperhatikan kamu, kemana kamu berjalan, dengan siapa kamu bicara, apa yang kamu makan, apa yang kamu rasakan jauh dari rumah. Semua yang kamu lakukan menarik perhatianku," aku Shen Mujin. Aini tidak habis pikir dengan pria gila ini. Sekarang Aini akan menyebutnya pria gila saja. Tindakannya ini memang gila. "Semua yang ada pada dirimu membuatku tertarik. Luar dalam, atas bawah, semua menarik perhatianku." "Anda sudah gila," ujar Aini. "Ya, saya benar - benar gila," aku Shen Mujin. Aini tertawa sinis, orang gila mengakui bahwa dia orang gila. "Saya gila karena kamu." "Kamu tahu, senyum dan tawamu kamu bagikan kepada pria lain. Kamu mengatakan pada pria lain bahwa kamu suka berbagi, lalu kenapa kamu tidak suka berbagi denganku?" "Shen Mujin!" seru Aini. "Kamu sudah menguji batas kesabaran ku! Buka pintu ini!" "Aku ingin keluar dari sini!" "Tidak." Tolak Shen Mujin. "Pintu vila ini tidak akan terbuka sebelum kamu menikah denganku." "Pria gila! Kamu memang bipolar!" marah Aini dalam bahasa Indonesia. "Teriak dan marah sesukamu, tapi kamu akan tinggal di sini bersamaku." "Aaaa! Buka pintunya!" marah Aini, dia menarik gagang pintu berulang - ulang, namun sayang, gagang pintu ini terlalu besar. Shen Mujin hanya melihat Aini menarik gagang pintu vila sambil berteriak kesal. Setelah beberapa saat usahanya nihil tak membuahkan hasil, Aini menatap tajam ke arah Shen Mujin. "Kamu mencari mati, Shen Mujin." Aini menekan setiap kalimatnya dalam bahasa Mandarin. "Aku sudah duga ini. Menculikmu pasti akan mencari mati. Namun, kenapa aku harus takut?" sahut Shen Mujin. "Jika keluargaku tahu mengenai apa yang kamu lakukan padaku, kamu dan semua yang kamu miliki akan hancur!" Aini mengancam. Untuk kali ini sepertinya dia harus membawa nama keluarganya. Wajah Shen Mujin berubah serius. Apa yang dikatakan oleh Aini memang ada benarnya. Namun, dalam alam pikir Shen Mujin, ini bukan Indonesia. Untuk apa takut pada orang lain? "Ini bukan Indonesia, Aini. Sekarang kamu berada di bawah kekuasaanku," balas Shen Mujin tanpa takut. "b******n!" hari ini sepertinya mulut Aini mencetak banyak dosa karena umpatan dan makian silih berganti keluar dari mulutnya. "Ada pakaian ganti di ruang ganti, mandi lalu kita akan sarapan." "Tidak." Tolak Aini. "Aku tidak ingin makan di rumahmu, buka pintunya!" Shen Mujin berbalik lalu berjalan masuk kembali ke kamarnya tanpa mengacuhkan Aini. "Shen Mujin!" teriak Aini. "Ah!" Aini berteriak kesal. Dia terduduk bersandar di dinding pintu. Bencana, ini benar - benar bencana. Shen Mujin ini gila, dia benar - benar gila. °°° Ponsel yang sedari tadi malam diperhatikan oleh Ben bergetar. Tanda bahwa pesan masuk. Cepat - cepat Ben meraih ponselnya lalu membaca isi pesan itu. 'Papa, Aini sedang berlibur di Beijing untuk beberapa waktu.' Ben mengerutkan keningnya. Pesan dari sang putri bungsu. "Ben, ada apa?" tanya Popy. Dia mendekat ke arah sofa yang diduduki oleh Ben. Ben terpaku lama membaca isi pesan masuk dari 'Aini' itu. Dia melirik ke arah sang istri, "Putri bungsu kita tidak akan ke Jakarta." "Hah? Kok bisa? Bukannya kemarin anak buah Ben sendiri yang bilang kalau Aini sudah naik pesawat ke Beijing?" Popy terlihat kaget. "Aini mengirim pesan bahwa dia sedang berlibur di Beijing untuk beberapa waktu," ujar Ben, dia memperlihatkan isi pesan pada Popy. Setelah Popy membaca pesan singkat itu, dia mengerutkan keningnya. "Ben, Aini tidak pernah mengirim pesan jika memberitahukan hal penting begini," ujar Popy sambil menatap mata sang suami, "dia selalu menelepon." Wajah Ben berubah serius. Benar, putri mereka tidak pernah mengirim pesan untuk memberitahukan hal penting mengenai kepulangannya atau tidak. Ben meraih ponselnya lalu melihat kembali isi pesan itu. Merasa kurang tenang hati Ben, dia menelepon nomor sang putri bungsu. °°° Shen Mujin melihat pantulannya di kaca kamar mandi. Air mengalir dari shower membasahi rambut turun menyebar ke seluruh tubuh. Air dingin membasahi wajahnya yang penuh darah, menghapus jejak darah yang telah mengering. Ketika sisa darah itu terbawa oleh aliran air, wajah tampan yang biasa mulus kini penuh dengan lebam, bekas pukulan dan tamparan. Shen Mujin menyentuh lebam - lebam hasil dari pukulan dan tamparan dari Aini. sepertinya dia harus menggunakan obat khusus untuk menghilangkan lebam itu. Ah, dan mungkin untuk satu minggu dia tidak akan mengikuti pertemuan. Setelah merasa bahwa tubuhnya telah bersih, Shen Mujin meraih handuk putih. Dengan masih mengalirnya air, Shen Mujin memakai handuk itu. Dia membuka pintu kamar mandi lalu berjalan keluar. Dapat Shen Mujin lihat isi kamar yang berantakan hasil dari perseteruan dia dan Aini beberapa waktu tadi. Kelambu robek, selimut penuh darahnya tergeletak di dekat pintu kamar mandi, meja wine miring, botol wine terguling ke kaki ranjang, pecahan gelas wine berserakan. Seprei ambur adul. Pemandangan yang sangat bertolak belakang dari kamar elegan tadi malam. Shen Mujin berjalan hati - hati melewati barang yang tergeletak berantakan di lantai. Shen Mujin berjalan ke ruang ganti. Ketika Shen Mujin membuka pintu ruang ganti, sudah ada beberapa pakaian untuk perempuan. Dres indah elegan untuk perempuan. Jemari Shen Mujin menyentuh dres biru muda selutut. Dres ini dia niatkan untuk dipakai oleh Aini, namun sayang mereka terlibat cekcok pagi ini. Ketika mengingat Aini, dia mengingat bahwa gadis itu masih berada di pintu vila. Terduduk lesu. Shen Mujin mengurungkan niatnya untuk berganti pakaian. Dia mengingat sesuatu yang penting. Shen Mujin berjalan ke arah guci vas bunga di dekat sudut, lalu meraih sesuatu, dan sesuatu itu kamera. Lalu berjalan ke laci nakas dan Shen Mujin mengambil sebuah ponsel. Ponsel milik Aini. Shen Mujin melirik jam dinding. Jam 10 pagi. Jam 10 pagi di Beijing berarti jam 9 pagi di Jakarta. 'Papa' Sudah Shen Mujin duga. Ayah dari Aini, mantan tuan muda Ruiz tidak akan semudah itu percaya pada pesan singkat yang telah dia atur jadwal kirim tadi malam. Tidak mudah dibodohi. Batin Shen Mujin. Shen Mujin berjalan keluar dari kamar, dua tangannya memegang ponsel di tangan kiri, sedangkan kamera di tangan kanan. Aini duduk lesu, hampir satu jam dia mencoba membuka pintu rumah, namun tak bisa. Shen Mujin berjalan mendekat, dia menyodorkan ponsel Aini ke arah Aini. "Jawab panggilan Ayahmu dan katakan kamu sedang berlibur di Beijing." Aini melirik tajam ke arah Shen Mujin lalu melihat ke arah ponsel miliknya. Layar berkedip, tanda ada panggilan masuk. Secercah cahaya melintas di matanya. 'Papa' Tangan Aini hendak meraih telepon namun dijauhkan oleh Shen Mujin. Shen Mujin memperlihatkan kamera di sebelah tangan kanan. "Aku dengar kakekmu sekarang berumur sembilan puluh dua tahun. Aku cukup senang tahu bahwa kakek dari calon istriku masih hidup. Semoga umurnya bertambah panjang dan sehat." Mata Shen Mujin dan Aini beradu tatap. "Di sini ada aktivitas kita tadi malam, aku tidak tahu bagaimana reaksi kakekmu jika melihat foto dan rekaman kita-" "Shen Mujin!" °°°
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN