Pagi menunjukkan pukul 09.00 arena membangunkan suaminya agar mereka bisa sarapan sama-sama bukan senyuman dan kebahagiaan yang nampak dari wajah Jefri melainkan wajah kesal karena dibangunkan selagi dia masih tidur. “Berani sekali kamu membangunkanku,” kata Jeffry. “Sayang, ada apa? Kok tumben bicara begitu?” Sarena menyentuh lengan suaminya, namun Jeffry menghempaskan tangannya hingga menjauh. Sarena menoleh melihat suaminya yang saat ini menampakkan wajah kesal, bukan wajah bahagia seperti pengantin baru pada umumnya. “Jangan berani-berani menyentuhku,” tekan Jeffry. “Ada apa? Aku salah apa? Aku membangunkanmu karena sudah waktunya sarapan. Aku sudah pesan layanan kamar.” Sarena berusaha menjelaskan. “Diam lah. Pergi lah. Kalau mau makan … makan saja sendiri, jangan memaksaku. Aku