Nyatanya Alvin benar-benar merealisasikan apa yang aku ucapkan tadi pagi lewat pesan singkat yang aku kirimkan di nomornya.
Ada sekitar 5 orang siswa yang di minta maju ke depan oleh Alvin untuk menggarap soal matematika yang sudah ia tulis di papan. Namun Alvin tidak meminta mereka hanya untuk mengerjakan saja di depan. Tapi ia juga menyuruh sebagian siswa yang tadi ia tunjuk dan meminta kepada mereka untuk menjelaskan apa yang sudah mereka kerjakan.
Huh..
Aku bisa bernafas lega karena tidak menjadi salah satu murid yang di perintahkan Alvin untuk mengerjakan soal di papan, tapi sialnya aku malah berakhir dengan menghadapi Alvin di kantor karena terciduk nonton drama Korea di tengah pelajaran.
Saat ini aku berjalan mengekorinya, sembari berjalan aku menengok ke segala penjuru arah, melihat kondisi koridor yang lumayan ramai dengan murid lain yang tengah bersantai di luar kelas.
Banyak pasang mata yang terus melirik ke arah kita berdua.
Ralat, para murid perempuan saat ini tak bisa melepas pandangan mereka dari Alvin yang berjalan melewati koridor dengan santainya.
Alvin terlihat cuek, tak menggubris dan bersikap sesantai mungkin.
Dug!
"Aduh kalau jalan yang bener napa sih." ocehku saat kepalaku menabrak bagian punggung Alvin.
Aku memegangi jidatku yang mencium punggungnya itu.
Alvin berdeham sekali. "Masuk." perintahnya dengan nada bossy nan dinginnya.
Dia bisa memasang wajah cuek datarnya itu ketika sedang berada di lingkup sekolah, dan ketika dia hanya sedang berdua denganku sifat aslinya baru muncul. Tukang ngomel yang paling usil. Pada intinya dia menyebalkan.
-o0o-
Tak.. Tak.. Tak..
Alvin mengetukkan jari telunjuknya di mejanya, saat ini aku berada di ruang guru. Ah lebih tepatnya, ini seperti kantor pribadi. Yang tidak bercampur dengan guru yang lain.
"Pak Alvin, saya minta kembalikan handphone saya. Agar saya bisa kembali ke kelas." ucapku tegas. Karena kami saat ini masih berada di lingkup sekolahan, jadi aku pun menggunakan bahasa formal layaknya guru dan murid sewajarnya.
Alvin meletakkan ponselku diatas mejanya. Dia memasang wajah smirknya dan menatap ke arahku.
Tampak dengan sangat jelas kalau dia berniat untuk mengerjaiku sekali lagi.
"Apa sih maunya." batinku dalam hati.
Urusan diantara kita akan segera terselesaikan kalau Alvin segera mengomeliku seperti guru lain lakukan, kemudian dia memberiku poin atau hukuman, setelah itu dia kembalikan lagi ponsel itu kepadaku. Maka masalahpun akan segera beres.
Tapi sedari tadi dia hanya menatap datar ke arahku, tersenyum smirk dan berulang kali berdehem.
"Pak Alvin, sepertinya bapak lagi gak sehat deh. Sedari tadi saya lihat bapak cuma batuk-batuk doang. Terus fungsinya saya disini ngapain pak." celetukku, rasanya seperti tidak jelas saja dan tentunya tidak nyaman saja ada disini bersamanya, kalau di kelas kan aku bisa berbuat semauku.
"Ehem." sekali lagi Alvin berdehem.
Tuhkan. Dia terus-terusan berdehem seperti itu. Memangnya dia mau seperti itu sampai besok ya? I mean, dia tidak mengatakan apa-apa hanya menatapku sembari tersenyum smirk dan berdehem berulang kali.
"so, Tania Valerie." akhirnya dia baru mulai mengeluarkan suaranya dengan benar. Pikirku, kenapa tidak sedari tadi dia memulai pembicaraannya dan malah berdiam sembari mengetuk-ngetuk meja.
Aku menoleh ke arahnya dengan tatapan datarku, sembari menaikkan satu alis kananku. "Kenapa?" tanyaku padanya.
"Kamu tahu kesalahan kamu apa?" ujarnya.
Yah, aku kecewa dengan caranya berbicara. Ternyata dia melontarkan pertanyaan yang sama dengan guru lain yang menanganiku saat aku berkasus di sekolah-sekolah lamaku itu.
Pasti pertanyaan itu selalu muncul sebelum pak guru ataupun bu guru yang hendak mengomeliku.
Aku mengangguk singkat. "Nonton film selama pelajaran berlangsung." ujarku tegas.
"Saya minta maaf sebelumnya pada pak Alvin, kalau begitu tolong kembalikan ponsel saya." imbuhku.
Ctakk..
Aku memejamkan mataku kaget saat dia seperti melemparkan buku di meja yang tepat ada di dekatku itu.
Tapi kenapa dia sampai perlu repot-repot melempar sesuatu kepadaku. Aku tidak tahu kalau dia sekasar ini.
"Ini ponsel kamu saya kembalikan. Jangan ulangi kesalahan yang sama. Dan jangan lupa bawa itu." kata Alvin.
Hah, bawa apa?
Aku melirik kearah meja, Alvin meletakkan ponselku diatas amplop besar berwarna merah maroon polos itu.
Sepertinya ini undangan pesta atau semacamnya itu.
Kenapa dia memberiku ini, apa yang dia mau? Jangan bilang dia mau aku menghadiri acara pesta yang membosankan itu.
Tunggu dulu, apa dia saat ini memintaku untuk menemaninya hadir di pesta itu bersamanya?
Oh tidak bisa.
"Terimakasih pak." aku mengambil ponselku saja. Tanpa menyentuh amplop merah maroon itu.
Yang benar saja dia mau aku datang bersamanya ke acara yang seperti itu. Dengan cara seperti itu secara tidak sengaja dia mau menunjukkan ke semua orang kalau aku ini pasangannya.
Padahal nyatanya tidak.
Aku tidak mau pergi dengannya, apalagi sampai di anggap oleh semua orang kalau aku ini pasangannya. Gak sudi!
Seorang Alvin Darren sosok menyebalkan yang nan usil yang berstatus sebagai guru matematika di sekolahku dan juga pria yang di jodohkan denganku. Untuk ukuran gadis pada umumnya kalau dia di jodohkan dengan pak guru satu ini pasti tidak akan menolak.
Secara saja selain tampangnya yang mendukung dan enak di pandang, dia juga terlahir dari keluarga kaya, belum lagi dia termasuk salah satu lulusan terbaik dari stanford.
Mau bagaimanapun latar belakangnya dia, aku tidak peduli. Karena aku masih menginginkan kebebasan dan tidak mau menikah dengan dia yang sama sekali bukan tipeku.
Di tambah lagi, terlihat jelas kalau Alvin ini merupakan anak baik-baik yang menurut dengan kemauan orang tuanya. Terlihat jelas dari dia yang tidak menolak sama sekali untuk menikah denganku. Dan hal itu menyebalkan. Seharusnya dia bisa menikah dengan perempuan lain yang setara dengannya bukan denganku yang masih duduk di bangku sekolah ini.
"Apa saya harus lapor pada orang tua kamu tentang masalah ini, menonton di jam pelajaran saya merupakan kesalahan yang tidak bisa di maafkan." ancam Alvin saat aku sudah hendak beranjak pergi dari ruangannya. Tanganku baru memegang gagang pintu.
Aku memutar badanku, dan menghadap ke arahnya kembali.
Licik sekali Alvin. Dia memasang wajah santainya seolah tidak ada yang terjadi barusan. Padahal dia baru saja mengancamku dengan cara yang halus.
Dan dia juga menggunakan mamaku sebagai tamengnya.
"Haha. Apa bapak sekarang sedang mengancam saya? Saya tidak takut." ujarku, aku kembali pada posisiku yang semula mau keluar dari ruang laknat ini.
"Okay, kamu sudah menentukan pilihan kamu." jawab Alvin.
Glek!
Aku menelan salivaku susah payah.
Come on Tania, apa yang harus kamu khawatirkan? Uang saku harian, kan masih bisa porotin para cowok yang begatal sama kamu.
Nampaknya Alvin dengan sengaja menekan tombol loudspeakernya agar sengaja aku mendengar kalau dia tengah menghubungi orang tuaku agar datang kemari.
Tutt..
Tutt..
Tutt..
Sial!
Aku berjalan berbalik ke arahnya, dan mengambil amplop merah itu dengan kasar.
"Nanti jam 7 malam saya jemput di rumah kamu." ucapnya.
"Terserah lo, gue mimpi apaan sih semalem, kenapa jadi sesial ini." ujarku kemudian aku baru benar-benar pergi dari ruangannya.
Alvin sudah menang dua langkah untuk kali ini, dia berhasil menjemputku dan mengantarkanku ke sekolah, sekarang malah dia berhasil menggiringku dan membawaku ke pesta.
Tunggu saja pembalasan dari Tania Valerie