Eits! Sebelum baca ada baiknya jika ingin up setiap hari, bolehlah kakak TAP LOVE DI SAMPING EPISODE dulu yaa. Satu Love kalian sangat berarti buat penulis/akuu :) Untuk yang belum tahu Love, maksudkuu bentuk jantung di sebelah episode masukann ke librarymu yaa kakak, Thankyouuu :*
Halaman 13
.
.
.
Apa yang Teresa hirup saat perlahan mulai mendapat kesadarannya, aroma lavender yang cukup keras, namun menenangkannya. Bagaikan aroma therapy, rasa gusar dan ketakutannya perlahan hilang. Merasakan seseorang menghapus keringat yang menetes di pelipisnya.
“Ugh,” erang Teresa dalam tidurnya. Berapa kali pun Teresa memejamkan mata, bayangan sang Bibi selalu datang menghantuinya. Tidak pernah hilang, ketakutan Teresa kembali datang, bergerak pelan. Saat tubuh mungil itu berlari dalam mimpi, hendak menjangkau tubuh Bibi Amari.
Menangis, dan menyebut nama wanita paruh baya itu, “Bibi---Bibi!!” Satu teriakan terdengar kencang, tangan Teresa reflek bergerak menjangkau ke depan, seiring tubuhnya ikut bangkit. Bangun dalam keadaan napas sesak dan jantung berdetak cepat.
Kedua manik hazel itu mengerjap beberapa kali, merasa panik saat menelisik ruangan yang terlihat asing untuknya. Pikiran Teresa menganalisa dengan cepat, bukannya kemarin dia sedang ada di luar, kehujanan saat ayah dan ibu sengaja meninggalkan Teresa di tempat yang jauh dari perkotaan?
Tapi sekarang, tidak ada Bibi Amari atau kamarnya yang dulu. Sebuah ruangan dengan gaya retro, dengan beberapa tempelan poster penyanyi jaman dulu, lantai berbahan kayu, warna abu-abu, biru, dan beberapa coklat. Tidak terlihat elegan dan mewah seperti kamar ibu ayahnya, lebih cenderung ruangan santai dengan model yang rustic
“I-ini dimana?” gumam Teresa bingung, tidak sadar sama sekali dengan keberadaan seseorang yang baru saja menutup pintu masuk, membawa nampan berisikan sup hangat dan bubur.
“Kau sudah sadar rupanya,” Suara baritone yang berat, mengagetkan Teresa. Pandangan gadis itu menatap cepat, berjengit shock. Mengingat kembali pertemuan mereka tadi malam. Laki-laki yang sempat Ia lihat bertemu dengan ibunya. Beberapa tahun lalu, Teresa mengingatnya walau hanya sekilas saja. Wajah laki-laki itu tertutup oleh rambut panjang dan sebuah topi.
Kali ini sedikit ragu, tapi suaranya benar-benar sama. Sosok kumal yang dulu Teresa lihat berubah drastis. Walau pakaian yang Ia gunakan masih tetap sama, baju santai yang sering terpakai, dan celana dengan beberapa robekan di bagian lutut.
“Pa-paman yang saat itu ketemu dengan ibu?” Menelisik seluruh ruangan lagi, “Ini dimana, Paman?” Laki-laki itu berjalan mendekati Teresa, menaruh nampan di atas meja, dan duduk tepat di sampingnya.
Mengabaikan pertanyaan Teresa terlebih dahulu, pandangan Johan menelisik wajah gadis itu dengan lekat, sudah tidak terlalu pucat seperti kemarin. Claire sudah membersihkan beberapa luka di bagian kaki yang mengeluarkan darah, dan luka dibagian wajah Teresa, “Bagaimana kondisimu sekarang?”
Manik Teresa mengerjap polos, menatap dirinya sendiri, tanpa sadar menyingkap selimut yang menutupi setengah badannya. Melihat bagaimana kaki palsu itu nampak jelas, penuh perban dan beberapa plester di bagian luka-luka kecil. Tubuh Teresa gemetar, tidak berani berbicara selama beberapa saat.
Menatap sosok tegap paruh baya itu, “Pa-paman lihat kakiku?” tanya Teresa ragu, menarik selimut sekali lagi. Meremas benda yang menutupi kaki palsunya. Walaupun Teresa sudah siap menerima pandangan jijik laki-laki itu. Tapi tetap saja, dia tidak akan pernah terbiasa, napas Teresa akan selalu sesak melihat pandangan itu.
Johan mendesah panjang, menatap Teresa dengan sedikit tekukan di kening, “Aku tanya sekali lagi, bagaimana kondisimu sekarang, gadis kecil?”
Meneguk ludah tanpa sadar, Teresa sedikit menelengkan kepalanya, menjawab ragu, “Ko-kondisiku baik-baik saja, Paman.” Bohong tentu saja, Teresa masih bisa merasakan kepalanya berdenyut keras, bahkan kaki palsunya yang sudah terbalut perban seakan bisa lepas kapan saja.
Mengetahui kebohongan Teresa, Johan melirik ke arah selimut yang masih menutupi setengah badan Teresa. Gadis kecil itu menunduk ketakutan. Wajahnya nampak tenang tapi tidak dengan gemetar yang terlihat jelas.
Dia juga tidak bisa memaksa, Teresa harus berusaha mengadaptasikan diri di sini, “Hh, ya sudah. Aku membawakan sup hangat dan bubur, segera selesaikan sarapanmu, setelah itu mandi dan ganti pakaian. Sebentar lagi akan ada yang datang ke sini lagi merawat luka, gadis kecil.”
Masih tidak mengerti, sebelum Teresa bertanya lebih jauh, Johan langsung bangkit. Tanpa berbicara meninggalkan dia dalam ruangan sendiri. Bingung dengan pikirannya sendiri. Teresa belum mendapatkan jawaban, dimana dia berada sekarang?
.
.
.
Suara musik saling menyatu, berdentum keras memenuhi seluruh ruangan, suasana yang temaram dengan beberapa lampu-lampu berwarna warna menghiasi. Sebuah tempat yang berada di tepat bawah tanah, tersembunyi dan hanya diketahui oleh beberapa petinggi saja. Tempat bagi mereka menyalurkan semua keinginan yang sedikitnya dilarang oleh Negara.
Hal yang tabu berubah menjadi wajar di sini. Johan menuruni tangga, turun dari lantai dua. Berjalan menuju area bar yang cukup luas. Menghampiri sosok wanita yang sempat Ia tolak kemarin. Claire tentu saja menjadi pelanggan setia tempatnya. Sibuk berbincang dengan bartender yang Ia kenali.
Wanita dengan profesi setiap paginya sebagai dokter, berubah drastis saat malam. Sekarang karena Johan sendiri yang meminta tolong Claire untuk mengawasi kondisi Teresa untuk beberapa hari ke depan. Wanita itu tidak bisa menolak, tentu saja.
“Claire,” Menepuk pundak Claire, sosok yang masih meneguk beberapa tequila di pagi hari, nampak santai saat Johan menggangguk kesenangannya. “Hm, gadis itu sudah sadar?” tanya Claire tanpa melirik ke arah Johan, menikmati dentuman musik yang masih berdengung pagi hari seperti ini.
“Bisa kau cek dia sekali lagi?” pinta Johan singkat. Barulah Claire melirik, sekilas mendengus, menghabiskan tequila dalam sekali tegukan. “Hm, aku bisa asal kau berikan aku ciuman yang panas satu kali.” Setengah terkekeh, Claire beranjak dari posisinya, tidak pantang menyerah, mengalungkan kedua tangannya tepat di leher Johan. Dengan wajah memerah, dan senyuman menggoda.
Johan menghela napas panjang, melirik ke arah sang bartender, wanita berumur dua puluh lima itu mengerti. Mengalihkan pandangan dan membalikkan tubuh. Terfokus dengan gelas yang sedang Ia bersihkan.
Bergerak menarik pinggang ramping Claire, tidak perlu waktu lama bagi Johan melumat bibir wanita itu, membuat sang empunya kewalahan. Sedikit kaget, saat mengira Johan akan menolak, dengan napas tercekat, wajah memerah merasakan pagutan keras di bagian bawah bibirnya.
“Umph!” Nyaris berteriak dan pingsan karena kehabisan napas, bergulat selama lebih dari lima menit. Johan melepas ciuman mereka cepat, menghapus beberapa aliran saliva yang masih menyatu diantara kedua bibir itu. Menatap dan menaikkan salah satu alisnya heran.
“Kenapa wajahmu memerah? Kau sudah mendapatkan hadiahnya kan? Cepat pergi ke atas,” Wajah Johan masih nampak santai, sementara Claire sudah kaget, menahan diri agar tidak tumbang. Menutup bibirnya cepat,
“Ka-kau!! Padahal kemarin menolak ajakanku bermain!! Sialan!!” Wanita itu berteriak kencang, langkahnya cepat meninggalkan Johan.
Meninggalkan Johan dalam dengusan singkatnya, laki-laki itu duduk, menyenderkan tubuh ke arah meja bar, saat kedua maniknya tak sengaja melirik ke belakang. Melihat bagaimana bartender di sana masih berbalik, enggan untuk menoleh lagi.
“Kau sudah boleh bekerja lagi, Aina.” Memanggil wanita berambut pendek dengan pakaian bartender khususnya. Wanita itu berjengit sekilas, reflek berbalik, mengira bahwa Johan sudah pergi. Tuan besar di tempat ini. “A-ah, iya.”
Tapi tidak, Johan masih duduk di sana, menoleh tepat ke arah Aina, “Kau tidak marah kan kalau aku menciumnya tadi?” ujar laki-laki itu asal. Aina mendesah panjang, menggelengkan kepalanya cepat.
Kembali menenangkan ketegangannya tadi, “Tentu saja tidak.” jawab Aina singkat.
Johan bersiul beberapa saat, “Hm, baguslah.” Saat beberapa wanita yang Ia pekerjakan melihat Johan duduk santai di sana. Mereka langsung mendekati sang Tuan besar dengan wajah sumringah.
“Ah, Tuan Johan!!”
.
.
.
Sedikit ragu, Teresa memberanikan diri turun dari tempat tidur. Dia memang lapar sekali sejak kemarin. Terakhir Teresa hanya menikmati masakan buatan sang ibu, setelah itu malamnya mereka sama sekali tidak mengajak Teresa kemana-mana. Hanya pergi ke tempat jauh dari perkotaan dan meninggalkan Teresa begitu saja.
Ah, mengingat itu kembali. Napasnya sesak. Menggelengkan kepala cepat, setelah menghabiskan bubur dan sup tadi. Teresa langsung mandi dan mengganti pakaiannya. Alis gadis itu tertekuk bingung saat melihat pakaian yang disiapkan. Baju kaos dan rok pendek?
Teresa tidak terbiasa menggunakan rok, apalagi pendek. Kaki palsunya bisa dilihat orang-orang, enggan menggunakan benda itu, Teresa hanya mengganti baju kaos saja. Walau kaki palsunya sudah ditutupi dengan perban, Teresa tidak mau.
Mencari pakaian yang Ia gunakan tadi malam, ternyata masih ada di sana! Tersenyum sekilas, tanpa basa-basi menggunakan celana itu. Masih kotor memang, belum dicuci, tapi Teresa lebih nyaman menggunakannya.
Saat gadis itu masih sibuk dengan celananya, pintu kamar terbuka cepat. Sedikit berjengit kaget, tubuh Teresa oleng, jatuh membentur lantai kayu. Panik, cepat-cepat menggunakan celana panjangnya.
“Oh, kau sedang ganti pakaian, maaf ya.” Sesosok wanita bertubuh tinggi dan cantik nampak tersenyum melihatnya. Menutup pintu kembali, membawa sebuah tas kotak bergambar P3K, ‘Tante ini mau apa?’ batin Teresa takut.
“Ta-tante, siapa?” Bibirnya reflek bertanya, wanita itu masih tersenyum kecil. Berjalan menghampiri tempat tidur, dan menaruh beberapa barang. Mendekati Teresa yang masih diam di depan kaca besar, tubuh sang empunya membeku, tidak bisa bergerak karena takut.
Claire mengulurkan salah satu tangannya, berusaha mempertahankan sikap sopan di depan gadis berusia sepuluh tahun, “Kita belum berkenalan sebelumnya, namaku Claire Blasatra, panggil saja kakak Claire atau biar lebih mudah, Ire juga boleh.”
Senyuman yang teduh, Teresa justru memperhatikan celana yang masih setengah menutupi kaki palsunya. Cepat-cepat menutup benda itu, setengah panik, Claire melihat gerak-gerik sang gadis kecil.
“Hm, kenapa Teresa tidak menggunakan rok yang kakak berikan?”
Satu pertanyaan itu sukses membuat Teresa makin panik, “A-ah, itu-mm-Tere tidak bisa pakai,” Jawaban yang keluar justru hanya sebatas suara tipis.
“Apa?”
Memberanikan diri menatap sosok cantik di depannya, wanita itu bahkan mensejajarkan tubuh dengan Teresa, “Tere, pakai kaki palsu, kalau kakak lihat kaki ini pasti akan jijik.” jawabnya dengan polos. Berusaha agar tidak merengut. Tapi Claire melihatnya, bagaimana bisa anak sekecil Teresa mengatakan hal menyakitkan seperti itu? Dia tak habis pikir.
Mengerutkan kening heran, “Kenapa harus jijik? Kakak justru merasa kalau Teresa keren lho,” Mengerjap kaget, Teresa mendadak bingung. Keren? Baru pertama kali ini dia mendengar kalimat itu, “Keren?”
Saat tangan Claire menepuk puncak kepalanya pelan, “Tentu saja, karena di umur sekecil ini Teresa sudah bisa menahan diri dengan kaki itu. Padahal setahu kakak ya, kalau anak seumuran diberikan kaki palsu, mereka pasti trauma dan sering kali merengek tak mau.”
Bolehkah Teresa mengatakan semua? Menatap kaki palsunya sekali lagi, “Tere diberikan hadiah kak palsu ini saat usia satu tahun-mm- mungkin sebagai hadiah ayah dan ibu.” Tersenyum tipis, menyangka bahwa Claire akan kembali menatapnya kagum.
Tapi tidak, wanita itu justru kaget, sangat shock mendengar jawaban Teresa. “U-umur berapa Teresa bilang?” Claire kembali bertanya, sementara Teresa hanya menatap bingung. “Satu tahun, kakak.”
Satu tahun? Sebagai dokter yang sudah berpengalaman selama bertahun-tahun, walau dia tidak mengambil tugas di bagian luka dalam. Claire sering kali mendatangi seminar teknik pemasangan kaki palsu yang sering menjadi pembicaraan oleh beberapa professor di tempatnya bekerja.
Satu tahun bukan usia yang tepat untuk melakukan pemasangan kaki palsu. Usia dan mental anak tidak akan siap, menerima kejutan dan rasa sakit setelah memasang benda itu. Mengerutkan kening tak percaya.
“Satu tahun? Teresa tidak salah bilang ‘kan?” Kembali lagi bertanya, Teresa menggeleng kecil. “Mm, satu tahun. Saat itu ada Bibi Amari di samping Tere, Bibi yang menemani Tere sampai sembuh!” Teringat wanita kesayangannya, wajah Teresa kembali menunduk.
Merasakan sakit di kepala, Claire menggeleng kecil. Baiklah, kalau memang ucapan Teresa benar, dia harus menanyakan gadis kecil ini lebih banyak. Kenapa ada orangtua yang tega melakukan hal itu pada anak mereka?! Kali ini, melihat kondisi Teresa yang belum pulih, Claire memilih menunda pertanyaannya.
Mendesah panjang, tersenyum tipis, “Baiklah kalau begitu,” Claire mencoba sekali lagi meyakinkan Teresa, “Tapi di sini tidak akan ada yang menatap Teresa seperti itu, bagaimana kalau gunakan saja rok yang Kakak beli?”
Masih keukeuh dengan pendiriannya, Teresa menggeleng cepat. “Tidak, Kakak. Teresa lebih nyaman menggunakan celana panjang ini,” Sudah terlalu besar trauma yang Ia terima, Teresa tidak mau menerima pandangan seperti itu lagi di sini.
Oke, Claire menyerah. Dia tidak bisa memaksa gadis kecil di depannya lebih jauh, mengangguk kecil, “Hh, oke Kakak menyerah. Kalau begitu setelah ini Kakak akan mengecek kondisi Tere lagi, oke?”
“Baik, Kakak!” Senyuman itu nampak di wajah Teresa, tapi anehnya Claire justru merasakan aura asli dan sikap gadis kecil di depannya saat ini saling bertentangan.
.
.
.
Tidak membutuhkan waktu lama, Claire mengecek semua kondisi Teresa. Benar saja, kondisi Teresa masih jauh dari kata baik, luka di kaki itu masih basah, beberapa luka di sekujur tubuh juga masih meneteskan darah, setelah mengeringkan rambut Teresa dan menguncir dengan gaya pony tail.
Teresa baru pertama kalinya mendapat perlakuan seperti itu, Claire langsung sigap mengajak Teresa untuk segera turun ke lantai bawah. Bertemu dengan Johan, sedikit ragu dan takut, tapi mampu disembunyikan sang gadis kecil.
Teresa sudah terlanjut mampu bertahan sendiri, tidak ingin bergantung pada siapapun. Saat kakinya melangkah, mengikuti kemana kak Claire mengajaknya. Keluar dari kamar, suasana di luar sana terasa jauh berbeda. Langit-langit yang cukup rendah, ruangan gelap, lampu temaram, dan dentum musik berdengung kuat.
‘Tempat apa ini?’ batin Teresa bingung, pertama kalinya Ia mendatangi tempat aneh seperti ini. Sangat aneh, banyak sekali orang-orang berkumpul, tidak ada yang seumuran dengannya. Hanya para wanita dan laki-laki dewasa.
Sedikit takut, Teresa meringsek dan berjalan semakin cepat berdiri di belakang Claire, ikut menuruni tangga. Kemana kakak itu mau membawanya?
Sementara Claire, melirik tubuh mungil Teresa. Ia mendesah singkat, mengamit tangan gadis itu pelan. “Sini, gandengan sama Kakak saja ya.” Tanpa menunggu respon Teresa, karena sang empunya sudah lebih dulu bengong saat sang kakak menggandeng tangannya.
Berjalan semakin turun ke lantai bawah, music makin terdengar keras. Aroma yang sangat kuat menusuk hidungnya, dia kenal aroma ini! Bercampur dengan parfum ruangan, dan dinginnya AC. Sangat menusuk, Teresa reflek menutup hidungnya.
Pernah beberapa kali Ia menangkap aroma ini di dekat kamar ayah dan sang ibu. Menyengat, kalau tidak salah namanya. Alkohol!
“Ugh, bau,” gumamnya sekilas.
Terdengar oleh Claire, wanita itu hanya terkekeh geli. “Nanti juga Tere akan terbiasa kok,” Menatap ke depan lagi, menangkap sosok Johan yang masih duduk di dekat meja bar. Tapi dengan kondisi yang berbeda. Laki-laki itu sudah dikerumuni banyak wanita.
“Aish, dia mulai lagi!!” gerutu Claire kesal. Mempercepat langkah mereka, “Johan!!” Dengan sengaja memanggil nama Johan sekeras mungkin.
Bisa Ia lihat Johan melambai ke arah mereka berdua, “Ck, kenapa bukan dia saja yang menghampiri kita!” Setengah malas, berjalan mendekati Johan. Claire menyibak beberapa wanita yang tengah mengerumuni laki-laki itu.
Sosok Johan masih duduk santai di sana, pandangannya menatap tubuh mungil Teresa, “Kau sudah mengeceknya ‘kan?” Sembari bertanya pada Claire.
“Tentu saja, aku sudah mengeceknya sebaik mungkin, tidak sepertimu! Diam saja menikmati waktu dikerumuni wanita-wanita ini!” Tidak takut menyindir beberapa wanita di dekat Johan. Beberapa pekerja yang memang Johan rekrut sejak lama.
Johan hanya bisa mendengus, perhatiannya terfokus pada Teresa. Bagaimana laki-laki itu perlahan berdiri, dengan senyuman yang tipis. Berjalan mendekati Teresa, dengan posisi salah satu tangan terulur pada gadis di depannya.
“Bagaimana sebelum aku menjelaskan lebih jauh, kita berkenalan dulu, gadis kecil.”
Manik hazel Teresa mengamati dengan baik sosok laki-laki itu, dari bawah sampai atas, menengadah dan mengerjap polos. Terakhir menatap tangan yang terulur ke arahnya, sosok di depan Teresa ini sudah menyelamatkannya malam kemarin.
Dia harus tetap sopan.
Membulatkan tekadnya, sedikit ragu menyambut uluran tangan itu, menatap dengan tegas. “Terimakasih karena sudah menolong saya kemarin, Tuan. Nama saya Teresa Oriel.” Mengenalkan diri lebih dulu.
Johan tersenyum, tidak menyangka bahwa Teresa akan membuka diri secepat ini, menggenggam tangan Teresa erat, “Salam kenal, Teresa. Kau boleh memanggilku Johan mulai hari ini.”
Saat pandangan mereka saling bertemu, saat itu juga Teresa tahu. Bahwa mungkin hidupnya akan benar-benar berubah sekarang juga.