Chapter 9

1733 Kata
Leary membuka pintu ruang makan, waktunya makan malam sudah tiba, anak itu tidak begitu berharap untuk bisa makan bersama keluarganya, tidak ada masalah juga untuknya bergabung makan bersama para pelayan rumah yang kebetulan kini mereka sudah kembali. Nampaknya Darrel juga masih akan lama bekerja di luar kota, sementara Petri dan Ellis tidak Leary lihat sejak kemarin malam. Kaki Leary berjinjit meraih handle pintu dan mendorongnya. Begitu pintu ruang makan terbuka, Leary langsung melihat Petri duduk sendirian tengah makan makan sendirian. Ellis yang masih bermain bersama temannya belum pulang dan tidak bisa makan malam bersama. Leary tampak terkejut, namun dia juga merasa sedikit senang karena kini ada yang memasak, dengan begitu dia bisa menumpang makan kembali di meja makan. Dengan hati-hati Leary masuk dan mendekati kursinya sendiri, kepala Leary menengadah membuat setengah wajahnya dapat terlihat di meja. “Selamat malam Tuan,” sapa Leary dengan hati-hati. Petri tidak merespon apapun, anak itu sibuk makan sendiri. Karena tidak kunjung mendengar jawaban, dengan senyuman memaksakan Leary akhirnya merangkak naik ke atas kursi dan segera duduk, sekilas anak itu mencuri-curi pandang pada Petri yang duduk di depannya. Ternyata lebih bagus jika Petri tidak berbicara apalagi menatapnya, dengan begitu Leary tidak begitu merasa takut. Dengan cepat Leary mengambil piring yang sudah di isi makanan dan melahapnya. Leary tidak ingin duduk berlama-lama dengan Petri, dia takut Petri akan memarahinya lagi. Baru beberapa kali Leary menelan makanannya dan mengunyahnya, anak itu mulai merasakan sesuatu yang aneh di mulutnya. “Uhuk” Leary tersedak dengan makanannya sendiri, anak itu segera menunduk di sisi meja agar tidak mengganggu Petri. Rasa gatal di tenggorokan dan lidahnya bisa Leary rasakan hingga membuat dia kesulitan untuk menelan makananya. Suara Leary yang tidak berhenti batuk membuat Petri membanting sendoknya ke meja. “Sialan, jangan mengganggu selera makanku,” geram Petri memaki dengan jijik karena selera makannya menjadi hilang. Dengan kesulitan Leary menelan makanannya dan kembali mengangkat wajahnya yang kini berair. Leary memaksakan diri menelan makannya meski dia merasa sangat ingin muntah. “Maafkan saya,” bisik Leary dengan nada tertekan dan napas sedikit tersenggal karena menahan batuk. Petri mendengus kesal kembali melanjutkan makan, namun Leary, anak itu berhenti makan dan hanya diam tertunduk sambil menutup mulutnya untuk merendam suara batuknya. Sekali lagi Petri membanting sendoknya karena kesal, dalam satu gerakan tangan Petri ke sisi, menyingkirkan piring makanannya dengan lemparan keras hingga beberapa piring dan gelas jatuh pecah di lantai. Leary sempat tersentak kaget dan semakin tertunduk, bahu kecil itu gemetar ketakutan karena dia tahu bahwa Petri marah lagi kepadanya. Rasa takut dan sedih kembali menekan perasaan Leary, anak itu bisa merasakan reaksi berlebihan Petri setiap kali berada di hadapannya. “Kenapa kau tidak memakannya? Sekarang kau mau pilih-pilih makanan juga hah?” hardik Petri dengan bentakan, Petri sangat tidak suka anak tidak tahu di untung seperti Leary berhenti makan hanya karena dia sedikit berkata tegas padanya. Petri tidak suka, dia berpikir tidak sepantasnya Leary bersikap manja hanya karena mereka beberapa kali pernah berbicara. “Saya.. saya.. alergi makanan laut,” aku Leary dengan bisikan samarnya. “Saya minta maaf sudah mengganggu dan membuat selera makan Anda hilang, saya tidak akan mengulanginya lagi.” Jawaban Leary bak sebuah petir di siag bolong, kemarahan di hati Petri yang meledak-meledak hilang tanpa jejak. “Saya tidak akan mengganggu selera makan Anda lagi, maafkan saya,” cicit Leary tetap mempertahakan diri untuk tidak menangis meski kini tenggorokan dan perutnya sakit. Leary segera melompat turun dari kursinya dan membawa piringnya yang baru sedikit dia cicipi. Tanpa berkata apa-apa lagi, Leary langsung pergi keluar dari ruang makan meninggalkan Petri yang kini tertegun sendirian melihat kearah pintu. Petri tertunduk dengan wajah pucat, dia baru tahu jika Leary memiliki alergi yang sama seperti ayahnya, Darrel. Apa barusan dia sudah beraksi berlebihan?, batin Petri. Tangan Petri terkepal kuat, dengan gusar anak itu langsung turun dari kursinya dan melangkah lebar keluar dari ruang makan. Petri berjalan dengan cepat hampir berlari begitu dia melihat bayangan Leary yang berlari keluar dari dapur sambil memegang tenggorokannya menahan muntahan. Sepercik rasa bersalah mengganggu hati Petri dan membuat anak itu berlari mengejar Leary yang kini pergi menuju kediamannya, mencari-cari Burka. Langkah Petri terhenti, dia memilih bersembunyi di balik pilar besar mendengarkan Leary yang merintih menangis meminta tolong kepada Burka yang datang menolongnya. Dengan cekatan Burka menggendong Leary dan membawanya pergi. Petri membuang napasnya dengan kasar, sejenak dia termenung memikirkan sudah dua kali dia melukai Leary, padahal Petri tidak bermaksud melukainya meski sangat membencinya. Petri melukainya tanpa sengaja karena dia tidak mengenal Leary sedikitpun. *** Jam di atas laci sudah menunjukan pukul sebelas malam, Leary masih terjaga. Leary mengurung diri di kamar usai Burka memberinya obat dan menanganinya dengan sangat baik yang membuat Leary tidak merasa sakit sedikitpun. Leary duduk di sisi jendela melihat indahanya sungai Thames yang kini samar dia lihat keberadaaannya. Rasanya akan sangat membahagiakan bila dia kembali bisa menikmati keindahan kota London di malam hari, namun apakah bisa?. Dapatkah aku kembali menyelinap? Batin Leary bertanya-tanya. Meski sudah kehilangan sepatu, Leary merasa tidak kapok dan sangat ingin kembali menikmati keindahan kota London. Dia merasakan kebebasan dan kebahagiaan saat berada di luar sana. Leary menghela napasnya dengan berat, anak itu menimang-nimang apakah bisa dia mencoba keluar malam ini juga? Namun bagaimana jika dia bertemu dengan orang jahat seperti semalam?. Beberapa menit merenung akhirnya Leary melompat turun dari bangku, anak itu mengambil jaket dan mengenakannya. Leary mengenakan sandal dan segera keluar dari kamar, tidak lupa pula menguncinya, Leary menyembunyikan kunci pintunya di pot bunga yang berada di depan pintu. Dengan hati-hati Leary bergerak, anak itu berlari dengan cepat, pergerakan Leary tidak mendapatkan perhatian banyak orang karena memang keberadaan kediamannya berada jauh dari kediaman rumah utama. Melalui jalan yang sama Leary pergi menuju pintu kayu menuju keluar. Suasana malam terasa indah dan menyenangkan seperti malam sebelumnya, Leary ingin berkeliling pergi tidak sejauh malam sebelumnya. Cukup dengan diam di dekat sungai Thames, itu sudah cukup menyenangkan hatinya. Beberapa menit Leary berjalan untuk bisa sampai ke pinggiran sungai Thames, kini anak itu berdiri di bawah lampu, kakinya berjinjit melihat riak permukaan air yang di terpa angin. Bola mata Leary terlihat berbinar, melihat bangunan-bangunan yang penuh cahaya, jembatan tower brigde yang begitu besar dan kokoh, di tambah kendaraan yang masih hilir mudik ke sana-kemari. Rambut perak Leary bergerak tidak beraturan di terpa angin. Suara angin yang berbisik menyentuh daun telinganya membuat Leary merasa tenang, rasanya dia seperti kembali ke kampung halamannya, desa Gloucestershire yang memiliki sungai indah. “Andai ibu masih ada. Aku penasaran sekarang ibu sedang apa, apa dia merindukanku juga?” tanya Leary pada kegelapan malam. “Di sini sangat indah, namun aku ingin pulang. Di sini juga sangat ramai, namun aku merasa kesepian.” “Pulang ke mana?” Leary tersentak kaget, dengan sedikit terhuyung anak itu berhenti berjinjit dan melihat ke sisi, Leary tersenyum melihat Ferez yang tiba-tiba saja sudah berdiri di sampingnya. Leary kembali berjinjit dan melihat ke arah sungai, dari kejauhan dia juga dapat melihat samar keberadaan menara big ben, Leary sangat penasaran apakah jam itu akan berdentang seperti di buku dongeng?. “Pulang ke rumahku,” jawab Leary yang terlambat bersuara. Ferez ikut melihat ke mana Leary memandang, anak itu sedikit memijat tengkuknya terlihat bingung harus berkata apa lagi karena dia tidak pandai membangun percakapan. Akan tetapi, Ferez ingin mendengar suara lembut kecil Leary yang mirip seperti suara harpa. “Memangnya kau berasal dari mana?” tanya Ferez terdengar berhati-hati, biasanya dia menanyakan asal-usul seseorang hanya untuk misi mata-mata, bukan perkenalan santai. “Desa yang jauh. Dulu aku tinggal di sana bersama ibuku.” Ferez terdiam, kini dia mengalihkan perhatiannya dan memilih memperhatikan Leary yang kini terlihat lebih jelas karena mereka berada di bawah lampu. Malam ini Ferez gelisah tidak bisa tidur, karena itu dia menyelinap keluar dari rumahnya, tahu-tahu saja kini dia berada di sini dan bertemu dengan anak cengeng yang kemarin sempat bertemu. Ferez tidak tahu mengapa dia harus menghampiri Leary dan mengajaknya berbicara. Keberadaan Leary langsung menarik perhatian Ferez meski gadis itu berdiri jauh dari jangkauannya, Ferez merasakan sebuah daya tarik yang tidak dapat dia hindari setelah sekian lama mencari-cari adrenalin untuk mewarnai hati dan pikirannya yang selam ini hanya memiliki satu warna karena terbiasa dengan berbagai situasi. “Apa kau tidak takut pergi keluar sendirian tengah malam?” tanya Ferez lagi sambil memperhatikan Leary dengan lekat. Ferez penasaran, apakah Leary juga sama seperti dia, tidak memiliki rasa takut dan sedang mencari-cari warna dalam kehidupannya yang membosankan hingga akhirnya menyelinap keluar di tengah malam. Wajah mungil Leary terjatuh menekan tangan kecilnya yang melipat di atas pagar, “Aku merasa bahagia saat keluar sendirian sambil melihat keindahan kota yang baru ku lihat.” Jawaban Leary terdengar aneh untuk Ferez karena anak itu merasa masih samar bahkan harus meraba apa itu artinya dan apa rasanya bahagia juga rasa sedih. “Memangnya kau tidak bahagia dengan keluargamu?” Ferez pernah mendengar seorang pria tua mengatakan bahwa uang tidak dapat membeli kebahagiaan hatinya saat bersama keluarganya, pria tua itu sangat bahagia saat dia berkumpul dengan anak isterinya. Bukankah keluarga McCwin memiliki banyak anggota keluarga? Untuk apa anak cengeng itu mencari kebahagiaan lain?, batin Ferez bertanya. “Aku..” Leary tidak dapat melanjutkan ucapannya, lidahnya terasa kelu untuk melanjutkan kata-kata bahkan kepalanya harus berpikir keras untuk mengartikan perasaannya melalui ucapan. “Aku pikir.. aku merasa tidak bahagia karena mereka tidak menganggapku keluarga,” aku Leary dengan takut. Ferez mendengus geli mendengarnya, tidak ada simpati sedikitpun yang tersirat di wajahnya karena Ferez sendiri tidak begitu paham arti keluarga dan apa artinya bila tidak di akui keluarga?, anak singa saja bisa berburu dan hidup sehat ketika orang tuanya pergi meninggalkannya. Itulah yang Ferez pikirkan. “Di mana rumahmu?” kini giliran Leary yang bertanya. “Jauh.” “Apa kau tidak takut keluar dan pergi jauh sendirian?” “Aku tidak cengeng sepertimu,” jawab Ferez terdengar sedikit meledek. Seketika bibir Leary cemberut, anak itu terlihat tidak begitu terima di panggil cengeng, dia hanya menangis ketika sudah tidak dapat mengontrol perasaannya saja. Ferez melihat ke belakang, memperhatikan keberadaan rumah keluarga McCwin yang masih dapat di lihat. Memikirkan keluarga McCwin, Ferez jadi teringat Petri yang sampai saat ini masih sering mengganggu Ferez dalam beberapa kesempatan. Ferez penasaran, bagaimana reaksi Petri jika dia tahu adiknya bersama Ferez tengah malam. Akankah Petri murka seperti anak perempuan yang suka merajuk, dan bagaimana jika adik Petri sedikit Ferez lukai? Mungkin dengan mematahkan tangannya, akankah Petri menggila karena selama yang Ferez tahu, Petri terlihat sangat menyayangi adiknya yang Ellis.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN