Chapter 2

1887 Kata
Leary tersentak kaget begitu tahu pria asing yang ada di hadapannya mengenal ibunya. Perlahan Leary semakin mengangkat wajahnya dan memberanikan diri untuk menatap mata pria asing itu. Ada sebuah kehangatan yang sangat asing Leary rasakan sekarang, Leary menjadi bertanya-tanya siapa pria yang ada di hadapannya itu? Mengapa mereka memiliki nama marga nama yang sama? Leary merasa sangat familiar meski ini untuk pertama kalinya mereka bertemu. Darrel melihat ke pintu, pria itu terlihat sedang menantikan sesuatu yang lain saat ini namun hal yang di tunggunya belum datang. “Di mana Olivia?” tanya Darrel pada akhirnya. Darrel menantikan kedatangan isterinya yang sudah tujuh tahun ini pergi setelah pertengkaran hebat mereka, Darrel sudah sangat menantikan kehadirannya Olivia untuk kembali ke sisinya. Bibi Willis terlihat kaget karena Darrel belum mengetahui kabar kematian Olivia, “Tuan, Olivia meninggal kemarin, karena itu saya membawa Leary seorang diri” jawab bibi Willis dengan satu tarikan napas panjangnya. Diam-diam tangan Darrel mencengkram sisi meja, dengan sesak dia menarik napasnya yang kini langsung terasa menyakitkan seluruh tenggorokannya, tubuh Darrel mendadak lemas tidak bertenaga. “Bagaimana bisa?” geram Darrel menahan teriakan. “Sebelum saya mengantarkan surat dari Olivia untuk Anda sepuluh hari yang lalu, keadaannya sudah kritis, Olivia tidak mengizinkan saya untuk mengatakannya kepada Anda karena dia tidak ingin Anda bersedih” jelas bibi Willis dengan sedikit terbata-bata. Beberapa kali Darrel mengatur napasnya agar bisa kembali tenang dan menyelesaikan semua percakapan yang tidak ingin dia dengar lagi tentang apapun karena Olivia, isteri yang dia tunggu sudah tidak ada. Pria itu kembali melihat Leary yang kini terlihat kebingungan tidak mengerti dengan situasinya dan alasan keberadaannya di rumah Darrel. “Kau mengurus Olivia dan anak ini?” “Ya, Anda bisa menanyakan sendiri kebenarannya pada Leary.” “Benarkah itu?” Leary mengangguk kecil tanpa bersuara, anak itu hanya sibuk mengubah posisi tasnya dan melihat Darrel bersama bibi Willis bergantian. “Leary, tunjukan photo dan kalungmu itu kepadanya” pinta bibi Willis. Leary yang masih tidak tahu apapun segera membungkuk membuka kopernya untuk mengambil barang pribadinya, dengan langkah sedikit terhuyung-huyung Leary mendekati Darrel dan memberikan apa yang di milikinya. Tubuh Darrel menegak, pria itu melihat sebuah kalung yang dulu pernah di berikan kepada Olivia, istrinya. Perlahan Darrel menarik napasnya dalam-dalam, melihat dua lembar potret photo yang menunjukan Olivia ketika hamil dan ketika sedang memangku Leary. Bukti yang ada di tangan Darrel membuat dia semakin tidak perlu lagi bertanya lagi untuk membuktikan bahwa Leary adalah puterinya. Sayangnya kedua bukti yang di berikan kepadanya kini sudah tidak berarti apapun lagi untuknya karena Olivia yang dia tunggu tidak ada, malah anak yang tidak dia suka datang kepadanya. Darrel segera mengembalikan kalung dan photo itu kepada Leary yang kini masih berdiri di hadapannya dengan kepala mendongkak, Leary memperhatikan Darrel yang entah mengapa membuat perasaannya terasa nyaman setelah dua hari terakhir ini di rundung duka karena kepergian ibunya. Dengan cepat Leary tertunduk dan kembali mendekati bibi Willis, dengan tenang dia memasukan kembali barangnya ke dalam koper. “Apa yang terakhir kali di katakan Olivia?” tanya Darrel. Bibi Willis menegakan tubuhnya, menyembunyikan perasaan gugup yang kini mencoba mengingat sesuatu, dia tahu apa konsekuensinya bila ketahuan berbohong. Bibi Willis menarik napasnya dalam-dalam, lalu berkata, “Olivia tidak mengatakan apapun, namun dia mengkhawatirkan masa depan Leary.” Darrel menghela napasnya dengan berat, dengan kuat dia menekan tengkuknya. Perkataan bibi Willis membuat Darrel cukup berpikir untuk mengambil suatu keputusan. Darrel segera membalikan badannya, dengan tenang pria itu pergi menuju belakang mejanya dan membungkuk membuka brangkas, di keluarkannya beberapa gepok uang dan di letakan di meja. “Lima belas ribu pousterling upahmu mengurus Olivia dan mengantar dia ke sini. Hanya sebesar itu yang bisa aku berikan kepadamu, jika kau tidak terima bawa kembali anak itu” ucap Darrel terdengar kejam dan tidak berperasaan sedikitpun. Sikap Darrel menyiratkan betapa tidak pedulinya dia pada Leary meski anak itu puteri kandungnya. Bibi Willis yang sejak tadi tenang langsung di buat kegirangan bukan main karena usahanya membuahkan hasil begitu besar. Reaksi bibi Willis bertolak belakang dengan reaksi Leary sekarang, anak itu menatap bibi Willis dengan penuh kekhawatiran takut di tinggalkan. Leary langsung menggenggam erat rok bibi Willis, ketakutan jelas tersirat di matanya yang kini gemetar menahan tangisan. “Bawa uangmu, lalu pergi. Hanya itu kesepakatan yang bisa aku berikan padamu,” ucap Darrel dengan tegas. “Baik Tuan,” jawab bibi Willis seraya menepis tangan kecil Leary agar melepaskan genggamannya, dengan tergesa bibi Willis langsung mendekati meja dan mengambil semua uang yang di letakan lalu memasukannya ke dalam tasnya, bibirnya yang berwarna merah itu tidak dapat berhenti tersenyum karena terlalu senang. Leary yang melihat apa yang terjadi terlihat gelisah, kegelisahan Leary kian nyata saat melihat bibi Willis membalikan badannya, lalu pergi melewati Leary begitu saja dengan senyuman lebar penuh kepuasan dan ketamakan. “Bibi, mau ke mana? Bibi, tunggu” panggil Leary seraya berlari hendak mengejar bibi Willis karena takut di tinggal. Bibi Willis langsung membalikan badannya dan melihat Leary yang kini menahan tangisannya karena takut di tinggal. Bibi Willis membalikan badannya, wanita itu melihat Leary yang kini mulai menangis, ada perasaan iba yang dia rasakan sekarang namun ini adalah keputusan terbaik untuk Leary dan juga dirinya. Bibi Willis membuang napasnya dalam-dalam sampai akhirnya berkata, “Leary, mulai malam ini dan kedepannya kau akan tinggal di sini. Ini pertemuan terakhir kita, hiduplah dengan bahagia di sini.” “Mengapa aku harus tinggal di sini? Aku ingin bersama Bibi, aku tidak akan menangis, aku tidak makan sebelum mengelap semua buku yang ada di toko, aku tidak membuat bibi marah, aku janji. Aku hanya ingin bersama Bibi jangan tinggalkan aku, aku mohon” isak Leary berusaha meraih bibi Willis. “Tidak bisa Leary, mulai sekarang di sini tempatmu. Selamat tinggal Leary” bibi Willis kembali membalikan badannya dan segera pergi dengan langkah lebar setengah berlari agar Leary tidak dapat mengejarnya. Koper di tangan Leary langsung jatuh ke lantai, “Bibi, aku ingin ikut Bibi. Bibi Willis tunggu! Bibi jangan tinggalkan aku!” teriak Leary dengan keras bercampur dengan tangisan. Leary berlari berusaha mengejar namun seorang pengawal langsung menangkap tubuhnya, menghalangi Leary agar tidak pergi. “Bibi! Jangan tinggalkan aku, aku mohon” jerit Leary kian keras bersama tangisan pilunya karena bibi Willis sudah menghilang dari pandangannya. Bibir Leary gemetar hebat merasakan sesuatu yang begitu sakit di hatinya seperti sebuah robekan yang besar hingga membuat dia tidak bisa berkata-kata. Darrel yang melihat Leary bersikap acuh, pria itu memilih kembali duduk di kursinya untuk melanjutkan pekerjaan yang sempat tertunda. “Bawa dia ke kamarnya” Pengawal yang menangani Leary terlihat sedikit kaget mendengarnya, namun dia tidak tidak banyak berkomentar, “Baik Tuan.” *** “Nona, apakah airnya cukup hangat?” tanya Burka yang kini berada di belakang Leary. Burka adalah seseorang yang sengaja di kirim untuk mengurus Leary malam ini. Masih dengan sisa-sisa tangisannya Leary mengangguk, butuh waktu setengah jam untuk anak itu bisa tenang dan mau pergi bersama Burka menuju kamarnya. Walau bagaimanapun, Leary tetaplah anak kecil, hatinya rapuh, anak itu membutuhkan kasih sayang, pelukan dan perlindungan untuk bisa di yakinkan bahwa semuanya baik-baik saja. Tidak mudah untuk Leary menerima semua perubahan yang ada dalam waktu cepat, jiwanya terguncang hebat menghadapi banyak kenyataan pahit yang harus dia pikul. Burka menuangkan bebereapa tetes sabun dan membasuh tubuhnya dengan hati-hati, wanita paruh baya itu sesekali melihat Leary yang kini membelakanginya. Tubuh Leary sangat kurus kecil dan terlihat lemah. Ada sebuah perasaan iba yang menyentuh hatinya saat melihat Leary pertama kali, meski Burka tidak tahu apa yang sebenarnya sudah terjadi pada anak itu, namun sorot mata Leary mampu membuat hati Burka tarasa sakit. Setelah selesai membasuh tubuh Leary dengan sabun, dengan hati-hati Burka mulai membilas rambut Leary yang berwarna perak, sangat mengingatkan Burka pada sosok Olivia yang dulu sempat dia urus. “Nona, malam ini Anda akan makan malam bersama dengan tuan Darrel dan kakak Anda” kata Burka. Leary mendongkakan kepalanya untuk melihat Burka yang tengah membilas rambutnya, Leary sama sekali tidak mengerti siapa dia sebenarnya dan apa tujuan dia ada di rumah ini sekarang. “Nyonya, boleh saya tahu sesuatu?” Burka tersentak kaget, “Nona, Anda jangan memanggil saya dengan sebutan itu, panggil nama saya saja” “Kenapa?” “Karena saya pelayan di rumah ini” jawab Burka memberitahu. Cukup lama Leary merenung sampai akhirnya gadis itu mengangguk. “Apa yang ingin Anda tanyakan kepada saya?” tanya Burka. “Kenapa saya ada di sini?” Lirih suara Leary terdengar begitu lelah menyakitkan hingga membuat Burka terpaku untuk sesaat dan kehilangan kata-kata untuk menjawab pertanyaan anak itu. Burka berdeham kecil menormalkan situsi yang terjadi, di ambilnya shower dan Burka segera membersihkan rambut Leary “Nona, ingatlah kata-kata saya. Tuan Darrel itu adalah ayah Anda.” “Be,benarkah?” Leary terbata karena kaget karena selama ini dia tidak pernah sekalipun mendengar dari mulut ibunya bahwa dia memiliki seorang ayah. “Benar, karena itu mulai sekarang Anda tinggal di sini. Nanti saat makan malam, Anda juga akan bertemu dengan Kakak Anda, namanya Petri, lalu seorang adik bernama Ellis. Nona Ellis adalah anak dari sahabat tuan Darrel, orang tua nona Ellis meninggal karena kecelakaan, karena nona Ellis tidak memiliki siapapun, tuan Darrel mengangkatnya menjadi anak. Jadi, mereka adalah keluarga Anda, sekarang Anda tidak perlu lagi bertanya kenapa Anda tinggal di sini” jelas Burka dengan hati-hati agar Leary langsung memahaminya. Leary kembali tertunduk, gadis kecil itu menatap permukaan air di depannya yang di hiasi beberapa kelopak bunga mawar. Leary tidak tahu apakah kini dia harus senang atau tidak, meski Leary kini berkumpul dengan keluarganya, namun dia tetap merasakan perasaan asing. Leary sangat ingin pulang ke rumahnya, di sana ada banyak bau ibunya yang membuat hatinya tenang. Leary rindu ibunya. “Nona, ayo bangun. Anda harus segera bersiap-siap” Dengan patuh Leary bangkit dan membiarkan Burka mengurusnya, bantuan Burka sedikit membuat Leary tidak nyaman karena satu tahun terakhir ini dia sudah bisa mandi sendiri, namun karena kondisi tempat yang berbeda dan suasana hati Leary tengah tidak baik-baik saja, untuk malam ini saja dia membiarkan seseorang mengurusnya. Burka yang bekerja sendiri terlihat sangat teliti saat sedang mendandani Leary, tidak sulit untuknya menangani Leary karena sejak masuk ke dalam kamar, gadis itu hanya diam saja. Begitu sudah selesai, Burka membawa Leary berdiri di depan cermin agar gadis itu melihat penampilannya sendiri yang saat ini begitu jauh berbeda dengan penampilannya saat datang ke rumah. “Besok saya akan membeli pakaian untuk Anda, untuk malam ini Anda mengenakan pakaian nona Ellis, semoga Anda tidak marah” Leary memperhatikan gaun putih bercorak merah muda yang kini dia kenakan, mungkin ini untuk pertama kalinya Leary mengenakan gaun secantik itu. Leary dapat merasakan lembut dan nyamannya gaun itu meski sedikit kebesara. Keterpukauan Leary menghilang dalam sekejap ketika dia menyadari, gaun cantik yang dia kenakan saat ini milik orang lain. “Burka, saya memiliki pakaian sendiri. Ini terlalu bagus untuk saya” ucap Leary terdengar sederhana namun cukup dalam. “Nona” Burka menepuk bahu Leary dan mengusapnya dengan lembut. “Anda tidak di perbolehkan berbicara seperti itu. Anda adalah anak sah dari nyonya Olivia dan tuan Darrel, itu artinya semua yang ada di rumah ini bagian dari milik Anda juga, mungkin Anda membutuhkan waktu untuk menerimanya karena ini terlalu mendadak, namun saya harap Anda akan bisa membiasakan diri ke depanya.” Sekali lagi Leary melihat pakaiannya, perlahan bibir mungilnya terangkat membentuk senyuman. “Terima kasih Burka” “Sama-sama Nona.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN