Chapter 15

1833 Kata
Riuh penonton masih terdengar, Chaning ikut bertepuk tangan bersama para penonton yang lainnya mengapresiasi kemenangan Ferez. Chaning tersenyum puas, ternyata ada gunananya dia sering mengajak Ferez pergi berburu di hutan. Tidak jauh dari Chaning, Darrel segera beranjak dari duduknya hendak pulang karena kompetisi yang sudah lakukan Petri sudah usai. Darrel tidak berniat menonton pertunjukan Ellis karena sebentar lagi dia harus melanjutkan pekerjaannya. Dalam langkahnya yang melewati beberapa anak tangga menuju pintu keluar, Darrel melihat kembali Petri yang kini duduk termenung di kursi sendirian terlihat kecewa dengan kekalahan yang di dapatkannya. Darrel tidak kecewa dengan kekalahan Petri. Sudah hal biasa dalam pertandingan ada yang menang dan ada yang kalah. Sudah saatnya pula Petri belajar berlapang d**a ketika dia mengalami kekalahan karena tidak semua hal yang di rencanakan menghasilkan keberhasilan. Darrel melihat ke arah pintu dan segera pergi keluar tanpa berniat menemui Petri terlebih dahulu dan memberinya penghiburan. Bagi Darrel, menghibur seseorang yang tengah kecewa adalah sebuah hal yang sia-sia karena mereka lebih membutuhkan ketenangan, ketika ketenangan itu di temukan, maka semuanya akan kembali seperti biasa lagi. Ellis yang duduk di kursi penonton segera berdiri, gadis kecil itu berlari pergi melewati banyak orang dan pergi turun ke lapangan. Ellis tersenyum lebar melihat dari kejauhan Ferez yang berjalan kearahnya. Degup jantung Ellis terasa berdebar kencang, wajahnya bersemu memperhatikan ekspresi dingin Ferez yang berkharisma dan memukau begitu menakjubkan. Bibir mungil Ellis terbuka hendak menyapa lebih dulu ketika Ferez semakin mendekat ke arahanya. Namun belum sempat Ellis mengeluarkan suaranya, dengan dinginnya Ferez melewati dia begitu saja, bahkan sedetikpun Ferez tidak melirik Ellis. Ellis terpaku kaget di tempatnya, gadis kecil itu melihat ke belakang memperhatikan kepergian Ferez menuju pintu keluar. Wajah bersemu Ellis berubah pucat pasi, dia begitu kaget karena apa yang sudah ada dalam bayangannya sama sekali tidak terjadi. Ferez tidak menunjukan sedikitpun rasa sukanya pada Ellis, yang ada Ferez terlihat acuh dan asing seakan tidak mengenal Ellis. “Ellis.” Ellis tersentak kaget tahu-tahu Petri sudah ada di hadapannya. “Kakak,” Ellis terbata, melihat Petri yang kini tertunduk sedih di hadapannya terlihat begitu menyesal karena tidak mendapatkan kemenangan. “Aku minta maaf,” sesal Petri. “Tidak apa-apa, Kakak jangan bersedih.” Ellis langsung meraih lengan Petri dan memeluknya, Ellis menyunggingkan senyuman manisnya, menarik Petri pergi dari lapangan. *** Leary mengangat kepalanya, melihat langit yang bersih dan biru. Ini untuk pertama kalinya Leary pergi keluar kota London di siang hari dengan santai karena Burka mengajaknya pergi keluar. Kini Burka sibuk di sebuah toko, sementara Leary di perbolehkan jalan-jalan dari sekitar toko dan bermain di taman. Suasana hati Leary terlihat begitu baik, beberapa kali mencoba perosotan dan naik beberapa tangga besi, mencoba ayunan bersama beberapa anak seusianya. Tidak berapa lama beberapa anak yang menjadi teman bermainnya pulang di jemput oleh orang tua mereka. Kini Leary duduk sendirian di ayunan, bola matanya yang cerah itu melihat ke penjuru tempat memperhatikan apa yang menarik untuknya. Ayunan yang di duduki bergerak pelan, kaki mungilnya menekan pasir untuk menghentikan pergerakan ayunan begitu sepasang matanya matanya tidak sengaja melihat Chaning yang tengah berada di dalam mobil. Tanpa pikir panjang Leary berlari menuju jalan, anak itu berteriak, “Paman baik!” *** “Bagaimana dengan lukisannya?” tanya Chaning. “Asli, memang lukisan itu yang tengah di buru.” Ada senyuman di bibir Chaning begitu mendengar kabar itu dari Romero, tanpa pikir panjang Chaning meminta Romero segera kembali dan membawa lukisan itu dengan cara yang terpisah untuk mengecoh beberapa orang yang kemungkinan mengincar lukisan itu juga. Chaning menyelesaikan percakapannya dengan cepat bersama Romero di telepon, pria itu melihat ke sekitar memperhatikan keadaan kota. Chaning meminta sopirnya untuk menepi begitu melihat sebuah mobil hitam berhenti di depan sebuah kantor, tidak berapa lama seorang pria keluar dan memasuki kantor itu. Pria itu adalah seorang pejabat negara, Torrance. Torrance dia adalah salah satu target Chaning yang harus di singkirkan karena menghalangi bisnis gelapnya. Dua bulan terakhir ini, sudah ada beberapa orang pemasok narkoba yang tertangkap, cukup banyak pula narkoba yang di sita Torrance. Masalah menjadi memanas karena barang sitaan itu Torrance jual pada kelompok penjahat lainnya untuk di hasilkan menjadi uang. Chaning harus menyingkirkan Torrance dan beberapa pendukungnya secepat mungkin, dia tidak ingin masalah ini di biarkan lebih lama. Chaning memutuskan keluar dari mobilnya membawa sebuah koran, tanpa pikir panjang pria itu duduk di kursi bawah pohon untuk membaca sambil memantau karena sebentar lagi anak buahnya akan melakukan tugasnya dalam menyingkirkan Torrance. “Paman baik.” Chaning menurunkan korannya, melihat Leary yang kini bernapas tersenggal karena terlalu banyak berlari untuk mengejar mobil Chaning sejak dari taman. Anak itu tersenyum lebar dengan wajahnya yang sedikit memerah dan di hiasai peluh keringat. Wajah Chaning mengeras, pria itu tampak kesal karena anak kecil itu kembali muncul lagi hadapannya. Untuk apa lagi dia datang? Apakah uang kemarin sudah habis? Chaning membuang napasnya dengan gusar, koran di tangannya terpaksa harus di lipat sejenak karena Leary tetap berdiri di tempatnya, memandangi Chaning dengan mata berbinar senyuman lebar. Chaning sangat gusar, begitu terganggu dengan keberadaan anak itu. Chaning harus segera mengusirnya dan meminta Leary untuk berhenti menunjukan wajahnya lagi di hadapannya. “Ada apa?” tanya Chaning dengan nada tidak bersahabat. Cepat-cepat Leary merongoh sesuatu di saku pakaiannya, anak itu mengulurkan tangannya mungilnya untuk memberikan selembar uang yang sempat Chaning berikan kepadanya. “Paman baik, ini uang Anda kemarin, saya kembalikan.” Chaning sempat terdiam, pria itu membungkam melihat tangan kurus Leary yang mengenggam uangnya dengan kuat. “Itu untukmu, jangan mengembalikannya” jawab Chaning masih dingin. Kepala menggeleng dengan cepat, “Kemarin saya tidak bermaksud meminta uang kepada Anda, karena itu saya mengembalikannya sekarang.” Tubuh Chaning menegang, pria itu bersedekap menatap tajam Leary yang kini tersenyum lebar dan mata berbinar Leary menyiratkan betapa senangnya anak itu melihat Chaning. Benak Chaning bertanya-tanya, jika kemarin Leary mengejarnya bukan karena meminta uang, lantas untuk apa anak gelandangan itu membuntutinya? “Kemarin kau mau apa?” Chaning sedikit melunak. Leary sempat terdiam sambil menggaruk pipinya yang tidak gatal, anak itu sedang berusaha keras mengingat apa yang ingin dia tanyakan kemarin. Sebelum menjawab pertanyaan Chaning, Leary sempat merangkak ke atas bangku dan duduk di sisi Chaning. “Kemarin saya mau bertanya apa yang di sukai ayah dari anaknya. Saya ingin membuat ayah saya tidak membenci saya lagi,” cerita Leary terdengar di penuhi banyak tekad. Sayangnya, cerita Leary tidak bisa Chaning pahami dan rasakan, alih-alih mendapatkan simpati Chaning, pria itu malah berpikir, benci atau tidaknya ayah Leary, itu bukan urusan Chaning. Tapi bagaimana cara Chaning untuk mengusir anak itu agar dia berhenti mengikuti dan mengganggunya? Haruskah aku membunuhnya? Lehernya sangat mudah di patahkan. Pikiran Chaning mulai di penuhi hal-hal kotor dan kejam lagi hanya karena tidak ingin di ganggu oleh Leary. “Namamu Leary kan?” tanya Chaning. Leary mengangguk berantusias. Tubuh Chaning menegak, sirat di mata pria itu sudah mulai tidak baik. “Dengar Leary. Aku tidak pernah mengambil apa yang sudah aku berikan, jadi ambil dan pakai semaumu uang itu,” jelas Chaning dengan geraman. Leary terdiam melihat uang di tangannya dengan takjub. Terburu-buru Leary melipat uang itu dan memasukannya ke dalam saku. “Saya akan menyimpannya dengan hati-hati dan menggunakannya dengan baik, terima kasih Paman baik.” Rahang Chaning mengetat, suara lembut Leary yang memanggilnya dengan sebutan Paman baik sungguh-sungguh mengganggu pendengarannya dan membuat hati Chaning gusar. “Berhenti memanggilku paman baik, aku bukan pamanmu dan aku bukan orang baik.” “Baik, Paman baik” jawab Leary dengan anggukanm namun mulut mungilnya tetap memanggil Chaning paman baik. Chaning kembali membuka korannya dan membacanya, pria itu melanjutkan pemantauannya yang sempat terhenti. Sementara Leary, anak itu tidak beranjak pergi, alih-alih pergi dia duduk di samping Chaning dan memperhatikan Chaning dengan seksama. Koran di tangan Chaning teremas kuat hingga robek, rahangnya mengetat menahan amarah yang mulai menyala di hatinya. “Sialan, aku belum mati, mengapa Tuhan sudah mengirimkan setan padaku,” maki Chaning dalam geraman. Pria itu benar-benar tidak nyaman karena Leary mendongkakan kepalanya dan tidak berhenti menatapnya dengan mata berbinar senang. Sekali lagi Chaning menurunkan korannya dan membalasan tatapan Leary dengan tajam. “Kenapa melihatku terus? Ingin ku cungkil matamu?” Gertak Chaning terdengar menakutkan. Bibir mungil Leary mengatup, bulu matanya yang lentik itu bergerak lembut dalam kedipan. Perkataan kasar dan tajam Chaning tidak membuat Leary takut sama sekali. “Kenapa Paman sangat baik padaku?” tanya Leary bingung. Chaning tercengang kaget. Jawaban Leary yang konyol melukai harga dirinya yang memiliki jiwa dingin dan kejam. Gertakan Chaning seakan tidak berlaku untuk Leary. “Jika aku meremukan tanganmu, kau masih berani mengatakan aku baik?” Leary terdiam sesaat, namun kepala kecil itu menggeleng dengan senyuman lebarnya. “Paman baik tidak akan melakukannya.” “Astaga” Chaning mendesah frustasi, pria itu sampai mengusap wajahnya dengan kasar menyembunyikan tawa sumbangnya. Jawaban bodoh Leary kian menginjak harga dirinya, jiwanya yang jahat merasa tidak terima karena di paksa harus mengaku baik. “Kau harus tahu Nak, aku ini orang jahat. Aku bisa memutar kepalamu melawan arah jika kau terus menggangguku,” peringat Chaning berbicara lebih kejam menakutkan agar Leary berlari pergi dan tidak lagi mengganggunya. “Paman baik memang jahat” Kali ini jawaban Leary berubah meski bibir mungilnya tetap menyunggingkan senyuman, “Tapi Paman tidak membenciku. Karena Paman baik tidak membenciku, itu artinya Paman tidak akan jahat padaku.” Chaning terdiam seketika, jawaban aneh Leary berhasil membuat pria itu bertanya-tanya mengapa Leary bisa berbicara seperti itu kepadanya. Senyuman Leary memudar tatkala dia melihat Burka yang dari kejauhan keluar dari toko, dengan cepat Leary turun dari kursinya. Di rongohnya sebuah permen dari saku pakaiannya, Leary meletakan permen itu di tangan Chaning yang terbuka. “Ini untuk Paman baik, sampai jumpa Paman.” Tangan Leary melambai, anak itu berlari dengan cepat pergi meninggalkan Chaning seorang diri dan masih mematung memikirkan kata-kata Leary yang mengganggunya. Chaning tidak pernah banyak berbicara dengan anak kecil selain Ferez anaknya, namun bila di bandingkan dengan Ferez, cara Leary menyusun kata ketika berbicara, jelas anak itu lebih dewasa dari usianya. Chaning mendesah frustasi melihat permen yang kini berada di telapak tangannya, dengan kesal dia melempar perman itu ke tanah. Ledakan suara tembakan senjata terdengar menggema di udara bersama jerit teriak orang-orang di sekitar yang panik. Chaning langsung mengalihkan perhatiannya, melihat ke arah kantor yang di masuki Torrance, dapat Chaning lihat sekarang Torrance terkapar di sisi mobilnya karena terkena tembakan tepat di kepalanya. Anak buah Chaning sudah melakukan tugasnya dengan baik, dia berhasil menyingkirkan Torrance meski kini berakhir dengan sidikit baku tembak. Chaning mengeluarkan rokoknya, pria itu bereaksi begitu santai sambil menikmati sebatang rokok yang menemaninya melihat pemandangan kekacauan orang-orang berada di depannya. Beberapa menit baku tembak terjadi kini berakhir dengan keheningan, orang-orang sibuk menyelamatkan diri dengan masuk ke dalam beberapa bangunan sambil menunggu polisi datang. Masalah sudah terselesaikan, sudah saatnya Chaning pergi karena kini hanya menyisakan pemandangan yang membosankan. Pria itu beranjak dari duduknya, baru beberapa langkah dia pergi, kakinya berhenti bergerak. Pria itu membalikan tubuhnya dengan pandangan mengedar berakhir dalam satu objek, yaitu permen pemberian Leary yang sudah dia lempar. Chaning memutuskan mengambil kembali permen itu sebelum benar-benar pergi meninggalkan tempat. To Be Continued..
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN