-Rumah Keluarga Kiandra-
Setelah pesta kelulusannya dari Algateri, Ranjiel langsung memutuskan untuk berangkat ke Amerika. Pemuda itu melangkah dengan pasti ke ruang keluarga, ia mengulas senyuman, dan merasa masa depan sedang melambai-lambai kepadanya.
Ranjiel begitu bahagia hari ini, ia lulus dengan nilai memuaskan, dan karena hal itu pula Ranjiel masuk dengan begitu mudah ke Harvard.
Pemuda itu menatap kedua orang tuanya, ia langsung saja memeluk mereka, dan mengabaikan kedua saudaranya. Rasa bahagianya begitu besar, rasa bangga pada diri sendiri adalah hal yang sangat memanjakannya.
“Jiel, Mami bangga banget ama kamu. Kamu lulus, nilai kamu bagus, kamu juga masuk tanpa test ke Harvard, malahan kamu diminta langsung buat masuk ke sana.”
Ranjiel yang mendengar ucapan ibunya merasa semakin bahagia. “Mami ... Anjiel juga seneng banget.”
“Kamu kalo di Amerika nggak usah nakal lagi, Jiel.” Kali ini sang ayah yang bicara.
Ranjiel kemudian melepaskan pelukannya, ia menatap kedua orang paling berharga dalam hidupnya.
“Anjiel nggak akan nakal lagi, Pi, Mi, nggak akan buat Mami sama papi pusing kok.” Ranjiel menghela napas. “Lagian Anjiel kan ditemenin ama Bang Azka, jadi pasti baik-baik aja.”
Razka yang mendengar ucapan adiknya hanya tersenyum, ia kemudian merangkul Niel, dan melirik adiknya yang paling bungsu. “Lo juga cepetan lulus, kita di Amerika bareng-bareng. Sapa tau aja Mami sama Papi mau buat dedek bayi.”
Ranjiel hanya mengabaikan kedua saudaranya, ia menatap wajah sang ibu dengan lebih jeli. Mungkin akan sangat lama untuk bisa bertemu lagi, mungkin mereka juga akan sama-sama sibuk dengan jadwal masing-masing.
“Kenapa, Jiel? Kamu kok natapin Mami sampe segitunya?”
“Anjiel mau cari pacar yang mirip Mami aja pas di sana,” balas Ranjiel.
“Pacaran aja lo, noh ... Kak Yaya lo anggurin.”
Mendengar ucapan Niel, jelas saja Ranjiel langsung memalingkan wajahnya. Ia melihat jelas jika adiknya itu sedang menahan tawa.
“Gue serius, dia belom bisa move on. Lo nggak mau gitu balikan ama dia, Abang gue yang gantengnya mirip jamet?”
“Nggak deh, males gue balikan ama mantan.” Ranjiel menjawab dengan begitu cepat, ia juga mengibas-ngibaskan tangannya.
“Jiel, yakin mau berangkat malam ini? Nggak barengan ama gue gitu?” Razka menatap adiknya, berharap Ranjiel bisa mengundur keberangkatannya beberapa hari ke depan.
“Nggak deh, gue harus siapin banyak hal juga.” Ranjiel kembali tersenyum. “’Udah yah, Anjiel yang tampan dan keren ini mau rehat bentar, terus juga siapin barang-barang yang lainnya.”
Kedua orang Ranjiel hanya mengangguk, sedangkan kedua saudaranya yang tidak memiliki banyak akhlak segera mengikuti Ranjiel masuk ke dalam kamarnya.
“Lo bedua ngapain ngikutin gue?” Ranjiel yang sangat risi dengan kelakuan keduanya menghentikan langkah.
“Kita mau bantu-bantu lo beresin barang,” balas Razka.
Ranjiel menatap datar, ia kemudian mengambil ancang-ancang, dan pada hitungan ketiga dalam otaknya, Ranjiel langsung berlari.
Razka dan Niel tidak menyerah begitu saja, mereka berdua dengan cepat mengejar Ranjiel.
“Jangan ngintilin gue!” Ranjiel menyuarakan penolakan dengan sangat jelas, ia benar-benar tak mengerti dengan sikap Niel dan juga Razka.
“Ikutin aja, siapa suruh mau cepet-cepet minggat.” Razka dengan semangat juang tinggi menyemangati adiknya.
Niel hanya diam, ia tidak tertarik untuk melakukan banyak hal berisik seperti kedua saudaranya. Kaki Niel melangkah cepat dan juga lebar, dan tepat saat pintu kamar Ranjiel terbuka, Niel langsung melompat, dan masuk ke dalam kamar sang kakak.
“Sialan lo bedua!” maki Ranjiel saat kedua saudaranya sudah berada pada satu tempat yang sama dengannya.
Razka tertawa lantang, sedangkan Niel langsung menuju ke arah ranjang, dan membaringkan tubuhnya pada Kasur. “Gue capek. Jang berisik, gue mau tidur.”
Ranjiel yang mendengar ucapan Niel dan melihat adiknya berbaring dengan santai hanya bisa menahan rasa jengkel. Ia kemudian meletakkan ponselnya di atas meja, dan melirik Razka yang juga sudah membuka baju, lalu berbaring di dekat Niel.
“Lo bedua nggak punya kamar?”
“Nggak,” balas keduanya serempak.
Ranjiel yang mendengar, dan mendapatkan perlakuan yang buruk dari keduanya memasang wajah datar. Jelas saja ia tak menyangka jika mereka berdua sangat bersemangat mengganggu acara terakhirnya di Jakarta.
“Lo nggak mau mutusin buat jalan-jalan dulu?” tanya Razka.
Ranjiel langsung duduk, ia menghidupkan komputer, dan memutuskan untuk bermain game.
“Jiel, lo denger nggak sih?” Razka lagi dan lagi mengeluarkan suara. Ia kemudian duduk, dan melihat Ranjiel yang sedang log-in ke akun gamenya.
Mendengar ucapan saudaranya, Ranjiel langsung saja menghela napas dan menatap Razka. “Gue nggak mau. Banyak hal yang lebih berguna daripada keluar rumah.”
Razka kembali berbaring, ia kemudian menatap Niel yang sudah menutup mata.
“Jiel, gue ketemu Vierra pas di Amerika,” ujar Razka.
Ranjiel yang mendengar ucapan sang kakak hanya diam, ia tetap memainkan gamenya, dan mengabaikan Razka yang ada di belakang sana.
Pemuda itu tak tahu apa yang harus ia katakan, Vierra ... gadis manis yang baik hati. Tapi sayang, ia hanya menganggap Vierra teman, bukan kurang dan juga lebih.
“Dia bilang ke gue, dia sayang, cinta, dan mau jadi istri lo.”
Ranjiel yang mendengar hal itu masih tetap diam, entah bagaimana ia bisa menghentikan obsesi Vierra padanya. Gadis itu manusia merepotkan, sangat menyebalkan, dan ia sangat tak tahan dengan kelakuan Vierra.
“Gue tau, lo cuma nggak mau pacaran lagi karena udah malas ama cewek yang nggak ngehargain usaha lo buat jagain mereka. Semua orang nyalahin lo pas putus ama Lia, mereka nggak mikir kalo lo itu udah kecewa berat.”
Ya ... Ranjiel memang sangat kecewa berat dengan Lia.
“Tapi Jiel, lo juga harus buka hati. Siapa tau aja Vierra bisa hargain semua yang lo lakuin.”
Ranjiel yang mendengar hal itu memutuskan untuk berdiri. “Bang, gue nggak mau dengerin hal itu lagi. Satu yang perlu lo garis bawahin. Gue akui gue kecewa ama Lia, bahkan gue nggak akan mau balikan ama dia. Gue marah ama semua orang yang dukung dia, karena mereka nggak mikir kalo gue mutusin Lia tentu juga punya alasan. Gue akui, gue nggak bisa lepas dari bayang-bayang Lia setahun lalu, tapi gue nggak bisa lagi. Udah cukup gue ngerasain kecewa ama tingkah naif dia. n*****t, n*****t, n*****t! Itu aja yang Lia pikirin, dia itu udah mirip l***e, dan gue beneran jijik.”
Razka diam, ia tahu rasa kecewa Ranjiel jauh lebih besar. Ranjiel memang pribadi yang tak bisa merasakan sakit satu kali, adiknya itu jelas tak akan mengulangi kesalahan yang sama, dan berhubungan dengan orang yang sama.
“Yang jelas, gue berharap lo bisa buka hati buat Vierra. Dia jelas beda dari Lia, dia cuma manja ke elo doang, dan dia dewasa juga. Yang jelas, daripada ama Lia, gue lebih setuju kalo lo ama Vierra.”
Ranjiel kembali duduk, ia kemudian mematikan komputernya, dan menatap ke arah jendela.
‘Vierra, kah? Gue nggak berani jamin bisa atau nggak. Yang jelas, gue malas buat ngejalin hubungan sekelas pacaran. Kita liat aja ke depannya, ya ... biar Tuhan yang atur.’