BAB 3

1049 Kata
[Bluebird Suites Near Mit, 350 3rd St, Cambridge, MA 02142-1136] Setelah menikmati makan siang dengan Vierra, Ranjiel segera bergegas pergi. Pemuda itu patut bersujud syukur karena Vierra tidak mengikuti, dan memaksa untuk terus bersamanya. Di sinilah Ranjiel saat ini, berdiri dengan tegak di depan pintu, sambil membawa beberapa koper miliknya. Ia sudah tak ada niatan untuk mengunjungi apartemen sang kakak, apalagi setelah Vierra menceritakan jika Razka sering berkumpul bersama teman-temannya di tempat itu. Pemuda itu secara mendadak memutuskan untuk membeli satu buah apartemen, itu juga karena ia tak ingin terganggu dengan Razka dikemudian hari. Ia tak ingin Razka dan teman-temannya mengganggu, dan ia juga tahu jika Razka pasti sering membawa kekasihnya untuk menginap. Apartemen yang Ranjiel beli juga langsung berdekatan dengan hotel, dengan nama yang sama, pemiliknya juga tentu saja sama. Lingkungan sekitar sangat baik, cocok untuk Ranjiel yang suka dengan ketenangan. Kembali lagi pada posisi Ranjiel saat ini, ia yang sudah merasa sangat kelelahan segera menghela napas, tangannya terulur, lalu memasukkan kode keamanan pada pintu apartemennya. Tidak memerlukan waktu lama, pintu itu segera terbuka. Ranjiel dengan cepat melangkah, membawa barang-barangnya, dan meletakkannya pada ruang tengah. Pemuda itu langsung menutup pintu, dan menguncinya. Ia memilih duduk pada sofa, lalu bersandar dengan nyaman. Drrrttt ... Drrrttt ... Ranjiel segera merogoh saku jaketnya, ia kemudian memeriksa notifikasi yang masuk, lalu terpaku pada chat grup w******p yang menumpuk. Chat Grup : Theo : Vivi ilang, kalo ada info, kabarin gue. Barton : Loh, kok bisa? Lo nggak coba telfon ke nomor HP dia langsung? Oris : The, oi ... jangan bunuh diri. Cari yang bener, berdoa ama Tuhan biar dikasi kelancaran. Barton : @Ranjiel Jiel, Lo udah di Amerika? Bisa tolong telfon samud kagak? Sapa tau dia bisa ngelacak Vivi dari CCTV. Niel : Coba telfon ke Australia. Mengerutkan dahi, Ranjiel langsung menghubungi nomor pribadi Vivi. Tetapi malang, temannya itu sudah menonaktifkan nomor ponselnya, dan saat ia mencoba mengirim pesan dari w******p, hanya terdapat centang satu. “Ini anak-anak, baru juga gue tinggal udah ada masalah. Hedeh ... apaan dah ah,” omel Ranjiel. Entah apa yang terjadi sejak mereka berpisah di sekolah, yang pasti ... jika tidak bertengkar, mungkin saja Vivi memiliki masalah lain. Sepanjang yang Ranjiel tahu, Vivi mencintai Theo, dan Vivi tidak akan pergi tanpa ada kabar. Jika hal itu terjadi, sudah sangat pasti Vivi memiliki alasan kuat untuk beranjak pergi. Pemuda itu kembali membuka pesan w******p, ia kemudian mengetik beberapa kata di sana. Chat Grup : Anda : Coba Lo telfon ke Australia, sapa tau aja Vivi udah balik ke sana @Theo Barton : Lo nggak bisa gitu ngubungin si Samud? Kasian tititnya Theo nganggur, ntar kadaluarsa. Ranjiel terkikik geli, membayangkan Theo merana karena hal sepele seperti seks sudah menjadi hiburan tersendiri. Ia kemudian kembali mengetikkan pesan pada grup tersebut. Chat Grup : Anda : Suruh main lima satu aja. Kasi baby oil, lepaskan hasratmu wahai Boedjang @Theo Oris : Astagfirullahaladzim, kalian ini. Dosa banget gue baca chat grup. Barton : @Ranjiel Lo mah masternya ngocok arisan. @Oris Nggak usah dibaca, Ris. Lo renungin aja dulu, terus ntar praktek kalo Thea nggak mau ngeladenin. Anda : Udah ah, gue mau rebahan. Capek banget badan gue, brasa udah ngejenjot cewek lima sampe sepuluh gitu. @Theo gue serius, bagusan lo ke Australia, atau telfon ke sana. @Barton gue nggak bisa ngubungin Samud sekarang, dia lagi diospek ama bokapnya. Menunggu balasan dari temannya, Ranjiel memutuskan untuk melepas sepatu dan juga jaketnya. Pemuda itu melangkah ke arah rak sepatu, lalu meletakkan sepatunya di sana dengan rapi. Ia mengembuskan napas dengan teratur, lalu kembali melangkah dan menuju ke arah sofa. Mata pemuda itu terpaku, ada panggilan masuk dan dari nomor asing. “Halo?” Ranjiel yang merasa malas tetap mengangkat panggilan itu, ia kembali duduk sembari menutup mata. “Jiel, ini gue.” Ranjiel yang mendengar pengakuan itu langsung kaget, ia tak menyangka jika Vivi akan menghubunginya. Walau Vivi tidak menyebutkan nama, tetapi Ranjiel yang sudah bertahun-tahun mengenal, dan bersahabat cukup baik dengan gadis itu jelas saja tahu. Pemuda itu mengusap wajahnya kasar, baiklah ... ada apa ini? Kenapa Vivi tiba-tiba saja menghubunginya? “Oh iya, ganti nomor, Vi?” Ranjiel memilih bertanya dengan santai, tidak langsung menanyakan hal-hal aneh kepada Vivi. Dari seberang sana terdengar helaan napas, berat, dan Ranjiel yang mendengarnya jujur saja merasa gugup. “Lo di mana?” Akhirnya Ranjiel mendapat pertanyaan baru. Dengan cepat ia menjawab, “Gue di Amerika sih, di Kota Cambridge. Lo sendiri?” “Alamat lo spesifiknya di mana?” Ranjiel mengerutkan keningnya. Kenapa Vivi harus bertanya mengenai alamatnya secara pasti? Ada apa dengan cewek itu sekarang? “Gue mau ketemu, ada beberapa hal yang mau gue omongin.” Cowok itu seketika kaget, jelas saja ia tak menyangka jika Vivi akan mengatakan hal seperti itu. Baiklah ... sekarang ia sangat penasaran dengan alasan Vivi menghilang, atau alasan Vivi ingin bertemu bahkan berkunjung ke tempatnya berada. “Lo di mana? Biar gue jemput.” “Bandara, gue baru aja sampe.” “Tunggu, dan jangan minggat ke mana-mana. Gue jemput,” ujar Ranjiel. Ranjiel yang sudah selesai dengan ucapannya segera mematikan sambungan telepon, pemuda itu kembali mengenakan jaket, dan menggunakan sepatunya. Secepat mungkin ia melakukan hal-hal kecil itu, tidak ada waktu untun bermain baginya. Saat ini ... ya ... ini saatnya Ranjiel tahu masalah yang ia tinggalkan pergi. Kebiasaannya yang selalu ingin tahu tentang perkara sulit para sahabat jelas saja mengganggu, tetapi tetap saja ... bagi Ranjiel, masalah mereka adalah masalahnya juga. Setelah beberapa saat berlalu secara percuma, Ranjiel meraih kunci mobil, dan langsung menuju ke arah pintu. Ia membuka kunci, dan menarik gagang pintu, lalu setelah itu pintu akhirnya terbuka. “Anjiel ... Vierra Dateng buat Anjiel.” Ranjiel berhenti sejenak, ia menatap Vierra yang malah membawa koper, dan memeluk boneka panda di hadapannya. Entah bagaimana cewek itu bisa ada di tempat yang sama dengannya, entah cara apa yang digunakan Vierra untuk menemukannya. Oh Tuhan ... satu masalah baru saja tiba, dan sudah ada masalah baru. Sepertinya musim semi yang seharusnya indah, menjadi musim semi penuh masalah dan kesibukan untuk Ranjiel. “Anjiel ... calon suami Vier ... kok bengong?” “Ngapain lo di sini?” “Buat tinggal sama Anjiel,” balas Vierra. “Terserah, gue lagi buru-buru.” Ranjiel sudah benar-benar tak ada waktu untuk melayani ucapan Vierra, ia memiliki sesuatu yang lebih penting, dan harus segera dilaksanakan. Vierra yang melihat tingkah Ranjiel terheran, ia ingin menyusul, tetapi matanya sudah terpaku pada ruang apartemen milik Ranjiel. “Ya udah deh, mending masuk. Lagian, keknya emang ada yang penting banget.” Dengan segera Vierra masuk ke apartemen itu, ia kemudian menutup pintu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN