Rhea 8

1641 Kata
“Rhe..” Drian tidak mendapat sahutan. “Sayang, Ale nangis itu,” ucap Drian yang berbaring menghadap pada sandaran sofa. Bukannya berhenti, tangisan putrinya malah semakin kencang. Beberapa saat kemudian Drian mengingat sekelebat bayangan tentang kejadian aneh yang sialnya terasa begitu nyata. Pria itu akhirnya membuka kedua matanya dan langsung duduk saat dua perempuan di apartemennya memekik di saat yang bersamaan. Dia sempat linglung mendapati dirinya tidur di sofa. Apa semalam Rhea mengusirnya? Begitu pikir Drian sebelum mendengar gedoran pintu dan pekikan seseorang yang memanggil “Om”. Pekikannya bisa terdengar jelas meskipun pekikan kesal Ale karena tidak ada yang memperhatikannya tak kalah kencang. Akhirnya Drian tertarik dari lamunannya tentang semua yang telah ia lalui sejak dua malam yang lalu karena tangisan Ale yang semakin menjadi-jadi. Putrinya terdengar sangat kesal dan Drian lebih dulu menghampiri Ale daripada Rhea yang sepertinya masih berbentuk bocah. Karena jika istrinya sudah kembali, dia tidak akan sebar-bar itu. “Pagi, Sayang,” ucapnya meskipun tidak akan mendapatkan balasan. Muka bayinya dan Rhea sudah memerah sempurna dan Drian langsung menggendongnya. Menenangkan Ale dengan terus mengajaknya bicara, menggendong dengan sebelah tangan sementara tangan yang satunya lagi sibuk untuk membuatkan s**u sejak sepasang Ayah dan anak itu berada di dapur. Meski tidak berhenti menangis sepenuhnya setidaknya Ale tidak sekejang tadi. Bayi itu akhirnya benar-benar diam setelah kepala botol susunya berada di dalam mulut. Drian rasa Ale sudah bangun sejak tadi dan juga sudah kelaparan sejak tadi tentu saja. Terlihat dari betapa cepatnya ia meminum s**u formulanya itu. “Maafin Papa, Nak.” Drian merasa telah menelantarkan putrinya sampai membuat bayi kesayangan Rhea tersebut harus menangis sampai kejang dulu baru mendapatkan makanannya. Sementara Ale menghabiskan susunya, Drian membawa mereka berdua kembali ke sofa. Drian duduk dengan sang putri berada di pangkuannya. Dia sengaja menulikan telinga meskipun Rhea masih berteriak kesal karena tidak dibukakan pintu. Si perawan itu menuduh Drian sengaja menguncinya padahal siapa yang mengunci dirinya sendiri? Drian sudah cukup kelelahan semalam untuk bisa menyembunyikan kunci kamar. Kini sepasang Ayah dan anak itu sama-sama menatap pada pintu kamar yang sekarang pasti sedang ditendang-tendang. Ale masih terus meminum s**u sedangkan Drian sibuk dengan pikirannya sendiri. Jika yang ada bersama mereka pagi ini adalah Rhea Davina Russel, istrinya Drian, pagi keduanya pasti jauh lebih baik dari ini. Ale mendapatkan ASI tepat waktu dan Drian juga sudah menemukan sarapan di atas meja. Tanpa Drian sadari ia sudah benar-benar tergantung pada sang istri. Drian tidak bisa melakukan apapun dengan benar jika Rhea tidak ada bersamanya. Sedang di atas meja makan sana Sian mendengus kesal sementara Giam bersiul jenaka. “Siapa yang semalam bilang pertahanan diri Rhea ga terlalu buruk?” Giam juga mengatakan bahwa seingatnya, semalam Rhea tetap menggantungkan kunci pintu di sarangnya setelah mengunci pintu. “Berisik tau ga?!” Dan jujur, Giam tidak yakin siapa yang cerdas dan g****k di sini. Bukannya sudah benar jika Rhea menggantungkan kuncinya di pintu? Jadi meskipun Drian punya kunci cadangan, pria itu tidak akan bisa masuk. “Drian ga akan masuk ke kamar anak perawan meskipun perawan itu istrinya sendiri.” “Rhea bukan istrinya Drian,” jawab Giam mengingatkan. “Terserah!” bentak Sian yang ingin sekali melemparkan kunci yang ia letakkan di bawah bantalnya Rhea tapi jika ia melakukan hal tersebut, Giam akan menghalanginya untuk mengawasi tiga manusia ini dari dekat. Giam sudah cukup kesal karena Sian membuat Rhea dan keluarga kecilnya mengalami hal ini. “Cabut yuk!” ajak Sian yang menjadi tidak tahan dengan remaja boddoh di dalam sana. Lama-lama di sini Sian bisa khilaf dan membukakan pintu yang sama boddohnya dengan Rhea itu nantinya. Ale yang awalnya diposisikan duduk dan membelakangi sang Papa sekarang sudah dibaringkan namun tetap dalam gendongan Drian. Drian menyisir rambut putrinya yang basah karena keringat dengan jemarinya. Kembali mengajak putrinya bicara, meminta pengertian Ale jika sang Papa lamban dalam memenuhi kebutuhannya. Ale sedang menjangkau mulut Papanya dengan kedua tangannya ketika akhirnya pintu beberapa meter di depan mereka terbuka dan Rhea dengan matanya yang sudah bengkak mendekati mereka. Ale melihat Rhea tepat sama seperti cara Papanya melihat gadis itu. Sebelah alis bayi itu terangkat melihat Rhea mendekati mereka. “Aku kira Om ngunciin aku tau!” ucap Rhea masih dengan tangis. “Aku kira aku bener-bener diculik, nanti aku diperkosa terus organ-organku dijual ke black market.” Dian memutar bola matanya mendengar pengaduan Rhea. Yang membuatnya kesal adalah Rhea mengadu pada orang yang ia sendiri tuduh berniat mencelakainya. Siapa yang tidak kesal, ‘kan? “Lama-lama disini aku stress. Om liat? Pagi ini numbuh jerawat di pipiku,” adunya masih dengan kedua pipi yang basah karena air mata yang membuat Drian menghela napas panjang. Telunjuk kanan Rhea menunjuk jerawat yang bisa tumbuh dalam semalam. Sedangkan pria beranak satu itu, seingatnya dulu Rhea yang bertemu dengan Drian di umur satu tahun lebih tua dari Rhea yang berada di hadapannya ini selalu mencari cara agar bisa bertemu, selalu mencoba menarik perhatian Drian dengan penampilannya yang manis meskipun mati-matian Drian menahan dirinya dan tidak mau mengakui bahwa gadis yang selalu mengekorinya itu terkadang membuatnya ingin mengurung Rhea di rumah agar tidak ada yang bisa melihatnya. Rhea tidak sadar bahwa dia yang ingin tampil menarik di hadapan Drian, juga menarik perhatian banyak laki-laki di sekitar mereka. “Om,” panggil Rhea karena mendapati Om Drian begitu tenang sedangkan dia sudah bercerita dengan heboh. “Hm?” “Lapar, Om.” “Mandi dulu sana!” ucapnya ketus. Drian tau apa yang remaja itu inginkan dan Rhea yang ia ingat sangat benci jika apa yang diinginkan tidak langsung didapatkan. “Aku maunya makan! Yang bertanggung jawab dong jadi orang!” Tuh, ‘kan. Apa Drian bilang. Mana bawa-bawa tanggung jawab lagi. “Tanggung jawab? Memangnya kenapa? Kamu hamil?” tanya Drian mengembalikan kata-kata Rhea kemaren malam. Pria itu beralih pada putrinya yang hampir menandaskan sebotol s**u formula. Drian mencium pipi Ale kemudian berujar, “Setelah ini kamu mandi, ya, Nak.” “Om-” “Rhea Davina Russel! Aku sama Ale ga butuh kamu yang merengek-rengek seperti ini. Kamu mau makan? Kerjain yang aku suruh dan berhenti manggil aku Om!” Tapi setelah kalimatnya itu Drian langsung mengutuk dirinya sendiri. Drian tidak bisa mencegah dirinya sendiri mengatakan bahwa ia dan Ale tidak membutuhkan Rhea. Istrinya yang dalam mode bocah ini benar-benar membangkitkan kekesalan Drian. “Mandi, Hm,” ucap Drian jauh lebih lembut dari sebelumnya. “Setelah kita bertiga mandi, kita keluar nyari sarapan,” tambahnya. “Aku laparnya sekarang dan saat orang lapar, mereka makan, Om. Bukan mandi.” Drian sudah mencoba untuk memahami keadaan mereka tapi Rhea lah yang tidak bisa melakukan hal yang sama. Perkara makan doang, astaga. Selama ini apa si Perawan ini pikir Drian membuat istrinya kelaparan? Bahkan selama mengandung Ale saja tidak ada permintaan Rhea yang terlewatkan oleh Drian. Meskipun bukan orang berada seperti Papanya, tapi Drian memiliki cukup uang untuk memenuhi kebutuhan istri dan anaknya. Ingin Drian mengatakan hal itu pada wajah di depannya tapi ia tau Rhea tidak akan mengerti. “Oke. Makan, ‘kan? Gampang. Beri aku waktu untuk mengurus putriku Rhea. Setelah aku memandikannya kemudian aku juga mandi, kami akan mencarikan kamu sarapan.” “Kelamaan Om. Pesan kaya kemaren aja gimana?” “Kalau kamu ga mau kelamaan makanya mandi dan kamu bisa ikut sama kami.” Ucapan Drian barusan masih diucapkan dengan lembut tapi jauh dari lubuk hatinya, Drian justru ingin menjewer telinganya Rhea yang benar-benar keras kepala. Perkara makan doang mereka bisa berdebat sepanjang ini. “Cih, katanya sayang sama istrinya, yang istrinya itu katanya aku. Mana?” ucap Rhea menghentak-hentakkan kaki menjauhi pria yang sedang menggendong putri kesayangannya. “Kata orang yang sampai semalam masih ga mengaku kalo sekarang ini dia ada di rumah suami masa depannya. Mana sampai ngunci pintu dan heboh sendiri. Sudah lah dia yang pastinya salah naro kunci eh malah nuduh orang pengen perkosa dia,” balas Drian dan memastikan semua kata-katanya didengar dengan baik oleh Rhea karena ia pun merasa Rhea sengaja mengatakan kalimatnya barusan. “Untung kamu munculnya langsung di apartemen ini. Kalo engga, udah bener-bener dijual organ-organ kamu tau, ga?” ucap Drian lagi. Pendirian Rhea semudah itu berubah hanya karena perutnya lapar. Persis sekali dengan kejadian beberapa tahun lalu di universitas ketika dia mau saja duduk di lapangan depan rektorat dengan pria yang jelas-jelas menginginkannya. Dan pria itu tidak perlu bersusah payah untuk mendapatkan waktu dan perhatian Rhea. Hanya modal jaket varsitinya dijadikan alas agar Rhea tidak duduk di atas rumput dan kemudian satu kresek jajanan dari kopma atau koperasi mahasiswa. Dan benar saja, Drian dan Ale sampai terperanjat mendengar hempasan pintu. Drian tidak bisa untuk tidak memberikan tatapan bosannya pada Rhea yang kembali keluar setelah menutup pintu dengan kasar. “Maaf, Om. Anginnya kenceng.” Begitu ucapnya dengan cengiran lebar kemudian kembali masuk ke dalam kamar. Rhea sedang sangat kelaparan sehingga ia tidak ingin membuat perkara baru meskipun gadis itu akui bahwa hempasan pintu beberapa detik yang lalu ia lakukan dalam keadaan sadar. Drian menggeleng-gelengkan kepala melihat pintu kamarnya yang kembali tertutup kemudian kembali menoleh pada putrinya. “Badan gadis Papa udah lengket, ya,” ucapnya lembut. “Sabar ya, Sayang, biarkan Mama kamu yang perawan itu selesai mandi dan pakai baju baru kita masuk ke dalam kamar.” Drian kemudian mencium pipi Ale sekali lagi. Aslinya, putrinya dan Rhea memang seanteng ini. Amukan Ale beberapa menit yang lalu karena bayi ini sudah sangat kelaparan. “Kalau dipikir-pikir, kamu mirip sama Mama, Sayang,” ucap Drian tersenyum geli. Sekarang ia seperti menghadapi dua Rhea yang tidak bisa dan tidak boleh merasa kelaparan atau dunia bisa gonjang-ganjing. “Sekarang pertanyaan lainnya selain bagaimana membuat Mama kamu kembali ke bentuk asalnya adalah bagaimana agar Mama kamu yang bocah itu bisa lebih memahami keadaan kita, lebih dewasa pola pikirnya,” ucap Drian sambil menyugar rambutnya dengan sebelah tangan kemudian kepalanya diletakkan di sandaran sofa. Menatap langit-langit dengan helaan napas berat.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN