Rhea 4

1118 Kata
Rhea sempat diajarkan cara menggendong Ale oleh Om Drian subuh tadi ketika anak ini menangis kencang karena kehausan yang membuat Rhea kehilangan kantuknya untuk yang ke sekian kalinya. Anaknya Om Drian bisa bangun puluhan kali dalam semalam. Rhea sudah hendak menggendong Ale ketika anak itu tiba-tiba saja meremas paha Rhea dengan kukunya yang ternyata sudah cukup panjang. Cukup untuk bisa melukai dirinya sendiri. Alesha Zaneta Russel bukan nama anak ini? Dia menatap Rhea tanpa berkedip juga tanpa melepaskan paha Rhea dari remasan kuku mungilnya yang mulai tajam. Entah karena dia tau bahwa Rhea bukan lah Mamanya atau karena dia tidak suka dengan ide mandi tisu basah. “Ale anak baik, ‘kan, ya?” tanya Rhea. Sengaja menyingkirkan tangan Ale dari pahanya kemudian menuntunnya untuk duduk. Rhea memegang kedua tangan Ale dan membawanya ke pipinya sendiri. Jika anaknya Om Drian juga mencubit pipinya, Rhea bersumpah akan mencubitnya juga tapi yang ia dapatkan justru senyum beserta suara aneh yang berasal dari mulut tipisnya itu. Rhea tidak mengerti apa arti suara barusan tapi senyum yang Ale berikan mungkin saja berarti bahwa dia mulai menyukai Rhea. Ya bukannya apa-apa. Terima atau tidak, hanya bayi ini saja yang bisa menjadi teman Rhea selama ia di culik oleh Om Drian. Di saat seperti ini kamu tidak boleh pilih-pilih bukan? Untuk beberapa menit keduanya duduk di kepala ranjang dengan menggenggam tangan satu sama lain. Rhea dengan tatapan kosongnya sementara Ale, anak itu hanya duduk manis sambil sesekali melihat ke arah depan. Seperti mencari tau apa yang Rhea pandangi kemudian beralih menatap pada wajah Rhea. Begitu terus sampai Rhea mengalihkan pandangannya karena lagi-lagi Ale membenamkan kukunya di permukaan kulit Rhea. “Hm.. Kakak harus cari potong kuku dulu tapi Ale diam di sini ya?” Rhea lupa berapa umur teman barunya ini sehingga dengan bodohnya ia berharap Ale akan mengerti ucapannya. Mengucapkan lapar saja anak ini tidak bisa. Hanya ada satu Bahasa saja yang Ale kuasai yaitu Bahasa tangis. Bagaimana tidak? Lapar dia menangis, popoknya penuh dia juga menangis. Berdecak kesal, Rhea menaruh semua bantal di pinggiran ranjang agar Ale tidak kemana-mana. Rhe tidak bicara sepatah kata pun selama ia membangun hm.. benteng (?) untuk Ale. Gadis itu menggigit pipi bagian dalamnya untuk mencegah kata lain terucap atau dia benar-benar akan terlihat seperti orang bodoh. Rhea sudah dikatai bodoh melalui isi raportnya dan ia tidak ingin terlihat bodoh dengan cara yang baru. Bicara pada seorang bayi. Setelahnya Rhea berlari secepat kilat ke laci-laci di meja TV. Rhea membuka semua laci yang ada di bawah meja TV dan menemukan benda yang ia cari. Remaja itu sempat termenung beberapa saat. Bagaimana mungkin ia mengetahui bend aini ada di sini? Maksud Rhea, ini bukan rumahnya dan ia baru berada di sini kurang dari dua puluh empat jam. Rhea menggeleng pelan. “Semua orang pasti taruh benda yang sulit dicari ini di tempat yang paling mudah dijangkau,” ucapnya. Ibuk bahkan selalu memarahi Rhea tiap kali ia memindahkan letak gunting kuku. Kata Ibuk, gunting kuku ini adalah benda yang paling sulit dicari ketika dibutuhkan dan sebaliknya akan terlihat dengan mudah ketika tidak ada gunanya. Makanya kita harus menaruhnya di satu tempat saja. Lalu Rhea tersenyum dan mengangguk. Semua Ibu rumah tangga pasti berpikiran seperti itu. Demikian pula dengan wanita yang kononnya adalah istri Om Drian. Ngomong-ngomong soal istri Om Drian, Rhea jadi mengingat anaknya Om Drian. Kemudian cepat-cepat ia berlari ke arah kamar. “Hayoooo mau kemana kamu?” tanya Rhea yang kembali bicara pada bayi yang tidak bisa bicara. Anak itu sudah sampai di ujung ranjang dan tertawa keras saat melihat Rhea berlari masuk ke dalam kamar. Dalam hati Rhea berujar jika ia tidak langsung ke laci-laci di bawah TV mungkin Ale sudah jatuh ke lantai dan menjadi adonan roti. Kalau Ale menjadi adonan roti maka sudah pasti Rhea menjadi remah-remah kipang kacang karena Papanya Ale pasti akan membuat perhitungan dengannya. Ngomong-ngomong soal kipang kacang, Rhea kok lapar ya? Tapi anaknya Om Drian yang berada di pinggir ranjang ini lebih penting dari perutnya yang lapar. Rhea berniat untuk menggendong Ale seperti yang diajarkan Om Drian tapi anak itu menatapnya tanpa berkedip seperti sedang menantang. ‘Kamu yakin bisa gendong aku? Betulan mau jadi remah-remah kipang kacang?’ itu yang Rhea terima dari pandangan anak itu. Rhea menggeleng dan detik setelahnya ia mengguling-gulingkan Ale layaknya sebuah drum minyak goreng yang berwarna biru tua. Tapi tentu saja dengan sebaik mungkin dan selama proses tersebut Rhea memasang senyum manisnya pada Ale yang memasang wajah tegang. Mungkin baru kali ini diperlakukan seperti ini. Meski baru beberapa jam tapi Rhea mengetahui bahwa Ale adalah anak kesayangan jadi seharusnya ia tidak membuat lecet anak ini atau dirinya benar-benar akan berakhir seperti camilan kesukaannya. “Udah,” ucap Rhea disertai kekehan yang terdengar garing. Seolah-olah paham dengan yang barusan Rhea katakan, Ale langsung mendudukkan dirinya kembali di atas ranjang. Satu hal yang Rhea syukuri adalah bagaimana anak itu tidak menangis setelah diperlakukan seperti benda mati. Dalam hati remaja satu itu sempat bertanya-tanya, apakah benar Om Drian adalah Papanya Ale? Kenapa Ale menangis kencang dengan Papanya tapi tidak dengan Rhea? “Mana coba tangannya? Kuku kamu panjang, Le. Nanti wajah cantiknya bisa lecet, ‘kan kasian. Ale jangan rusuh, ya, nanti tangannya berdarah,” ucap Rhea yang sepertinya sudah lupa dan tidak peduli lagi dengan dirinya yang terlihat bodoh karena berbicara dengan bayi yang belum bisa bicara. Namun ajaibnya anak ini jadi cukup patuh. Entah karena aslinya memang penurut atau justru karena Rhea memintanya untuk tidak bergerak-gerak. Semakin Rhea mengajaknya bicara semakin Ale menjadi anak yang baik. Dia hanya duduk, diam dan mendengarkan segala curhatan Rhea tentang dirinya yang tiba-tiba berada di rumahnya Ale. Sesekali Ale akan bergumam seolah sedang menanggapi ucapan Rhea yang sejak beberapa waktu yang lalu memutuskan untuk menjadi Kakaknya. “Cantiknya nurun dari siapa sih, Le?” “..” “Mamamu, ya?” “..” “Nama Mama kamu betulan sama kaya nama Kakak?” tanya Rhea yang membutuhkan konsentrasi tinggi untuk memotong kuku jari kelingking Ale. Sebetulnya memotong kuku adalah keahlian Rhea karena ia lah yang memotongkan kuku semua orang di rumahnya. Tapi karena jari anaknya Om Drian terlalu mungil, ia jari harus berhati-hati. Kuku anak ini saja lunak apalagi jarinya. Salah-salah Rhea bisa memotong jarinya Ale. Dan untuk pertanyaannya barusan Rhea kembali mendapat gumaman tidak jelasnya Alesha Zaneta Russel. Rhea tidak tau selama apa ia bicara pada Ale setelahnya karena begitu ia sadar, ternyata anak kesayangannya Om Drian sudah tertidur. Seolah omongannya Rhea semacam dongeng atau nyanyian pengantar tidur. Jika seharian Rhea kelaparan, Ale pasti juga merasakan hal yang sama karena remaja satu itu tidak pernah diajarkan caranya membuat s**u formula. Sedang yang diajarkan di sekolah saja ia tidak mengerti apa lagi dengan sesuatu yang jelas-jelas tidak pernah diajarkan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN