Pintu ruang rawat inap Ben kubuka, setelah sebelumnya aku sempat mengetuknya. Ben yang bersandar pada kepala ranjang menoleh ke arahku.
"Selamat sore, Ben!" sapaku lalu menuju sofa dan meletakkan tasku di sana.
Ben tampak mengernyit lalu menatap pintu. "Mana Paman Ridwan?" tanyanya.
"Oh, itu tadi Paman Ridwan aku minta untuk pulang saja."
"Apa?" tanya Ben kaget.
Kini giliran aku yang juga tak mengerti dengan sikapnya. Terlebih sekarang Ben mengusap wajahnya seolah ada sesuatu yang sedang ia pikirkan.
"Memangnya kenapa?"
Ben menatapku, "Kau tahu, aku sudah sejak tadi menunggunya datang. Karena Paman Ridwan harus menjemputmu dulu."
Aku masih tak mengerti. Tapi kemudian Ben melanjutkan perkataan yang tadi belum selesai. "Bahkan hingga sesore ini aku belum mandi karena harus menunggu Paman Ridwan datang. Dan kau seenaknya menyuruhnya pulang."
Aku mencerna setiap perkataan Ben yang diucapkan dengan nada ketus dan wajah dingin serta kaku.
"Maksudnya?" aku justru dengan bodohnya bertanya.
"Astaga, Sifa! Kau tahu sendiri jika aku ini lumpuh. Kakiku tak berfungsi. Tapi ... Aku juga masih butuh untuk mandi. Biasanya, ada Paman Ridwan yang akan membantuku mandi. Ah, maksudku ... Paman Ridwan lah yang akan membantu membasuh tubuhku agar tidak terasa lengket."
Dari sini aku paham. Dan bodohnya aku yang justru tidak tahu mengenai hal itu.
"Karena Paman Ridwan tak ada di sini ___" Ben menjeda ucapannya. Aku masih menatapnya, menanti apa yang akan dia katakan selanjutnya.
"Jadi ... Kaulah yang harus membantuku."
"Apa? Kenapa harus aku? Kau kan bisa meminta bantuan pada salah seorang perawat di sini."
"Apa kau bilang! Jadi ... Kau meminta padaku untuk menyuruh suster memandikanku? Sifa ... Kau ini istriku. Jadi, kaulah yang harus membantuku."
"Tapi aku tidak mau, Ben!" bantahku. Mana mungkin dia memintaku untuk memandikannya.
"Baiklah jika kau tidak mau membantuku. Dan justru lebih senang melihat suamimu dipegangpegang oleh wanita lain."
Ucapan Ben sangat tidak enak di dengar. Oh, Tuhan, Ben! Oke, aku menyerah sekarang. Lagipula, jika ada suster yang harus membantu Ben di saat aku di sini, rasanya juga tidak etis.
"Baiklah. Aku akan membantumu."
Aku beranjak berdiri dengan berat hati.
"Handuknya ada di dalam lemari. Ambil air hangatnya di dalam kamar mandi!" perintahnya. Aku menurut. Membuka lemari dan mengambil dua helai handuk bersih. Lalu masuk ke dalam kamar mandi dan mengisi baskom dengan air hangat. Membawanya mendekati Ben dan meletakkan baskom berisi air hangat di atas kursi.
"Apa yang harus aku lakukan sekarang?" tanyaku karena jujur aku sendiri tidak tahu apa yang akan kulakukan sekarang.
"Tutup dan kunci pintunya dulu. Aku tak ingin ada orang masuk ke dalam di saat kau sedang membersihkan tubuhku."
Aku mengikuti perintahnya. Menuju pintu dan menguncinya.
"Bantu aku melepas baju ini." Ben memintaku untuk melepas baju rumah sakit yang ia kenakan. Kedua tangan telah ia rentangkan. Dan aku mendekatinya. Dengan canggung aku menarik ujung bajunya, tapi ternyata baju yang Ben kenakan merupakan baju terusan sepanjang paha.
"Tarik dulu bagain bawahnya, Sifa!" titahnya dan aku membeku di tempat.
Namun, segera tersadar. Membuka sedikit selimut yang menutupi kakinya. Kaki yang dibalut perban. Aku tak berani menunduk dengan satu tangan berusaha menggapai baju Ben. Lelaki itu sedikit demi sedikit menggeser tubuhnya agar memudahkanku dalam melepas bajunya.
Tangan Ben meski terdapat luka tapi masih bisa digerakkan dengan leluasa. Di saat baju itu terlepas melewati kepala Ben, pandangan mataku terpaku pada d**a serta perut six pack milik lelaki itu. Kulitnya yang putih dan bersih membuatku susah meneguk saliva. Apalagi mengalihkan pandaganku. Biasanya aku mendapat pemandangan seperti ini di layar ponsel di saat aku menjadi stalker cowok-cowok genteng berbadan seksi.
"Basuh tubuhku dengan handuk itu!"
Aku tergagap dan mengangguk. Memasukkan satu handuk bersih ke dalam air hangat. Setelahnya memeras handuk tersebut sampai tak ada sisa airnya. Tanganku ragu untuk mengusapkannya di kulit tubuh Ben.
"Kenapa kau diam, Sifa!"
Dengan ragu tanganku mendarat di atas kulit dadanya. Menggerakkannya perlahan mengusap tubuh Ben. Mengikis jarak antara aku dengan Ben. Membuat jantung ini sudah berdetak sangat kencang. Ini hanya sentuhan ringan, tapi sudah membuatku jumpalitan. Kenapa tanganku jadi bergetar seperti ini. Rasanya aku memang harus cepat-cepat melakukannya agar segera selesai dan tak menyiksaku sendiri. Kini punggung Ben yang sedang aku bersihkan. Punggung yang begitu kokoh dan tiba-tiba terbesit di benakku jika aku ingin mengusap dan bersandar di punggung itu.
Untung saja aku tak tergoda dengan fantasi liarku dan begitu punggung Ben telah aku keringkan dengan handuk satunya lagi, aku mengatakan padanya, "Selesai."
"Yang bawah belum Sifa!"
"Yang bawah mana?"
"Kaki dan pahaku."
"Apa? Kau bisa melakukannya sendiri, Ben!"
"Tapi aku tak bisa membungkuk, Sifa!"
Huft ... aku mendesah. Benar saja, Ben tidak bisa membungkuk. Lantas, apakah aku harus melakukannya. Bagian bawah tubuh Ben yang sangat berbahaya.
Dengan ragu aku pun menurut saja.
"Eum ... Ben!"
"Hmm ..."
"Kau memakai celana kan di bawah sana? Ah, maksud aku ... celana dalam?" Wajahku langsung merona setelah mengatakan hal aneh demikian.
Tampak Ben tersenyum menahan tawanya. Baru kali ini aku melihatnya tersenyum. Aku kira lelaki sekaku dan sedingin Ben tidak bisa tersenyum. Buktinya selama aku mengenalnya, Ben selalu saja bersikap ketus kepadaku.
"Kau bisa melakukannya tanpa membuka selimutku."
Lega. Ternyata aku tak perlu melihatnya meski ada sedikit rasa penasaran akan sesuatu yang berada di pangkal paha seorang pria. Aku ini wanita dewasa yang seringkali mendengar hal-hal vulgar dari teman atau orang-orang di sekelilingku.
Dengan sekali tarikan napas aku mulai membuka sedikit selimut yang menutupi tubuh bagian bawah Ben. Tanganku mulai mengusap dengan tidak konsetrasi. Terlebih saat tanpa sengaja aku melirik Ben, lelaki itu justru sedang memejamkan matanya. Apa dia sedang menikmati sentuhan tanganku. Kugelengkan kepala dan kembali melanjutkan aktifitasku. Aku hanya membersihkan sampai paha miliknya saja, karena lutut ke bawah sudah terbalut oleh perban.
Dan pekerjaanku selesai. Lega sudah, tugas berat yang kujalani kali ini. Dengan senyuman kembali aku menoleh dan menatap Ben. Tapi lelaki itu juga sedang menatapku. Tiba-tiba saja aku menjadi salah tingkah sendiri. Tatapan Ben sungguh mematikan dan aku tidak kuat terlalu lama memandang mata elangnya.
"Ben, sudah selesai," kataku. Mataku ini kembali dengan nakalnya menyusuri d**a Ben yang masih terbuka.
"Tolong ambilkan baju gantiku."
Dan aku tergagap, mungkinkah Ben mengerti jika aku sedang mengangguminya. Segera aku membalikkan badanku mendekati lemari, membuka pintunya dan mengambil satu buah baju rumah sakit yang sudah tersedia di sana.
Ben mengulurkan tangan memintanya dariku. Aku hanya melihatnya yang sepertinya tanpa kesusahan memakai baju itu. Hanya kugelengkan kepalaku sembari berdecak. Ben sangat cekatan saat memakai baju. Tapi, kenapa saat melepas bajunya justru kesulitan. Ah, entahlah. Aku sendiri pun tak tau dan aku tak mau berprasangka buruk. Toh, dia adalah suamiku.