Belenggu 17

1366 Kata
“Tes urin?” tanya Enid bingung. “Iya, tunggu sebentar aku ambilkan tespek." Daryl pergi keluar kamar. “Apa maksud Daryl dengan tes urin?” pikir Enid refleks membawakan tangannya menuju perutnya. “apa ada hubungannya dengan kehamilan?” tanyanya pada diri sendiri, jantungnya berdebar kuat. Tak lama Daryl kembali dengan benda kecil di tangannya. “aku bantu ke kamar mandi,” ujar Daryl meletakkan benda itu ke dalam saku kemejanya. Dan ia pun membantu Enid turun dari tempat tidur. “Kenapa kita harus melakukan tes urin?” tanya Enid melangkah pelan-pelan dengan bantuan Daryl. “Untuk memastikan sesuatu,” jawab Daryl. Enid berdiri di depan kloset dan ada Daryl di belakangnya. “apa yang harus aku lakukan?” tanya Enid, ia menjadi sangat bingung. “Buang air kecil dan tampung dengan ini,” ujar Daryl memberikan wadah kecil. “Bagaimana caranya? Tanganku bisa basa nanti,” “Tinggal cuci tangan Enid.” “Apa tidak ada cara lain?” “Tes darah,” Memikirkan darahnya diambil lagi, Enid mendesah pelan. Ia memutar tubuhnya menghadap Daryl. Mengambil wadah kecil dari tangan Daryl. Enid mengernyit lantaran Daryl masih berdiri disana dengan melipat kedua lengan di depan dadanya. Seperti orang yang sedang menunggu antrian. “Kau tidak pergi?” tanya Enid heran. “Kemana?” “Entahlah. Mungkin ke alam lain jika kau berkenan.” “Enid,” “Kau ingin aku menampung urinku bukan?” “Lakukan saja?” “Dia tidak mau keluar kalau kau tetap disana,” “Apa? Kau ingin aku membantumu?" "Jangan berpikir gila." Daryl membuang nafas kasar.“Aku sudah melihat semua milikmu termasuk tempat sucimu itu. Untuk apa kau canggung,” “Aku tidak mau kencing kalau kau tetap disana." Tanpa mengatakan apapun Daryl segera berbalik meninggalkan kamar mandi. Enid menurunkan celananya kemudian duduk di kloset untuk menampung urin. Ia meletakkan benda itu di atas kloset setelah mengenakan kembali celananya. Enid kemudian kembali ke kamarnya. “Aku sudah menampungnya,” ujar Enid melihat Daryl di depan pintu kamar mandi. Daryl masuk ke dalam kamar mandi dan mengambil urin Enid, ia mencelupkan benda kecil ke dalam wadah. “dia kurang minum? air urin sampai kuning begini. Jorok.” gerutu Daryl mengambil tespek dari wadah dan membuang sisa urin Enid ke dalam kloset. Daryl berdecak kesal lantaran Enid tidak menyiram kencing yang sebelumnya. “Dia benar-benar menguji kesabaranku.” Gumam Daryl menekan tombol kloset. Ia membawa tespek masuk ke dalam kamar dan duduk di sofa. “Bagaimana hasilnya?” tanya Enid dari atas tempat tidur. Daryl memperhatikan lekat tespek dan menunggu garis benda itu berubah, detik kemudian kedua mata Daryl membola. Ia melihat ke arah Enid lalu beralih melihat benda itu untuk memastikan. “Kau membuatku bingung Daryl.” ucap Enid dari tempatnya. Daryl segera beranjak dari tempat duduknya menghampiri Enid di atas ranjang. Ia menunjukkan hasilnya. “kau bisa melihatnya.” ujar Daryl. Enid melihat benda kecil di tangan Daryl. “Apa? Kau pikir aku mengerti masalah begini?Jelaskan jangan membuatku bingung.” Enid mengetahui kegunaan benda itu tetapi ia tidak pernah menggunakan atau melihat gadis lain menggunakannya. Dia tidak paham sama sekali. Daryl mengembuskan nafas panjang. “kau sangat bodoh,” “Itu bukan masalahmu,” Daryl duduk di bibir ranjang, “Dua garis merah ini disebut dengan positif. Artinya kau sedang hamil.” ujar Daryl. “Hamil?” Enid balik bertanya dengan raut wajah tak percaya. “Iya, kau berhasil mengandung,” Daryl menepuk puncak kepala Enid lembut. “kau harus menjaganya dengan baik.” ujar Daryl. Enid mengambil tespek dari tangan Daryl, memperhatikan benda itu dengan seksama. Dua garis yang disebut Daryl memang merah muda dan itu sangat jelas. “Jadi aku hamil sekarang?” lirih Enid bertanya. Daryl mengangguk, “aku akan memberikanmu vitamin dan obat untuk mengurangi rasa mual. Dan mulai sekarang kamu harus lebih menjaga pola makanmu. Aku tidak ingin ada perdebatan masalah makanan. Yang kau lakukan hanya patuh.” ucap Daryl. Pria itu mengambil tespek dari tangan Enid. “Bagaimana dengan kepalamu? Masih sakit?” “Semakin pusing, mungkin karena kau masih disini.” “Maksudmu kau pusing karena aku?” tanya Daryl heran. “Tolong tinggalkan aku,” “Pergilah ke kamarmu,” ujar Daryl. “Tidak, aku mau disini.” Enid membaringkan tubuhnya di ranjang. “kau saja yang pergi. Kepalaku makin sakit melihatmu di sana.” “Ini kamarku bodoh,” "Ahh kau benar." Daryl tidak ingin berdebat lantas ia memilih pergi meninggalkan gadis itu. Ia tak sabar untuk memberitahu Lizzie tentang kehamilan Enid. Daryl mencari nomor ponsel Lizzie dan menghubunginya. “Daryl,” gumam Lizzie dari ujung telepon. “Enid berhasil hamil Lizzie,” ucap Daryl. “Sungguh?” tanya Lizzie bersemangat. Ia kemudian menutup mulutnya dengan telapak tangan. Negan sedang berada di kamar mandi. Ia tak ingin pria itu mendengarnya. “Iya, kau akan punya anak.” “Lalu apa yang harus aku lakukan?” tanya Lizzie, tangannya sampai gemetar. “Hari ini aku akan ke rumah sakit dan membicarakan ini dengan doktermu. Kau tunggu telepon dari mereka. Aku akan menyiapkan segalanya.” jelas Daryl. “Oh God.” Lizzie terdengar sangat bahagia. Bagaimana tidak? Kehilangan rahim adalah mimpi buruknya setiap malam. Lizzie bahkan tidak pernah berpikir akan memiliki keturunan sekalipun menggunakan rahim wanita lain. Beruntung Daryl selalu membantunya. “aku sangat bahagia Daryl. Kita bertemu di rumah sakit.” ujar Lizzie. “Oke, aku akan menelponmu nanti.” ucap Daryl lalu menutup telepon. Daryl meletakkan ponsel di meja kerjanya. Hatinya ikut berdebar. Jika janin dalam rahim Enid berkembang dan lahir maka ia akan punya anak bersama Lizzie. Anak itu bukan milik Negan. Daryl beranjak dari tempat duduknya dan berjalan pelan menuju kamarnya. Di atas tempat tidurnya Enid sudah tertidur. Daryl menghampiri dan mengamati wajah pucat Enid. Ia mengulurkan tangan menyentuh kening Enid sekaligus merapikan poni gadis itu. Enid sontak membuka matanya, mengejutkan Daryl. “kau belum tidur?” “Kau menggangguku,” “Bukan mengganggu tetapi memeriksa apa suhu tubuhmu naik atau tidak.” “Alasan.” Enid bangun dari tidurnya. “jangan-jangan kau tertarik denganku,” Daryl mendengus, mencemooh Enid lewat tatapannya. “Kenapa? Apa ucapanku itu benar?” tanya Enid. “Baiklah aku mengakui menyukaimu,” “Sungguh?” tanya Enid dengan mata membola. “Karena saat ini kau sedang mengandung,” Enid menarik sudut bibirnya, “ini anak Lizzie dengan suaminya. Kau disini hanya berperan jadi dokter saja.” kata Enid. Daryl tersenyum, “ tidurlah jangan berpikir aneh-aneh tentangku. Kau tidak akan mampu menggapaiku,” “Kau pikir aku tertarik denganmu. Aku menginginkan pria baik dalam hidupku bukan pria aneh seperti anda.” “Silakan bermimpi karena itu tidak akan kau dapatkan.” “Kenapa?” “Siapa yang mau dengan perempuan sepertimu.” Daryl mendorong kening Enid. “Banyak Daryl. Banyak yang mau denganku.” “Hanya ingin bermain-main, ya tentu saja mau.” “Daryl!” teriak Enid tersinggung. “Kenapa kau berteriak? Jangan membuatku marah. Kau akan kehilangan semuanya nanti saat aku benar-benar marah.” “Memangnya apa yang aku miliki saat ini. Kau sudah merampasnya.” lirih Enid lemah. Daryl menarik nafas panjang. Ia menarik kursi meja rias dan duduk. Ia memperhatikan wajah Enid dengan intens. “nanti setelah kau melahirkan anak ini. Aku akan membuangmu jauh-jauh dari tempat ini dan kau akan kembali pada kehidupanmu yang sebelumnya.” “Aku lebih baik kembali pada kehidupanku yang dulu, kau pikir aku nyaman tinggal dan hidup dengan cara seperti ini?” “Kau akan menjadi sampah setelah ini,” “Keterlaluan. Dengar Daryl, 80% janin bisa berkembang itu kalau aku menginginkannya. Jangan membuatku marah atau kau kehilangan janin ini.” ancam Enid. “Apa maksudmu?” “Aku akan membunuh batinku supaya anak ini tidak hidup di rahimku.” Sebuah tamparan melayang di pipi Enid sangat kuat hingga kepala Enid berpaling ke kiri. “Sudah aku peringatkan jangan membuatku marah. Kau akan kehilangan segalanya. Aku mulai muak denganmu.” Tekan Daryl. Ia beranjak dari tempat itu meninggalkan Enid membisu memegangi bekas tamparan Daryl di pipinya. Ia meneteskan air matanya dan memilih berbaring, menarik selimut hingga kepalanya dan menangis diam disana. Enid sakit hati mendengar ucapan Daryl bahwa dirinya hanya sampah. Itu sebabnya ia marah dan tidak dapat mengontrol kata-kata itu keluar dari mulutnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN