#
Axel bergegas ke rumah sakit saat mendapat telepon dari ibu mertuanya.
Helena sudah sadar. Itulah kabar yang diterimanya dari ibu mertuanya tersebut.
Semenjak kecelakaan itu Helena mengalami koma selama hampir satu bulan. Hal yang patut disyukuri adalah Helena untungnya tidak menderita cedera parah kecuali gegar otak ringan menurut penjelasan dokter. Ini sesuatu yang sangat di syukuri bahkan oleh Axel sendiri.
Axel sempat tertegun beberapa saat mencoba mengatur napasnya yang tersengal-sengal sebelum akhirnya dia mendorong pintu ruangan tempat Helena dirawat.
Di sana di atas tempat tidur, Helena menatapnya dengan tatapan yang sulit untuk bisa diartikan oleh Axel sementara dirinya hanya terpaku tanpa mampu bergerak sedikit pun dari tempat di mana dia berdiri kini.
“Kau sudah sadar?” ucap Axel akhirnya. Dia merasa terkejut mendapati nada suaranya yang bergetar dan parau saat berbicara. Kenapa? Dia bukannya merasa gugup berhadapan dengan wanita yang seharusnya sudah bercerai darinya itu.
Selama mereka menikah, Axel tidak sering melihat Helena.
Mereka terlalu sibuk dengan kegiatan mereka masing-masing dan mereka terlalu tidak saling peduli satu sama lain.
Tapi itu sama sekali berbeda ketika dia harus menyaksikan bagaimana ibu dari anaknya tersebut harus terbaring dalam keadaan koma dengan berbagai alat untuk menyokong hidupnya. Dia tidak bisa membayangkan kalimat apa yang harus dia ucapkan di depan putranya, Zio, jika memang hari itu Helena tidak bisa diselamatkan.
Axel sendiri tidak mengerti perasaan lega macam apa yang dirasakannya ketika melihat wanita itu tersenyum ke arahnya saat ini, meski dengan wajah pucat.
Setidaknya Helena tidak lagi membutuhkan alat-alat sialan itu lagi.
"Bagaimana perasaanmu?” tanya Axel lagi. Dia masih tidak bergerak dari tempatnya berdiri.
Di sisi lain, Helena masih terlihat lemah.
"Dia sadar tadi pagi dan yang dia tanyakan hanya kau dan Zio."
Pandangan Axel beralih ke arah ibu mertuanya.
"Aku dan Zio?" Tanya Axel bingung.
Mungkinkah gegar otak ringan bisa membuat seseorang berubah begitu saja?
Dari karakter Helena yang dikenalnya selama ini, seharusnya yang pertama kali ditanyakan oleh wanita itu adalah kapan memar di wajahnya bisa hilang atau bagaimana bisa mobil sport kesayangan yang baru dia beli sekarang berubah menjadi barang rongsokan akibat kecelakaan itu.
Ibu mertuanya masih menatap Axel dengan pandangan aneh. Axel mendapati sesuatu yang sepertinya mengganggu ibu mertuanya.
"Kau adalah Axel bukan? Kau suamiku? Benar?"
Kali ini Helena yang bersuara. Namun pertanyaan yang di ucapkan Helena nyaris membuat Axel seperti disambar geledek. Terlebih dengan nada bicaranya yang seakan ragu dan canggung.
Apa ini? Rasanya otak Axel yang biasanya encer kini terlalu sulit memproses kejadian di hadapannya.
Axel masih terdiam membeku saat seseorang menepuk bahunya ringan.
"Axel, ada sesuatu yang harus Papa bicarakan denganmu."
Ayah mertuanya yang baru datang kali ini mengisyaratkan sesuatu kepada Axel.
Axel masih menatap Helena untuk sesaat sebelum akhirnya memutuskan untuk mengikuti ayah mertuanya melangkah keluar dari ruangan tempat Helena dirawat.
Ayah Helena adalah seorang yang sangat ramah dan baik hati di mata Axel. Meski dirinya dan Helena sendiri tidak memiliki hubungan pernikahan yang bisa dikatakan normal tapi dia memperlakukan dan menghormati kedua orang tua Helena sama seperti orang tuanya sendiri. Itulah kenapa hubungannya dengan kedua orang tua Helena jauh lebih baik dibandingkan hubungannya dengan Helena sendiri.
Ayah Helena menarik napas pelan sambil memberikan sebuah amplop berisi hasil diagnosis dan catatan kesehatan Helena.
"Papa tahu kau pasti bingung dengan pertanyaan Helena tadi. Tapi menurut Dokter ini adalah kasus langka. Dengan kata lain Helena mengalami amnesia. Sebuah keajaiban saat bangun dia masih bisa mengingat namamu dan Zio. Meski dia sama sekali tidak ingat kalian siapa."
Axel masih terdiam.
"Axel, seharusnya Papa dan Mama tidak berhak untuk ikut campur dalam kehidupan rumah tangga kalian. Papa dan Mama sangat paham dengan karakter Helena. Jadi kami sama sekali tidak menyalahkanmu saat kalian memutuskan untuk bercerai.”
Ucapan ayah mertuanya masih tidak bisa membuat Axel mampu menanggapi maksud sebenarnya dari setiap kalimat yang dilontarkan oleh ayah mertuanya itu.
“Kau menantu yang sangat baik Axel. Sayangnya Helena mungkin tidak bisa menjadi istri dan ibu yang baik bagimu dan Zio. Tapi dengan kondisi Helena sekarang, maukah kau memberi anak kami satu kesempatan lagi?"
Axel masih menatap ayah mertuanya kini.
Ayah dan Ibu Helena mungkin belum tahu kalau dia tidak pernah ingin bercerai.
Dia selalu ingin memberikan sebuah keluarga yang utuh bagi Zio karena dia tahu bagaimana rasanya tumbuh tanpa keluarga.
Dia bahkan tidak keberatan sekalipun Helena sama sekali tidak pernah memberi Zio kasih sayang. Hanya menjadi ibu Zio saja sudah cukup bagi Helena di mata Axel, tapi Helenalah yang ingin bercerai darinya.
Axel menarik napas panjang. Dia masih belum menjawab.
Ayah Helena tampak ragu untuk sesaat.
"Saat bangun, dua nama yang disebut Helena adalah Zio dan kemudian dirimu. Dia mungkin tidak mengingat suami dan anaknya. Tapi jauh di alam bawah sadarnya, kalian adalah dua orang yang sangat berarti baginya. Setidaknya pikirkan Zio. Anggap saja kali ini semuanya demi Zio, anak kalian," ucapnya.
Axel ingin berkata kalau tentu saja Helena akan mengingatnya karena uang yang selalu dia berikan untuk menjamin gaya hidup Helena yang sangat mewah.
Dia tidak keberatan untuk itu. Tapi untuk bilang kalau Helena akan mengingatnya untuk alasan sentimental lain selain uang, rasanya tidak mungkin. Dirinya terlalu mengenal Helena.
Namun seperti yang dikatakan oleh ayah mertuanya. Semua demi Zio, putranya.
Axel kembali menarik napas panjang untuk kesekian kalinya.
"Aku tidak akan menceraikan Helena," ucap Axel.
Selama dia tidak memintanya lagi. Batin Axel.
Raut wajah ayah mertuanya tampak berbinar bahagia.
"Bagus! Bagus sekali. Syukurlah. Pada akhirnya kalian bisa memulai lagi semuanya dari awal."
Axel tersenyum datar.
Dia tidak tahu apakah keputusan yang diambilnya ini benar atau tidak.
Pada akhirnya, dia hanya ingin yang terbaik untuk keluarganya. Meskipun pernikahannya bukan pernikahan yang patut dijadikan contoh, setidaknya keluarganya adalah keluarga terbaik yang bisa dia berikan untuk putranya, Zio.
Hari itu, Axel hanya duduk menemani Helena tanpa banyak bicara.
Kedua mertuanya sibuk membantu Helena mengingat pernikahan mereka, masa sekolahnya, dan bahkan tentang Zio.
Axel lebih banyak menjadi pendengar yang baik di samping Helena yang masih terlihat sungkan dan asing bersamanya.
Meski begitu, Axel mencoba menghargai niat Helena yang tampaknya bersungguh-sungguh berusaha mengingat tentang kehidupan mereka beberapa tahun terakhir ini, khususnya tentang Zio.
"Kenapa Zio tidak datang?" tanya Helena saat mereka berdua akhirnya ditinggal oleh kedua orang tuanya.
Axel mengupas apel dengan hati-hati untuk Helena.
"Dia tidak tahu kalau kau mengalami kecelakaan. Selama ini yang dia tahu adalah bahwa dirimu sedang berlibur ke luar negeri seperti biasa. Akan sulit untuk menjelaskan kepadanya kenapa kau bisa berakhir di RS," ucap Axel.
Helena tampak termenung untuk sesaat. Wajah cantiknya terlihat seperti tengah memikirkan sesuatu.
"Apa aku bukan ibu yang baik untuk anak kita?" tanya Helena tiba-tiba.
Jemari Axel yang tengah mengupas apel berhenti seketika.
Bukan hanya karena pertanyaan Helena, tapi juga karena cara dia menyebut Zio.
Anak kita?
Tidak ada yang salah dengan kalimat itu kecuali karena kalimat itu keluar dari bibir Helena.
Empat tahun pernikahan mereka dan Helena tidak pernah menyebut Zio seperti itu.
Amnesia ini benar-benar berlebihan!
Axel menatap Helena untuk sesaat. Entah kenapa dia merasa ada kesedihan di sorot mata itu? Kesedihan yang tidak pernah dia sadari sebelumnya.
"Simpulkan sendiri saat ingatanmu kembali. Aku tidak bisa menilaimu sebagai ibu yang buruk karena bagaimanapun kau adalah wanita yang memberinya kehidupan. Kau yang memilih untuk melahirkan Zio ke dunia ini," ucap Axel.
Axel menata apel yang telah dikupasnya dan meletakkannya di atas piring kemudian menyodorkannya ke arah Helena.
"Ibu macam apa yang sering meninggalkan anaknya sampai anak itu bahkan terbiasa dengan ketidakhadirannya selama hampir sebulan penuh?" Helena menggigit bibirnya pelan.
Dia memang tidak bisa mengingat apa-apa sekarang, tapi entah kenapa hatinya terasa sakit hanya dengan membayangkan seorang anak kecil yang hanya dia ingat namanya saja dan hanya dia tahu rupanya lewat foto.
Axel mendesah pelan.
"Dia tidak membencimu. Sebaliknya, dia sangat mengagumimu," ucap Axel kemudian.
Axel seketika merasa aneh dengan cara bicaranya yang seakan sedang menghibur istrinya itu.
Helena menatap Axel dengan sedikit canggung.
"Apa kau membenciku?" tanya Helena kemudian.
Axel menggeleng. Meski pada kenyataannya dia juga tidak bisa mengatakan kalau dirinya memiliki perasaan spesial untuk istri cantiknya tersebut.
Mereka terlalu lama menjadi kolega. Lebih seperti partner kerja dengan jabatan sebagai suami dan istri. Pikiran ini membuat Axel bahkan tidak bisa berpikir kalau dia bisa benar-benar membina kisah romantis dengan istrinya sendiri.
Keduanya kembali terdiam.
Keadaan ini terlalu canggung untuk pasangan suami istri yang bahkan tidak bisa menjadi suami istri normal dalam kehidupan normal, apalagi sekarang? Ketika salah satu dari mereka bahkan tidak bisa mengingat apa pun tentang masa lalu mereka.
Untung saja, keheningan itu tidak berlangsung lama.
Kedua orang tua Helena sudah kembali dan Axel segera mencari kesempatan untuk pulang.
Masih ada Zio yang menunggunya di rumah.
Setidaknya Helena baik-baik saja ditemani kedua orang tuanya di sini. Zio lebih membutuhkannya.