Mangsa Baru.

1301 Kata
Ethan POV. Aku sudah mencari ke sana ke mari dan aku enggak menemukannya. Namun alangkah kagetnya diriku ketika masuk meeting untuk pertamakali nya, di Global dan bertemu perempuan itu. Perempuan yang enam tahun yang lalu pernah membuat kesalahan dengan ku. Jika Clarissa dulu adalah seorang gadis yang manis, lembut dan selalu menggodaku. Maka kali ini beda, dia lebih cuek, elegan dan ... mengabaikan diriku. Namun ketahuilah perubahan Clarissa yang seperti ini sungguh menggunggah hatiku. "Kamu! aku inginnya sama kamu!" Kulihat kedua mata indah itu melebar. "Saya sedang sibuk Pak Abraham. Saya akan memanggilkan top lider yang akan menemani and--" "Pak Wen, apakah begini cara pelayanan global terhadap kliennya?" ku dapati Pak Wen memberikan senyuman tipis padaku. "Kalau Pak Abraham mau, saya yang akan menemani anda." tawarnya. "Sayang sekali, saya akan lebih senang kalau Mbak Clarissa yang akan menemani saya." Kulihat Pak Wen menegang. Aku tahu betul bagaimana pesona seorang Clarissa, apalagi dengan penampilannya saat ini yang lebih elegan dan menawan hati. Dia hari ini memakai kemeja berlengan pendek berwarna merah maroon yang di padukan dengan rok span ketat berwarna hitam selutut. Rambutnya ia ikat rendah ke belakang memperlihatkan leher putihnya yang mulus. Sepatu ket berwarna hitam membungkus kakinya yang indah. Lalu dengan make up naturan dan warna bibir pink pucat itu, rasanya aku seolah ingin kembali seperti dulu. Aku bisa menikmatinya dalam dekapan hangat tubuh ini. Tidak heran jika lelaki sekelas Wenlee sang pemilik pabrik sepatu terbesar di asia ini begitu tergila gila padanya. "Baiklah, kalau begitu mari kita bertiga." ajaknya. Tentu saja, Wenlee tidak akan membiarkan aku berdua saja dengan Clarissa. Dia sepertinya sudah mencium gelegat ku. Dia tidak tahu saja, kalau aku adalah satu satunya lelaki yang sampai saat ini membuat seorang Clarissa betah menjomblo. Dan akhirnya kami bertiga berjalan mengelilingi setiap departemen yang ada di pabrik ini. Aku berada di sisi kanannya Clarissa, dan Wenlee, lelaki yang memiliki keturunan cina itu berjalan di bagian sisi kiri. Kami sampai di bagian bupping, ini adalah ruangan yang membuat bagian bawah sepatu. Kulihat dengan lues dan elegan, Clarissa menjelaskannya padaku. Dan aku sungguh sangat suka bagaimana caranya seorang Clarissa menjelaskan ini. "Apakah untuk bagian insole ini ada bentuk yang lain, selain yang kita lihat ini?" aku meraih beberapa insole yang sudah jadi. Clarissa ikut meraih beberapa insole ini, seperti yang aku lakukan. "Saya rasa, semua insole memang bentuknya akan seperti ini pak." jelasnya. "Di luaran biasanya mereka menginginkan insole yang berhak, agar terlihat tinggi meski hanya memakai sepatu ket." ujarku. "Oh, mungkin itu outsole pak, kalau insole mungkin semuanya akan berbentuk agak tipis seperti ini. Ini gunanya agar kaki tidak lecet." "Iya, saya tahu. Makanya saya tanya, adakah insole yang berhak?" pertanyaanku mungkin tertdengar ngeyel, sehingga Clarissa terdiam untuk beberapa saat, dan menatap padaku agak kesal. Aku tidak tahu kalau tatapan garang nya itu ternyata manis sekali. Diantara kedua tatapan kami yang bertaut, akulah yang merasa menang, karena dia lebih dulu menariknya. Yang berarti kalau dia ini kalah oleh tatapanku. "Mmm ... mungkin bapak bisa membuat insole sendiri!" dia meletakan beberapa insole itu dengan sedikit dihentakan, kemudian berlalu pada bagian selanjutnya. Aku tersenyum kecil dan mengikutinya saja. "Untuk bagian insole dan outsole, sudah saya jelaskan. Ini kita langsung ke bagian cutting bahan saja." ujarnya masih saja ketus. "Kalau Pak Abraham butuh penjelasan yang lebih detail, mungkin saya bisa menjelaskannya." Wenlee berkata. Aku menoleh padanya selema beberapa saat. "Saya sudah mengerti, pak. Terima kasih." Kulihat Clarissa terlihat sedang berkomunikasi dengan seorang mekanik mesin. Dia begitu ramah dan baik. Meski seorang mekanik itu terlihat kotor dan bau, tapi Clarissa tetap menjadikannya manusia penting yang ada di dalam pabrik ini. Aku penasaran dengan apa yang sedang mereka bicarakan. "Bu Clarissa jangan masuk cutting, di sini bau Bu." ujar mekanik yang menurutku wajahnya agak manis, dia sepertinya berusia 26 tahunan. Dia berkulit agak hitam, dengan tubuh tinggi kekar dan rambut berbentuk cepak. Dia sepertinya lebih pantas menjadi seorang satpam pabrik ini, ketimbang dengan seorang mekanik. "Enggak apa apa, kan aku mau ngecek kalian juga. Siapa tau kalian kerjanya cuma happy happy." ledek Clarissa, malah di tanggapi oleh mekanik itu dengan sebuah kekehan. "Kita kalau di cek sama ibu mah, ya semakin semangat kerja bu." godanya. Ku lihat Clarissa menggeleng geli. "itu kenapa mesinnya?" tanya nya. Mengabaikan godaan si mekanik itu. Aku suka sikap cueknya saat menghadapi seorang lelaki yang sedang menggodanya. "Oh, ini kayanya minyak kering." "Kenapa bisa kering?" tanya Clarissa menuntut. "karena kehabisan lah, bu." kulihat mekanik itu semakin berani menggodanya. "Hm," dehaman ku, membuat laki laki itu melengos. "Apa kita bisa melanjutkan ke bagian yang lain?" tanyaku. Aku benci lelaki itu menggodanya. "Baiklah." Clarissa berjalan ke mesin cutting yang sedang beroperasi. "Ini bahan canvas, yang akan dijadikan upper dan lini." jelasnya, membuatku menautkan kedua alis ini. "Upper? lini? itu apa ya?" aku memang tidak mengerti dengan bagian bagian itu. Kulihat dia agak meringis, mungkin malas kalau harus menjelaskan satu persatu. Namun karena profesionalisme kerja, maka Clarissa pun tersenyum tipis, kemudian meraih sebelah sepatu yang sudah jadi."Upper adalah kanvas bagian luar, seperti ini." dia memperlihatkan bagian atas luar sepatu. "Ini namanya upper." dan entah kenapa bukan sepatu yang aku lihat, tapi kedua bibir berwarna pink pucat yang terlihat manis dan sexy, atau hidung bangir yang terlihat manis meski tanpa sheding, atau kedua bola mata berwarna abu abu yang begitu indah menghipnotisku. Atau juga dagu lancip yang sungguh sepertinya enak untuk di gigit. Atau kedua pipi tirus yang berwarna glowing kemerahan sungguh licin sekali. Atau ... "Pak! mari ke bagian yang lain!" Clarissa meninggalkanku dengan meletakan sepatu setengah ia banting, aku tahu kalau perempuan itu tidak suka dengan tatapan lekatku. Sungguh manis sekali dia. Lalu berjalan mendahului. Aku terperanjat dan melihat pinggul langsing itu menjauh. "Pak, mungkin Clarissa sedang lelah. Apakah bapak tidak keberatan kalau kita istirahat sejenak?" ujar Wenlee. "Baiklah." Kemudian kami bertiga pergi ke kantin pabrik. "Pak Wenlee mau minum apa?" tanya Clarissa, ramah. Ketika kami berada di kantin. "Saya seperti biasa aja." ujarnya begitu percaya diri, seolah ingin membuktikan padaku, bahwa mereka memang begitu dekat. Aku hanya tersenyum kecil dengan prilaku menyebalkan yang diperlihatkan Wenlee. Terlihat Clarissa mengangguk, lalu menatap padaku. "Pak Abaraham mau pesan apa? saya sekalian pesankan?" ada jeda sebelum aku menjawab pertanyaan itu. Karena aku ingin menikmati kedua bola mata berwarna abu abu itu. "Apa saja yang dipesankan Nona clarissa, saya pasti mau." ujarku dengan senyuman. Kulihat dia mengerjap dan segera mengalihkan tatapannya ke arah lain. Dia gugup dan demi apapun yang ada di dunia ini, dia sangat menggemaskan. "Maaf, apa kalian se dekat itu?" tanya Wenlee. Setelah Clarissa menjauh. Aku tersenyum seraya menatap punggung ramping itu menjauh. "Coba bapak tanya kan saja pada Clarisaa, seperti apa hubungan kami dimasa lalu." ujarku. "Saya sungguh penasaran sekali." ungkapnya. Aku hanya tersenyum. "Dia ramah, namun sangat susah untuk di jamah. Dia lugu, namun tidak akan mudah untuk di tipu. Jujur saja, saya sudah berusaha mendekatinya selama lima tahun ini. Namun Clarissa ini sungguh luar bias--" Jeritan Clarissa terdengar dari arah meja bar kantin. Aku segera melesat, dan menemukannya meringis, lalu dibawah kakinya ada cangkir pecah dengan kopi yang berceceran. Mungkin dia kepanasan saat meraih kopi panas itu. "Clarisa kamu--" "Kamu baik baik saja?" aku yang hampir meraih tangannya Clarissa malah di depak oleh Wenlee, sehingga aku hanya bisa menghela napas kesal. Melihat Wenlee meniup niup tangannya Clarissa. "Kamu harus lebih berhati hati, Clarissa." ujarnya, dan perempuan itu hanya tersenyum tipis, seraya menarik tangannya dari genggaman Wenlee. Sepertinya memang dia sedang modus! "Saya baik baik aja." Clarissa meraih sapu tangan yang diberikan pihak kantin, kemudian membersihkan tangannya itu. Dari sini aku bisa melihat bahwa Clarissa memang selalu menjaga dirinya dari Wenlee, meski aku juga tahu kalau Wenlee tidak akan tetap diam dan mungkin akan terus mengejarnya sampai ia mendapatkannya. Namun yang jadi masalah, apakah Wenlee benar benar akan menjaganya, ketika ia sudah mendapatkannya. Atau justru dia malah melepaskannya dan mencari mangsa baru.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN